Tahan Bunga Acuan, BI Ahead atau Behind The Curve?

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
24 October 2018 08:11
Tahan Bunga Acuan, BI Ahead atau Behind The Curve?
Foto: RDG Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Bank sentral menyebut kebijakan ini sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik.

Bank sentral memang menempuh kebijakan secara pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global yang makin membesar. Namun, tak sedikit yang menganggap keputusan RDG bulan ini sebagai langkah mundur.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menegaskan, stance yang akan ditempuh bank sentral ke depan akan tetap mengutamakan upaya untuk menjaga ketahanan neraca pembayaran, yang dalam hal ini defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

"Dalam situasi bunga AS yang meningkat dan negara tetangga bunganya naik, aliran modal akan selalu melihat kondisi CAD dan neraca pembayaran. BI kebijakannya akan ke arah menjaga ketahanan," kata Mirza.

Pada tahun ini, defisit transaksi berjalan memang seperti momok yang menakutkan bagi perekonomian nasional. Pada kuartal III-2018, defisit transaksi berjalan bahkan diperkirakan bengkak hingga di atas 3% dari produk domestik bruto (PDB).

"Saya rasa ada beberapa guidance dari pejabat BI mengenai angka [CAD] kuartal III," ungkap Mirza yang mengisyaratkan angka CAD pada kuartal ketiga kemungkinan melebar.

"Memang ada bahwa dua komoditi andalan kita [CPO dan batubara] harganya relatif melemah, sehingga kemudian menekan ekspor. Sementara di sisi lain, impor relatif kuat," jelasnya.

Mirza menilai, proyeksi melemahnya kinerja ekspor dan lonjakan impor pun masih ditambah dengan kondisi harga minyak yang makin meroket. Hal tersebut pada akhirnya memberikan pengaruh terhadap transaksi berjalan domestik.

Kalangan analis saat berbincang dengan CNBC Indonesia pun tak memungkiri, defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2018 bisa lebih dari 3%. Bahkan, tak menutup kemungkinan angka defisit transaksi berjalan tembus ke 3,6% dari PDB.

Namun, bank sentral cukup optimistis keputusan untuk tetap mempertahankan suku bunga bisa menjaga daya tarik pasar keuangan Indonesia, di tengah sejumlah bank sentral negara lain yang berlomba-lomba menaikkan bunga untuk menarik arus modal masuk.

"Suku bunga AS masih akan naik. [...] Kami juga perhatikan bagaimana negara-negara tetangga suku bunganya seperti apa. Itu juga menjadi perhatian BI," tegas Mirza.

NEXT


Kebijakan pre-emptive, front loading, dan ahead the curve memang merupakan langkah antisipasi dengan mendahului atau memulai lebih awal dalam menaikkan bunga. BI, ingin mendahului kemungkinan The Fed menaikkan bunga acuan di akhir tahun.

Namun, ahead the curve nampaknya tidak berlaku saat ini. Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas UGM A. Tony Prasentiantono menilai keputusan BI menahan bunga acuan justru sebagai langkah mundur.

"Saat ini justru yang ada adalah BI itu behind the curve. Harusnya hari ini bank sentral menaikkan bunganya 25 bps, dan kemudian bulan depan 25 bps," kata Tony kepada CNBC Indonesia.

Tony tak memungkiri, bank sentral dalam beberapa bulan terakhir telah mengerek bunga hingga 150 basis poin (bps). Namun, kenaikan bunga yang dilakukan BI terbilang cukup terlambat, karena tak mampu mengimbangi kenaikan bunga Fed.

Sejak 2017 sampai saat ini, bunga bank sentral AS telah naik 200 basis poin dari level 0,25% menjadi 2%-2,25%. Sementara suku bunga acuan bank sentral sejak 2017, baru naik 150 bps dari level 4,25% menjadi 5,75% saat ini.

"Kenaikan bunga BI agak terlambat, makanya rupiah terus melemah dan saat ini ke level Rp 15.200/US$," jelas Tony.

Menurut Tony, dalam upaya menjaga stabllitas nilai tukar memang diperlukan kenaikan bunga secara konsisten. Apalagi, level nilai tukar kerap memberikan pengaruh yang cukup signifikkan terhadap psikologis pasar, dan mengingatkan kembali pada krisis 1997-1998.

"BI harus bisa memadamkan rupiah dari Rp 15.000/US$. Harus turun setidaknya ke level Rp 14.700/US$ - Rp 14.900/US$. Jangan Rp 15.000/US$ ke atas," tegasnya.

[Gambas:Video CNBC]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular