Fitch Solutions: BI akan Naikkan Suku Bunga Acuan Akhir 2022

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
19 November 2021 13:25
Gedung BI
Foto: Logo Bank Indonesia (Dokumentasi CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) pada, Kamis (18/11/2021), mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi November 2021. Seperti ekspektasi pasar, Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega kembali mempertahankan suku bunga acuan bank sentral.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 November 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI-7 Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry dalam konferensi pers usai RDG, Kamis (18/11/2021).

BI-7 Day Reverse Repo Rate tidak berubah sejak Maret 2021. Artinya, suku bunga acuan sudah ditahan selama sembilan bulan beruntun. Suku bunga acuan di 3,5% adalah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia juga memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%.

Di lain sisi, menurut Fitch Solutions, BI akan mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,50% untuk sisa tahun 2021 dan akan memperketat suku bunga menjelang akhir tahun 2022, sehingga menjadi 4,0%.

Fitch juga memperkirakan bahwa BI akan mempertahankan sikap pro-pertumbuhan selama pemulihan pasar keuangan Indonesia.

"Kami percaya bahwa tekanan eksternal, terutama dengan berlanjutnya penguatan dolar AS, BI dapat menguji sikap melunaknya (dovish) pada tahun 2022," kata Fitch Solutions dalam risetnya.

Dari sisi inflasi, meskipun tekanan harga global meningkat, inflasi Indonesia tetap berada di bawah kisaran target bank sentral. Lingkungan inflasi secara tradisional didorong oleh pergerakan harga minyak dan harga pangan secara umum.

"Kami percaya bahwa lingkungan inflasi yang rendah di Indonesia terutama disebabkan oleh permintaan domestik yang lemah dan disebabkan oleh dampak negatif pandemi terhadap perekonomian," ujar Fitch Solutions dalam risetnya.

Namun, keduanya menghadapi hambatan, yakni harga minyak yang akan terus naik akibat dari meningkatnya permintaan global setelah adanya pemulihan ekonomi di beberapa negara.

Fitch pun memprediksi bahwa inflasi harga konsumen (IHK) RI secara tahunan berada di kisaran level 1,6% pada tahun 2021 dan akan naik menjadi 3,5% pada tahun 2022.

IHK Indonesia

Sementara itu, faktor lain yang dapat memicu pengetatan kebijakan adalah pergerakan rupiah. BI telah lama memegang mandat ganda yang tidak hanya mewajibkan bank untuk memastikan stabilitas harga, tetapi juga membatasi volatilitas mata uang.

Pada tahun 2022, Fitch menjelaskan bahwa tantangan rupiah pada tahun depan tidak hanya menghadapi dolar Amerika Serikat (AS), tetapi juga akan menghadapi kenaikan tarif impor di AS yang dapat menurunkan daya tarik aset Indonesia dan dengan demikian menyebabkan pelemahan rupiah.

Hal inilah yang menjadi dasar Fitch Solutions untuk memperkirakan bahwa BI akan menaikkan suku bunga acuannya, setidaknya pada akhir tahun 2022.

Fitch pun juga memprediksi bahwa BI akan merubah strategi risiko terbatasnya ke depan.

"Kami melihat risiko terbatas BI mengubah strateginya ke arah dovish lebih lanjut, mengingat data frekuensi tinggi mengarah ke pemulihan ekonomi yang stabil," kata Fitch Solutions.

BI telah berkomitmen untuk membeli obligasi pemerintah (surat berharga negara/SBN) di pasar perdana hingga Rp 439 triliun untuk menahan biaya pinjaman yang terus meningkat, karena pemerintah terus mengoperasikan defisit fiskal yang besar untuk mendukung pemulihan ekonomi RI.

Sejauh ini, BI secara berhati-hati mengisyaratkan niatnya ke pasar untuk membatasi spekulasi tentang program ini, bahkan setelah Tanah Air dilanda krisis akibat pandemi Covid-19.

BI bermaksud untuk membeli obligasi pemerintah senilai Rp 143,3 miliar pada tahun ini, atau setara dengan 5% dari total pengeluaran pemerintah yang dianggarkan untuk tahun 2022.

Kepemilikan SBNFoto: Bloomberg & Fitch Solutions

Sementara itu dari sektor manufaktur, pada Oktober lalu, indeks manajer pembelian (Purchasing Manager Index/PMI) manufaktur RI naik menjadi 57,2, dari sebelumnya pada September lalu di angka 52,2.

Data PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Namun, jika pasar memandang BI berada di belakang kurva pengetatan moneter, ada risiko bank sentral akan menaikkan suku bunga dan merubah kebijakannya menjadi lebih agresif. Tetapi, kasus ini hanya akan terjadi jika inflasi naik lebih cepat dari ekspektasi pasar saat ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tok! BI Tahan Suku Bunga Acuan di Level 5,75%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular