Newsletter

Cermati Data Neraca Dagang dan Peluang Damai Dagang AS-China

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Yazid Muamar, CNBC Indonesia
15 October 2018 05:09
Cermati Data Neraca Dagang dan Peluang Damai Dagang AS-China
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak berlawanan arah pada perdagangan sepekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat, tetapi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi.

Selama sepekan lalu, IHSG menguat 0,43% secara point-to-point. Bursa saham Indonesia mampu menjadi yang terbaik di Asia, satu-satunya yang mampu mencatatkan performa mingguan positif. Indeks Nikkei 225 amblas 4,58%, Straits Times jatuh 4,38%, Kospi anjlok 4,66%, Shanghai Composite ambrol 7,6%, dan Hang Seng minus 2,9%. 

Data-data positif di dalam negeri mampu menopang penguatan IHSG. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada September tercatat 122,4 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 121,6. Pencapaian ini bisa dibilang agak melegakan, karena IKK Agustus jeblok ke level terendahnya di tahun ini. Kekhawatiran bahwa konsumsi masyarakat merosot pasca lebaran kini bisa agak mereda. 


Kemudian penjualan ritel tumbuh 6,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Agustus 2018. Lebih cepat ketimbang bulan sebelumnya sebesar 2,9% YoY. Catatan Agustus 2018 juga mampu jauh mengungguli pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,2% YoY.  


Sepanjang minggu lalu, indeks saham barang konsumsi naik 1,69% dan indeks saham keuangan bertambah 0,56%. Keduanya menguat karena sentimen positif data IKK dan penjualan ritel, sehingga mampu menjadi pendorong penguatan IHSG. 

Selain itu, investor juga memanfaatkan koreksi IHSG yang lumayan dalam pada pekan sebelumnya yaitu di kisaran 4% secara mingguan. Harga aset yang terjangkau membuat pelaku pasar melakukan aksi borong dan turut menyumbang keperkasaan IHSG. 

Namun, rupiah tidak seberuntung IHSG karena mengalami pelemahan 0,16% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan rupiah sempat berada di level terlemahnya sejak 1998, saat Indonesia masih merana karena terpaan krisis moneter (krismon). 


Mayoritas mata uang utama Benua Kuning mampu menguat seperti baht Thailand (+0,15%), won Korea Selatan (+0,07%), yen Jepang (+1,33%), rupee India (+0,22%), dan dolar Singapura (+0,38%). Sementara yang senasib dengan rupiah hanya ringgit Malaysia (-0,22%) dan yuan China (-0,73%).  

Ada sentimen domestik yang menjadi pemberat rupiah, yaitu prospek transaksi berjalan (current account) Indonesia yang suram. Pemerintah yang awalnya memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium membatalkan kebijakan tersebut. Kenaikan harga premium hanya berumur sekitar 1 jam. 


Dengan kondisi harga minyak dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini, semestinya harga jual premium adalah Rp 8.099,2/liter. Berarti ada selisih 23,65% dari harga jual yang sekarang.  

Akibat harga yang terlampau murah, masyarakat jadi boros. Padahal Indonesia adalah negara net importir migas.

Neraca migas adalah penyumbang terbesar dalam defisit transaksi berjalan (current account). Defisit neraca migas terjadi karena impornya kelewat tinggi akibat harga BBM yang murah.
 

Defisit di transaksi berjalan membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke AS akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah 10,9% di hadapan dolar AS sejak awal tahun.  

Dengan kenaikan harga premium, maka diharapkan konsumsi premium bisa turun karena masyarakat akan berhemat. Saat konsumsi turun, maka impor bisa ditekan sehingga transaksi berjalan pun tidak terlalu berdarah-darah. Rupiah pun bisa lebih stabil.  

Oleh karena itu, pelaku pasar sebenarnya berharap banyak pemerintah mau menaikkan harga BBM. Dengan begitu rupiah bisa lebih stabil, berinvestasi di Indonesia akan lebih aman dan nyaman.  

Namun pemerintah memutuskan berbalik arah. Alhasil, pelaku pasar nampaknya kecewa, dan ujungnya rupiah tidak punya energi untuk menguat. 

Dari Wall Street, Wall Street mengalami 'pendarahan' selama pekan lalu. Secara mingguan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 4,18%, S&P 500 ambrol 4,1%, dan Nasdaq Composite jatuh 3,28%. 

Sejumlah sentimen negatif 'membakar' Wall Street dalam seminggu terakhir. Pertama, Pelaku pasar mencemaskan perkembangan perang dagang AS vs China yang semakin lama semakin tidak sehat.  

China dinilai sengaja melemahkan nilai tukar yuan agar ekspor mereka tetap kompetitif di pasar global di tengah friksi dagang dengan Negeri Adidaya. Sementara AS sedang menggodok aturan pembatasan aktivitas investasi asing yang dianggap membahayakan kepentingan dan keamanan nasional. Meski tidak menyebut satu negara, tetapi kebijakan ini diyakini menyasar China yang sedang getol mengakuisisi perusahaan teknologi di Negeri Adidaya. 

"Kita tentu tidak berharap ada kebijakan yang mengarah ke perang dagang atau perang mata uang. Itu akan melukai semua pihak, bahkan mereka yang tidak bersalah," tegas Christine Lagarde, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali.


Sebagai tambahan, investor mulai mencemaskan dampak perang dagang AS vs China terhadap kinerja korporasi. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan pertumbuhan laba bersih emiten yang tergabung di indeks S&P 500 untuk kuartal III-2018 adalah 21,3% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 24,7%.  

Perang dagang membuat biaya importasi produk-produk China menjadi mahal karena terkena bea masuk. Padahal industri di AS masih membutuhkan pasokan dari China, utamanya untuk bahan baku dan barang modal. 

Kedua, IMF memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,5%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 2,7%. IMF kini menyatakan bahwa perekonomian global memang lebih condong ke arah melambat (downside). 

Penyebab perlambatan ini adalah perang dagang dengan China yang belum menunjukkan tanda-tanda ada solusi dalam waktu dekat. Kemudian, kenaikan suku bunga acuan yang agresif juga menghambat pertumbuhan ekonomi.  

Ketiga, bersinarnya pasar obligasi AS juga menjadi faktor keruntuhan Wall Street. Arus modal yang terkonsentrasi ke pasar obligasi membuat Wall Street ditinggalkan. Kekurangan 'darah', koreksi tajam tidak terhindarkan. 


Meski terkoreksi tajam secara mingguan, tetapi sejatinya Wall Street terlihat bangkit pada perdagangan akhir pekan lalu. DJIA melesat 1,15%, S&P 500 melompat 1,42%, dan Nasdaq meroket 2,77%.

Investor bersiap jelang musim laporan keuangan (earnings season) yang dimulai pekan ini. Saham-saham perbankan mengalami lonjakan signifikan seperti Wells Fargo (+1,3%) atau Citigroup (2,13%). Laporan keuangan emiten perbankan akan memberikan gambaran jelas apakah perang dagang sudah mulai berdampak kepada kinerja korporasi di AS.  


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah kebangkitan Wall Street pada akhir pekan lalu. Diharapkan kebangkitan ini mampu melecut semangat bursa Asia untuk mencapai prestasi serupa. 

Kedua, pelaku pasar perlu mencermati perkembangan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Kenaikan yield obligasi pemerintah Presiden Donald Trump ini menjadi biang keladi pelemahan pasar keuangan dunia pekan lalu. 

Pada 15 Oktober waktu setempat, pemerintah AS kembali melelang obligasi. Kali ini adalah tenor jangka pendek yaitu 13 dan 26 pekan. Untuk tenor 13 pekan, target indikatif yang ditetapkan adalah US$ 45 miliar sementara untuk 26 pekan targetnya US$ 39 miliar. 

Jelang lelang, biasanya investor 'membanting' obligasi dengan melakukan aksi pelepasan secara masal. Tujuannya adalah agar harga instrumen ini turun dan yield-nya naik. 

Ini sudah mulai terlihat di mana akhir pekan lalu ada pergerakan yield ke atas, meski belum signifikan. Untuk tenor 13 pekan, yield naik 0,47 basis poin (bps) ke 2,2707% sementara untuk yang 26 pekan naik 0,21 bps ke 2,4444%. 

Semakin dekat menuju lelang biasanya aksi pelepasan ini semakin agresif sehingga yield terus terdongkak. Kala yield di pasar sekunder naik, maka penawaran kupon dalam lelang akan terkerek ke atas.  

Dengan penawaran kupon yang menggiurkan, permintaan terhadap obligasi akan naik. Tidak hanya obligasi, permintaan terhadap dolar AS juga akan naik karena butuh mata uang ini untuk membeli obligasi. 

Artinya, lagi-lagi arus modal akan tersedot ke pasar obligasi dan valas Negeri Adidaya. Jika terjadi, maka situasi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi IHSG dan rupiah. 


Sentimen ketiga adalah perkembangan perang dagang AS vs China. Akhir pekan lalu, Kementerian Keuangan AS telah menyelesaikan investigasi dan hasilnya China tidak melakukan manipulasi kurs. Namun, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin ingin lebih memastikan hal itu kala Washington dan Beijing mengadakan dialog. 

"Saya fokus pada pelemahan yuan dan itu harus dibahas dalam diskusi perdagangan. Ini harus lebih dari sekedar sinyal, kami harus mencapai kesepakatan yang lebih adil. Jika China memiliki rencana aksi nyata yang ingin mereka diskusikan, maka kami akan mendengarkan," papar Mnuchin dalam wawancara dengan Reuters. 

Di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, Mnuchin menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan Yi Gang, Gubernur Bank Sentral China (PBoC). Menurutnya, diskusi ini bisa membuka jalan bagi pertemuan-pertemuan selanjutnya. "Saya mendapatkan penjelasan yang produktif dari perspektif beliau," ujar Mnuchin.  

Oleh karena itu, sepertinya pelaku pasar boleh berharap AS dan China akan kembali mengadakan perundingan dagang. Investor tentu berharap ada hasil konkret dan positif dalam menghentikan perang dagang.  

Kalau hari ini kembali ada kabar seputar rencana dialog AS-China, maka aura positif di pasar akan semakin kuat. Investor boleh jadi akan semakin berani mengambil risiko, tidak lagi bermain aman. Ini tentu menjadi kabar gembira buat IHSG dan rupiah. 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman data perdagangan internasional Indonesia oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada September sebesar 7,44% YoY, impor tumbuh 25,85% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 600 juta. 


Meski masih mencatatkan defisit, tetapi membaik dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Pada Juli, BPS mencatat defisit perdagangan mencapai US$ 2,03 miliar atau terdalam sejak Juli 2013. Catatan itu membaik pada bulan selanjutnya, meski masih defisit cukup dalam yaitu US$ 1,02 miliar. 

Apabila realisasi defisit neraca perdagangan lebih lebar dibandingkan konsensus, maka pasar keuangan bisa mendapatkan tekanan. Memburuknya defisit neraca perdagangan akan memberikan sinyal bahwa defisit transaksi berjalan akan melebar pada kuartal III-2018.  

Padahal, transaksi berjalan adalah fundamental perekonomian dalam negeri yang menjadi pijakan rupiah untuk bisa menguat. Saat masa depan rupiah suram, maka investor akan menghindari mata uang ini karena tentu tidak mau memegang aset yang nilainya bakal turun pada masa mendatang.


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data perdagangan internasional Indonesia periode September 2018 (11:00 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel AS periode September 2018 (19:30 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 114.85 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular