Newsletter

Geser Dolar AS, Obligasi Jadi Primadona Baru

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Yazid Muamar, CNBC Indonesia
12 October 2018 05:40
Geser Dolar AS, Obligasi Jadi Primadona Baru
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok dan rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. 

Kemarin, IHSG ditutup merosot 2,02%. IHSG jatuh bersama bursa Asia lainnya seperti Nikkei 225 (-3,89%), Hang Seng (3,54%), Shanghai Composite (5,22%), Kospi (-4,3%), dan Straits Times (-2,69%). 


Sementara rupiah melemah 0,21% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kala penutupan pasar spot. Depresiasi rupiah menjadi yang terdalam di antara mata uang utama Asia, yang juga mayoritas melemah di hadapan greenback. 


Pasar valas dan pasar saham memang sedang sepi peminat. Kemarin, pasar obligasi yang sedang jadi primadona pelaku pasar.  

Di AS, arus modal terus masuk usai lelang obligasi pemerintah dini hari kemarin waktu Indonesia. Pemerintah AS melelang obligasi bertenor 3 dan 10 tahun. Hasilnya positif karena sesuai dengan target indikatif.  

Untuk tenor 3 tahun, jumlah yang dimenangkan adalah US$ 36 miliar. Sedangkan untuk tenor 10 tahun, pemerintah AS menyerap US$ 23 miliar.   

Imbal hasil (yield) rata-rata tertimbang untuk tenor 3 tahun adalah 2,989%, tertinggi sejak Mei 2007. Sementara yield rata-rata tertimbang untuk tenor 10 tahun adalah 3,225%, tertinggi sejak Mei 2011. 

Mereka yang tidak mendapat kesempatan di lelang sepertinya memburu obligasi di pasar sekunder. Hasilnya harga obligasi naik dan yield terdorong ke bawah. Hingga pukul 16:19 WIB kemarin, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 3,1554% atau turun 6,96 basis poin (bps) dibandingkan sehari sebelumnya.  

Tidak hanya di AS, pasar obligasi Indonesia juga lumayan semarak. Yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di 8,561% atau turun 0,3 bps.  

Masuknya investor ke instrumen konservatif seperti obligasi menandakan sedang ada risiko di pasar keuangan global. Untuk saat ini, pelaku pasar melihat risiko besar itu adalah perang dagang AS vs China yang melebar ke mana-mana.

"Kita tentu tidak berharap ada kebijakan yang mengarah ke perang dagang atau perang mata uang. Itu akan melukai semua pihak, bahkan mereka yang tidak bersalah," tegas Christine Lagarde, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali.  

Menghadapi perang dagang dengan AS, China dituding sengaja melemahkan nilai tukar yuan sehingga produk-produk made in China bisa tetap murah di pasar dunia. Dengan begitu, ekspor China akan tetap terjaga. Praktik devaluasi kompetitif atau berlomba-lomba sengaja melemahkan mata uang ini kemudian disebut perang mata uang alias currency war.  

"Kami mendukung China untuk lebih mengarahkan nilai tukar lebih fleksibel. Kami juga mendorong otoritas untuk menerapkannya," lanjut Lagarde.  

Tidak hanya Laragde, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim juga menyatakan kekhawatiran terhadap perang dagang AS-China. Apabila terus berlangsung, perang ini bisa memukul pertumbuhan ekonomi dunia.  

Risiko perlambatan ekonomi dunia, gangguan arus perdagangan, dan ancaman inflasi global menghantui benak pelaku pasar. Hasilnya adalah investor memilih bermain aman dan melepas instrumen berisiko untuk masuk ke obligasi pemerintah, instrumen yang lebih konservatif.   

Dari Wall Street, 'kebakaran' masih berlanjut. Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 2,13%, S&P 500 amblas 2,06%, dan Nasdaq Composite terpangkas 1,14%.  

Berbagai sentimen negatif melanda bursa saham New York. Pertama, penurunan harga minyak. Pada pukul 03:48 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 3,49% dan light sweet terperosok 3,12%. 

Penyebabnya adalah lonjakan cadangan minyak AS. US Energy Information Administration mencatat cadangan minyak AS periode pekan lalu naik 6 juta barel, jauh melebihi ekspektasi pasar yaitu 'hanya' 2,6 juta barel. 

Selain itu, penyebab penurunan harga si emas hitam adalah proyeksi Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Untuk 2019, OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia akan naik 1,36 juta barel/hari. Turun 500.000 barel/hari dari proyeksi sebelumnya. 

Akibat penurunan harga minyak, indeks sektor energi di DJIA anjlok 3,43%. Saham Exxon ambrol 3,45% dan Chevron amblas 3,4%. 

Faktor kedua penyebab kejatuhan Wall Street adalah kekhawatiran investor terhadap kebijakan moneter ketat dari The Federal Reserve/The Fed. Jerome Powell dan rekan sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuan tahun ini, dan kemungkinan besar masih akan menaikkan sekali lagi pada Desember 

Saham bukanlah instrumen yang dapat bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi. Saat suku bunga tinggi, investor biasanya jadi lebih konservatif. Sementara saham membutuhkan perilaku yang agresif dan berani mengambil risiko. 

Faktor ketiga, investor mulai mencemaskan dampak perang dagang AS vs China terhadap kinerja korporasi. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan pertumbuhan laba bersih emiten yang tergabung di indeks S&P 500 untuk kuartal III-2018 adalah 21,3% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 24,7%. 

Perang dagang membuat biaya importasi produk-produk China menjadi mahal karena terkena bea masuk. Padahal industri di AS masih membutuhkan pasokan dari China, utamanya untuk bahan baku dan barang modal. 

Tahun lalu, impor terbesar AS dari China adalah alat listrik (US$ 147 miliar) dan mesin (US$ 110 miliar). Bila impor produk yang masih dibutuhkan ini terhambat, maka ekspansi korporasi di Negeri Paman Sam akan melambat. 

Di sisi ekspor, korporasi AS juga dipersulit untuk masuk ke pasar China karena sama-sama dikenakan bea masuk. Padahal China adalah pasar ekspor ketiga terbesar bagi AS. 

Pada 2017, ekspor terbesar AS ke China adalah pesawat terbang (US$ 16 miliar) dan mesin (US$ 13 miliar). Hari ini saham Boeing anjlok 2,55% karena investor khawatir perusahaan ini akan sulit mengekspor ke China.  

"Apakah kita sudah keluar dari hutan belantara? Saya rasa belum. Anda mungkin akan melihat banyak volatilitas pekan depan," ujar Dennis Dick, trader di Bright Trading Llc yang berbasis di Las Vegas, dikutip dari Reuters. 


Untuk hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu 'kebakaran' di Wall Street yang masih berlanjut.  

Kemarin nestapa Wall Street menular sampai ke Asia, dan hari bukan tidak mungkin hal yang sama kembali terulang. Investor harus memasang kesiagaan penuh. 


Kedua adalah rilis data di AS yaitu inflasi September yang sebesar 2,3% YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,7% YoY. 

Rilis data lainnya adalah klaim tunjangan pengangguran yang pada pekan lalu naik 7.000 menjadi 214.000. sejak 15 September, angka klaim tunjangan pengangguran selalu naik. 

Perkembangan ini sedikit banyak menunjukkan bahwa laju perekonomian AS belum secepat yang diharapkan. Masih ada kemungkinan melambat, sehingga ada peluang (walau amat sangat kecil sekali) The Fed tidak menaikkan suku bunga pada Desember.  

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga 25 bps pada rapat The Fed 19 Desember adalah 76,4%. Agak turun dibanding sebelumnya yang sempat mencapai kisaran 80%. 

Akibatnya, yield obligasi pemerintah AS kembali turun. Pada pukul 04:50 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 3,146%, turun 7,9 bps. 

Yield obligasi yang turun adalah sinyal bearish bagi dolar AS. Sebab, penurunan yield berpotensi membuat kupon dalam lelang selanjutnya (yaitu 15 Oktober) ikut turun. Akibatnya, permintaan dalam lelang bisa kurang semarak dan permintaan untuk dolar AS juga melambat. 

Performa dolar AS yang kurang oke ditunjukkan oleh Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) yang melemah cukup dalam yaitu 0,5% pada pukul 04:55 WIB. Sepertinya dolar AS jadi kurang seksi, statusnya sebagai primadona pasar beberapa waktu lalu mulai pudar. 


Melihat yield obligasi pemerintah AS yang terus turun dan pelemahan dolar AS, sepertinya pasar obligasi masih menjadi favorit pelaku pasar. Apabila ini berlanjut, maka pasar saham dan valas Benua Kuning perlu bersiap karena 'kebakaran' masih belum padam. 

Sentimen ketiga adalah perseteruan Presiden AS Donald Trump dengan The Fed. Trump kembali melontarkan kritik keras terhadap kebijakan moneter The Fed yang dinilainya terlalu ketat. 

"Saya membayar bunga tinggi karena The Fed. Saya ingin The Fed tidak terlalu agresif, saya rasa mereka melakukan kesalahan. The Fed sudah loco (gila) dan saya tidak senang," tegas Trump, dikutip dari Reuters. 

Namun cercaan Trump tidak membuat The Fed gentar. Esther George, Presiden The Fed Kansas City, menegaskan kenaikan suku bunga secara gradual masih menjadi garis kebijakan moneter. 

"Diukur dari segala sisi, kinerja ekonomi AS sangat baik. Ini akan mendorong inflasi dalam beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, dibutuhkan kenaikan suku bunga secara bertahap sesuai dengan target," kata George, mengutip Reuters. 


Sentimen keempat adalah munculnya titik terang pertemuan AS-China yang diharapkan bisa mendinginkan bara perang dagang. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi gedung Putih, mengungkapkan pihaknya sedang mengatur pertemuan antara Trump dengan Presiden China Xi Jinping dalam KTT G-20 di Buenos Aires (Argentina) bulan depan. 

"Ada perkembangan ke arah sana, tetapi belum konkret. Mereka (Trump dan Xi) punya banyak hal yang perlu dibicarakan, jadi kita lihat nanti," kata Kudlow, mengutip CNBC Internasional. 

Kabar ini bisa sedikit menenangkan pasar. Pasalnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia melambat pada tahun ini dan 2019 akibat perang dagang AS vs China. Jika perang dagang berubah menjadi damai dagang, maka ada peluang pertumbuhan ekonomi dunia untuk kembali melesat. 

Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah proyeksi neraca perdagangan periode September 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional pada awal pekan depan. 

Bank Indonesia memperkirakan neraca perdagangan September bisa berbalik surplus. Pada Agustus, neraca perdagangan mencatat defisit US$ 1,02 miliar. 

"Berdasarkan hasil pengumpulan data terakhir, pada September diperkirakan defisitnya akan jauh berkurang bahkan terdapat kemungkinan surplus dalam jumlah kecil. Ini karena impor menurun signifikan," jelas Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah. 


Perkembangan ini memberi sedikit angin sejuk, meski sulit mengobati luka yang menganga di transaksi berjalan (neraca ekspor-impor barang dan jasa). Kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 masih akan defisit, yang menggambarkan minimnya devisa dari sektor perdagangan. Artinya rupiah kekurangan modal untuk menguat. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis Laporan Kebijakan Ekonomi Internasional dan Nilai Tukar dari Kementerian Keuangan AS (tentatif).
  • Rilis data neraca perdagangan China periode September 2018 (tentatif).
  • Rilis data pendahuluan sentimen konsumen versi University of Michigan periode Oktober 2018 (21:00 WIB).
  • Pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali (hari pertama).
  • Pidato Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic (23:30 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Asia Pacific Investama Tbk (MYTX)RUPSLB14:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 114.85 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular