Newsletter

Geser Dolar AS, Obligasi Jadi Primadona Baru

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Yazid Muamar, CNBC Indonesia
12 October 2018 05:40
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Untuk hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu 'kebakaran' di Wall Street yang masih berlanjut.  

Kemarin nestapa Wall Street menular sampai ke Asia, dan hari bukan tidak mungkin hal yang sama kembali terulang. Investor harus memasang kesiagaan penuh. 


Kedua adalah rilis data di AS yaitu inflasi September yang sebesar 2,3% YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,7% YoY. 

Rilis data lainnya adalah klaim tunjangan pengangguran yang pada pekan lalu naik 7.000 menjadi 214.000. sejak 15 September, angka klaim tunjangan pengangguran selalu naik. 

Perkembangan ini sedikit banyak menunjukkan bahwa laju perekonomian AS belum secepat yang diharapkan. Masih ada kemungkinan melambat, sehingga ada peluang (walau amat sangat kecil sekali) The Fed tidak menaikkan suku bunga pada Desember.  

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga 25 bps pada rapat The Fed 19 Desember adalah 76,4%. Agak turun dibanding sebelumnya yang sempat mencapai kisaran 80%. 

Akibatnya, yield obligasi pemerintah AS kembali turun. Pada pukul 04:50 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 3,146%, turun 7,9 bps. 

Yield obligasi yang turun adalah sinyal bearish bagi dolar AS. Sebab, penurunan yield berpotensi membuat kupon dalam lelang selanjutnya (yaitu 15 Oktober) ikut turun. Akibatnya, permintaan dalam lelang bisa kurang semarak dan permintaan untuk dolar AS juga melambat. 

Performa dolar AS yang kurang oke ditunjukkan oleh Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) yang melemah cukup dalam yaitu 0,5% pada pukul 04:55 WIB. Sepertinya dolar AS jadi kurang seksi, statusnya sebagai primadona pasar beberapa waktu lalu mulai pudar. 


Melihat yield obligasi pemerintah AS yang terus turun dan pelemahan dolar AS, sepertinya pasar obligasi masih menjadi favorit pelaku pasar. Apabila ini berlanjut, maka pasar saham dan valas Benua Kuning perlu bersiap karena 'kebakaran' masih belum padam. 

Sentimen ketiga adalah perseteruan Presiden AS Donald Trump dengan The Fed. Trump kembali melontarkan kritik keras terhadap kebijakan moneter The Fed yang dinilainya terlalu ketat. 

"Saya membayar bunga tinggi karena The Fed. Saya ingin The Fed tidak terlalu agresif, saya rasa mereka melakukan kesalahan. The Fed sudah loco (gila) dan saya tidak senang," tegas Trump, dikutip dari Reuters. 

Namun cercaan Trump tidak membuat The Fed gentar. Esther George, Presiden The Fed Kansas City, menegaskan kenaikan suku bunga secara gradual masih menjadi garis kebijakan moneter. 

"Diukur dari segala sisi, kinerja ekonomi AS sangat baik. Ini akan mendorong inflasi dalam beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, dibutuhkan kenaikan suku bunga secara bertahap sesuai dengan target," kata George, mengutip Reuters. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular