Newsletter

Geser Dolar AS, Obligasi Jadi Primadona Baru

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Yazid Muamar, CNBC Indonesia
12 October 2018 05:40
Wall Street Masih 'Kebakaran'
Perdagangan Saham di Wall Street (REUTERS/Lucas Jackson)
Dari Wall Street, 'kebakaran' masih berlanjut. Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 2,13%, S&P 500 amblas 2,06%, dan Nasdaq Composite terpangkas 1,14%.  

Berbagai sentimen negatif melanda bursa saham New York. Pertama, penurunan harga minyak. Pada pukul 03:48 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 3,49% dan light sweet terperosok 3,12%. 

Penyebabnya adalah lonjakan cadangan minyak AS. US Energy Information Administration mencatat cadangan minyak AS periode pekan lalu naik 6 juta barel, jauh melebihi ekspektasi pasar yaitu 'hanya' 2,6 juta barel. 

Selain itu, penyebab penurunan harga si emas hitam adalah proyeksi Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Untuk 2019, OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia akan naik 1,36 juta barel/hari. Turun 500.000 barel/hari dari proyeksi sebelumnya. 

Akibat penurunan harga minyak, indeks sektor energi di DJIA anjlok 3,43%. Saham Exxon ambrol 3,45% dan Chevron amblas 3,4%. 

Faktor kedua penyebab kejatuhan Wall Street adalah kekhawatiran investor terhadap kebijakan moneter ketat dari The Federal Reserve/The Fed. Jerome Powell dan rekan sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuan tahun ini, dan kemungkinan besar masih akan menaikkan sekali lagi pada Desember 

Saham bukanlah instrumen yang dapat bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi. Saat suku bunga tinggi, investor biasanya jadi lebih konservatif. Sementara saham membutuhkan perilaku yang agresif dan berani mengambil risiko. 

Faktor ketiga, investor mulai mencemaskan dampak perang dagang AS vs China terhadap kinerja korporasi. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan pertumbuhan laba bersih emiten yang tergabung di indeks S&P 500 untuk kuartal III-2018 adalah 21,3% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 24,7%. 

Perang dagang membuat biaya importasi produk-produk China menjadi mahal karena terkena bea masuk. Padahal industri di AS masih membutuhkan pasokan dari China, utamanya untuk bahan baku dan barang modal. 

Tahun lalu, impor terbesar AS dari China adalah alat listrik (US$ 147 miliar) dan mesin (US$ 110 miliar). Bila impor produk yang masih dibutuhkan ini terhambat, maka ekspansi korporasi di Negeri Paman Sam akan melambat. 

Di sisi ekspor, korporasi AS juga dipersulit untuk masuk ke pasar China karena sama-sama dikenakan bea masuk. Padahal China adalah pasar ekspor ketiga terbesar bagi AS. 

Pada 2017, ekspor terbesar AS ke China adalah pesawat terbang (US$ 16 miliar) dan mesin (US$ 13 miliar). Hari ini saham Boeing anjlok 2,55% karena investor khawatir perusahaan ini akan sulit mengekspor ke China.  

"Apakah kita sudah keluar dari hutan belantara? Saya rasa belum. Anda mungkin akan melihat banyak volatilitas pekan depan," ujar Dennis Dick, trader di Bright Trading Llc yang berbasis di Las Vegas, dikutip dari Reuters. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular