Pelemahan Rupiah Menipis, Tapi Masih Terlemah di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 October 2018 16:43
Pelemahan Rupiah Menipis, Tapi Masih Terlemah di Asia
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Kabar baiknya, depresiasi rupiah berkurang dan mata uang Tanah Air tidak lagi di posisi terlemah sepanjang sejarah. 

Pada Kamis (11/10/2018), US$ 1 sama dengan Rp 15.230 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Saat pembukaan pasar spot, rupiah melemah 0,06%. Pelemahan rupiah semakin tajam seiring perjalanan pasar, dan sempat menyentuh titik terendah sepanjang masa. Mematahkan rekor sebelumnya yaitu kala penutupan pasar 9 Juli 1998 yaitu Rp 15.250/US$.


Namun jelang penutupan pasar, depresiasi rupiah menipis meski belum sampai menyentuh zona hijau. Posisi terlemah rupiah hari ini adalah Rp 15.265/US$ sementara terkuatnya Rp 15.210/US$.  

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hari ini: 

 

Meski tak lagi di posisi terlemah sepanjang sejarah, tetapi rupiah masih menyandang status sebagai mata uang terlemah di Asia dengan depresiasi 0,21%. Mata uang Asia bergerak variatif di hadapan dolar AS, dengan baht Thailand sebagai juara umum hari ini. 

Selain rupiah, mata uang Benua Kuning lainnya yang melemah adalah yuan China, won Korea Selatan, ringgit Malaysia. Peso Filipina, dan dolar Taiwan. Sementara yang lainnya mampu menguat dalam rentang yang cukup lebar. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:38 WIB: 



Pasar valas dan pasar saham memang sedang sepi peminat. Kini pasar obligasi yang sedang jadi primadona pelaku pasar. 

Di AS, arus modal terus masuk usai lelang obligasi pemerintah dini hari tadi waktu Indonesia. Pemerintah AS melelang obligasi bertenor 3 dan 10 tahun. Hasilnya positif karena sesuai dengan target indikatif. 

Untuk tenor 3 tahun, jumlah yang dimenangkan adalah US$ 36 miliar. Sedangkan untuk tenor 10 tahun, pemerintah AS menyerap US$ 23 miliar.  

Imbal hasil (yield) rata-rata tertimbang untuk tenor 3 tahun adalah 2,989%, tertinggi sejak Mei 2007. Sementara yield rata-rata tertimbang untuk tenor 10 tahun adalah 3,225%, tertinggi sejak Mei 2011. Siapa yang tidak tertarik? 

Mereka yang tidak mendapat kesempatan di lelang sepertinya memburu obligasi di pasar sekunder. Hasilnya harga obligasi naik dan yield terdorong ke bawah. Pada pukul 16:19 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 3,1554 atau turun 6,96 basis poin (bps) dibandingkan sehari sebelumnya. 

Tidak hanya di AS, pasar obligasi Indonesia juga lumayan semarak. Yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di 8,561 atau turun 0,3 bps. 

Masuknya investor ke instrumen konservatif seperti obligasi menandakan sedang ada risiko di pasar keuangan global. Untuk saat ini, pelaku pasar melihat risiko besar itu adalah perang dagang AS vs China yang melebar ke mana-mana. 

"Kita tentu tidak berharap ada kebijakan yang mengarah ke perang dagang atau perang mata uang. Itu akan melukai semua pihak, bahkan mereka yang tidak bersalah," tegas Christine Lagarde, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali. 

Menghadapi perang dagang dengan AS, China dituding sengaja melemahkan nilai tukar yuan sehingga produk-produk made in China bisa tetap murah di pasar dunia. Dengan begitu, ekspor China akan tetap terjaga. Praktik devaluasi kompetitif atau berlomba-lomba sengaja melemahkan mata uang ini kemudian disebut perang mata uang alias currency war

"Kami mendukung China untuk lebih mengarahkan nilai tukar lebih fleksibel. Kami juga mendorong otoritas untuk menerapkannya," lanjut Lagarde. 

Tidak hanya Laragde, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim juga menyatakan kekhawatiran terhadap perang dagang AS-China. Apabila terus berlangsung, perang ini bisa memukul pertumbuhan ekonomi dunia. 

Risiko perlambatan ekonomi dunia, gangguan arus perdagangan, dan ancaman inflasi global menghantui benak pelaku pasar. Hasilnya adalah investor memilih bermain aman dan melepas instrumen berisiko untuk masuk ke obligasi pemerintah, instrumen yang lebih konservatif.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular