
Angin Segar Rupiah, Neraca Dagang September Diramal Membaik
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
11 October 2018 17:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit neraca perdagangan pada September 2018 akan lebih kecil, bahkan dapat mencetak surplus.
Pada Agustus lalu, kinerja neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan defisit sebesar US$1,02 miliar. Berita baiknya, defisit ini jauh lebih kecil dibandingkan neraca perdagangan pada Juli yang mencapai US$2,03 miliar atau tertinggi sejak awal tahun.
"Selain faktor global, tantangan domestik yang akan menentukan perkembangan kurs Rupiah adalah bagaimana agar neraca perdagangan Indonesia setidaknya lebih berimbang," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, Kamis (11/10/2018).
"Terdapat indikasi perkembangan positif. Bila pada Agustus 2018 neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 995 juta, berdasarkan hasil pengumpulan data terakhir, pada bulan September diperkirakan defisitnya akan jauh berkurang bahkan terdapat kemungkinan surplus dalam jumlah kecil karena impor menurun signifikan," tambah Nanang.
Kondisi neraca perdagangan Indonesia pada tahun ini kurang cemerlang. Sejak Januari-Agustus 2018, didominasi oleh defisit. Sementara surplus hanya terjadi pada Maret dan Juni 2018.
Ini jauh berbeda dengan kinerja di tahun 2017, dimana neraca perdagangan Indonesia banyak didominasi oleh surplus
Sejak Januari-Desember 2017, Indonesia hanya mengalami defisit di bulan Juli dan Desember. Nilai defisit yang dialami pun tidak mencapai US$1 miliar.
Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Besar kemungkinan ini dipengaruhi pergerakan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Di tahun 2018, depresiasi rupiah sejak awal tahun hingga hari ini telah mencapai 12,27% dan nilai rata-ratanya berada di level Rp 14.087/US$.
Sementara jika kita bandingkan dengan tahun 2017 dengan periode yang sama, rupiah hanya terdepresiasi 0,33% dengan nilai rata-rata di level Rp 13.336/US$.
Pada penutupan hari ini, Kamis (11/10/2018), US$1 ditutup pada level Rp 15.230 di pasar spot. Level ini semakin mendekati titik terlemah sepanjang sejarah pada krisis moneter tahun 1998 yaitu Rp 15.250/US$.
Kenapa dihubungkan dengan rupiah? Karena ini berkaitan volume impor Indonesia. Sepanjang Januari-Agustus 2018, volume impor mencapai 112,63 juta ton dengan rincian impor migas 32,83 juta ton dan impor non-migas sebesar 79,77 juta ton.
Di 2017 dengan periode yang sama, volume impor mencapai 104,05 juta ton dengan rincinan impor migas 32,93 juta ton dan impor non-migas 71,12 juta ton.
Nilai impor khususnya non-migas yang meningkat di 2018 ditambah dengan depresiasi rupiah, menyebabkan neraca perdagangan Indonesia pada tahun ini kurang cemerlang.
(NEXT)
Pada Agustus lalu, kinerja neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan defisit sebesar US$1,02 miliar. Berita baiknya, defisit ini jauh lebih kecil dibandingkan neraca perdagangan pada Juli yang mencapai US$2,03 miliar atau tertinggi sejak awal tahun.
"Selain faktor global, tantangan domestik yang akan menentukan perkembangan kurs Rupiah adalah bagaimana agar neraca perdagangan Indonesia setidaknya lebih berimbang," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, Kamis (11/10/2018).
Kondisi neraca perdagangan Indonesia pada tahun ini kurang cemerlang. Sejak Januari-Agustus 2018, didominasi oleh defisit. Sementara surplus hanya terjadi pada Maret dan Juni 2018.
Ini jauh berbeda dengan kinerja di tahun 2017, dimana neraca perdagangan Indonesia banyak didominasi oleh surplus
Sejak Januari-Desember 2017, Indonesia hanya mengalami defisit di bulan Juli dan Desember. Nilai defisit yang dialami pun tidak mencapai US$1 miliar.
Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Besar kemungkinan ini dipengaruhi pergerakan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Di tahun 2018, depresiasi rupiah sejak awal tahun hingga hari ini telah mencapai 12,27% dan nilai rata-ratanya berada di level Rp 14.087/US$.
Sementara jika kita bandingkan dengan tahun 2017 dengan periode yang sama, rupiah hanya terdepresiasi 0,33% dengan nilai rata-rata di level Rp 13.336/US$.
Pada penutupan hari ini, Kamis (11/10/2018), US$1 ditutup pada level Rp 15.230 di pasar spot. Level ini semakin mendekati titik terlemah sepanjang sejarah pada krisis moneter tahun 1998 yaitu Rp 15.250/US$.
Kenapa dihubungkan dengan rupiah? Karena ini berkaitan volume impor Indonesia. Sepanjang Januari-Agustus 2018, volume impor mencapai 112,63 juta ton dengan rincian impor migas 32,83 juta ton dan impor non-migas sebesar 79,77 juta ton.
Di 2017 dengan periode yang sama, volume impor mencapai 104,05 juta ton dengan rincinan impor migas 32,93 juta ton dan impor non-migas 71,12 juta ton.
Nilai impor khususnya non-migas yang meningkat di 2018 ditambah dengan depresiasi rupiah, menyebabkan neraca perdagangan Indonesia pada tahun ini kurang cemerlang.
(NEXT)
Next Page
Apakah Proyeksi BI Bisa Terbukti?
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular