
Newsletter
Cermati Data Neraca Dagang dan Peluang Damai Dagang AS-China
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Yazid Muamar, CNBC Indonesia
15 October 2018 05:09

Dari Wall Street, Wall Street mengalami 'pendarahan' selama pekan lalu. Secara mingguan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 4,18%, S&P 500 ambrol 4,1%, dan Nasdaq Composite jatuh 3,28%.
Sejumlah sentimen negatif 'membakar' Wall Street dalam seminggu terakhir. Pertama, Pelaku pasar mencemaskan perkembangan perang dagang AS vs China yang semakin lama semakin tidak sehat.
China dinilai sengaja melemahkan nilai tukar yuan agar ekspor mereka tetap kompetitif di pasar global di tengah friksi dagang dengan Negeri Adidaya. Sementara AS sedang menggodok aturan pembatasan aktivitas investasi asing yang dianggap membahayakan kepentingan dan keamanan nasional. Meski tidak menyebut satu negara, tetapi kebijakan ini diyakini menyasar China yang sedang getol mengakuisisi perusahaan teknologi di Negeri Adidaya.
"Kita tentu tidak berharap ada kebijakan yang mengarah ke perang dagang atau perang mata uang. Itu akan melukai semua pihak, bahkan mereka yang tidak bersalah," tegas Christine Lagarde, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali.
Sebagai tambahan, investor mulai mencemaskan dampak perang dagang AS vs China terhadap kinerja korporasi. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan pertumbuhan laba bersih emiten yang tergabung di indeks S&P 500 untuk kuartal III-2018 adalah 21,3% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 24,7%.
Perang dagang membuat biaya importasi produk-produk China menjadi mahal karena terkena bea masuk. Padahal industri di AS masih membutuhkan pasokan dari China, utamanya untuk bahan baku dan barang modal.
Kedua, IMF memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,5%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 2,7%. IMF kini menyatakan bahwa perekonomian global memang lebih condong ke arah melambat (downside).
Penyebab perlambatan ini adalah perang dagang dengan China yang belum menunjukkan tanda-tanda ada solusi dalam waktu dekat. Kemudian, kenaikan suku bunga acuan yang agresif juga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, bersinarnya pasar obligasi AS juga menjadi faktor keruntuhan Wall Street. Arus modal yang terkonsentrasi ke pasar obligasi membuat Wall Street ditinggalkan. Kekurangan 'darah', koreksi tajam tidak terhindarkan.
Meski terkoreksi tajam secara mingguan, tetapi sejatinya Wall Street terlihat bangkit pada perdagangan akhir pekan lalu. DJIA melesat 1,15%, S&P 500 melompat 1,42%, dan Nasdaq meroket 2,77%.
Investor bersiap jelang musim laporan keuangan (earnings season) yang dimulai pekan ini. Saham-saham perbankan mengalami lonjakan signifikan seperti Wells Fargo (+1,3%) atau Citigroup (2,13%). Laporan keuangan emiten perbankan akan memberikan gambaran jelas apakah perang dagang sudah mulai berdampak kepada kinerja korporasi di AS.
(aji/aji)
Sejumlah sentimen negatif 'membakar' Wall Street dalam seminggu terakhir. Pertama, Pelaku pasar mencemaskan perkembangan perang dagang AS vs China yang semakin lama semakin tidak sehat.
China dinilai sengaja melemahkan nilai tukar yuan agar ekspor mereka tetap kompetitif di pasar global di tengah friksi dagang dengan Negeri Adidaya. Sementara AS sedang menggodok aturan pembatasan aktivitas investasi asing yang dianggap membahayakan kepentingan dan keamanan nasional. Meski tidak menyebut satu negara, tetapi kebijakan ini diyakini menyasar China yang sedang getol mengakuisisi perusahaan teknologi di Negeri Adidaya.
"Kita tentu tidak berharap ada kebijakan yang mengarah ke perang dagang atau perang mata uang. Itu akan melukai semua pihak, bahkan mereka yang tidak bersalah," tegas Christine Lagarde, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali.
Sebagai tambahan, investor mulai mencemaskan dampak perang dagang AS vs China terhadap kinerja korporasi. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan pertumbuhan laba bersih emiten yang tergabung di indeks S&P 500 untuk kuartal III-2018 adalah 21,3% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 24,7%.
Perang dagang membuat biaya importasi produk-produk China menjadi mahal karena terkena bea masuk. Padahal industri di AS masih membutuhkan pasokan dari China, utamanya untuk bahan baku dan barang modal.
Kedua, IMF memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,5%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 2,7%. IMF kini menyatakan bahwa perekonomian global memang lebih condong ke arah melambat (downside).
Penyebab perlambatan ini adalah perang dagang dengan China yang belum menunjukkan tanda-tanda ada solusi dalam waktu dekat. Kemudian, kenaikan suku bunga acuan yang agresif juga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, bersinarnya pasar obligasi AS juga menjadi faktor keruntuhan Wall Street. Arus modal yang terkonsentrasi ke pasar obligasi membuat Wall Street ditinggalkan. Kekurangan 'darah', koreksi tajam tidak terhindarkan.
Meski terkoreksi tajam secara mingguan, tetapi sejatinya Wall Street terlihat bangkit pada perdagangan akhir pekan lalu. DJIA melesat 1,15%, S&P 500 melompat 1,42%, dan Nasdaq meroket 2,77%.
Investor bersiap jelang musim laporan keuangan (earnings season) yang dimulai pekan ini. Saham-saham perbankan mengalami lonjakan signifikan seperti Wells Fargo (+1,3%) atau Citigroup (2,13%). Laporan keuangan emiten perbankan akan memberikan gambaran jelas apakah perang dagang sudah mulai berdampak kepada kinerja korporasi di AS.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular