Harga Premium Batal Naik, Siap-siap Hadapi Murka Pasar

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 October 2018 18:01
Harga Premium Batal Naik, Siap-siap Hadapi Murka Pasar
Ilustrasi SPBU (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih galau soal harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun kegalauan ini bisa berdampak fatal, yaitu 'hukuman' dari pasar. 

Awalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan mengumumkan harga BBM jenis premium naik dari Rp 6.550/liter menjadi Rp 7.000/liter 6,87%. Ini merupakan kenaikan pertama sejak 2016. Jonan menyebutkan alasan di balik kenaikan ini adalah harga minyak dunia memang sudah tinggi. 

"Harga minyak dunia itu dari awal tahun kurang lebih 30%. Kalau melihat ICP (harga minyak mentah Indonesia) naik hampir 25%. Oleh karena itu pemerintah mempertimbangkan, sesuai arahan Presiden, mulai hari ini premium naik mulai 18:00 WIB," kata Jonan.  

Namun sekitar 1 jam setelah diumumkan, semua berubah. Pemerintah memutuskan menunda kenaikan ini karena (katanya) menunggu kesiapan PT Pertamina. 

Padahal, kenaikan harga BBM adalah kebijakan yang sangat dinantikan oleh pelaku pasar. Bukan apa-apa, harga BBM yang terlalu murah sering dituding menjadi biang kerok defisit transaksi berjalan (current account). 

Dengan kondisi harga minyak dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini, semestinya harga jual premium adalah Rp 8.099,2/liter. Berarti ada selisih 23,65% dari harga jual yang sekarang. 


Akibat harga yang terlampau murah, masyarakat jadi boros. Buat apa berhemat kalau bisa beli lagi dengan harga murah?  

Padahal Indonesia adalah negara net importir migas. Neraca migas adalah penyumbang terbesar dalam defisit transaksi berjalan (current account).  

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit US$ 8,03 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 2,75 miliar atau 34,23% disumbang oleh defisit di neraca migas. Neraca migas defisit karena impornya kelewat tinggi, dan itu disebabkan oleh besarnya konsumsi akibat harga BBM murah.  

Hal ini membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke Amerika Serikat akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah 10,9% di hadapan dolar AS sejak awal tahun. 

Dengan kenaikan harga premium, maka diharapkan konsumsi premium bisa turun karena masyarakat berhemat. Saat konsumsi turun, maka impor bisa ditekan sehingga transaksi berjalan pun tidak terlalu berdarah-darah. Rupiah pun bisa lebih stabil. 

Ketika rupiah lebih stabil, maka investor akan nyaman berinvestasi di Indonesia. Hal utama yang dibutuhkan pasar adalah kestabilan. Ini tidak bisa disediakan jika rupiah terus fluktuatif cenderung melemah. 

Oleh karena itu, pelaku pasar sebenarnya berharap banyak pemerintah berani menaikkan harga BBM. Dengan begitu rupiah bisa lebih stabil, berinvestasi di Indonesia akan lebih aman dan nyaman. 

Namun kini pemerintah balik arah. Angin segar yang sempat berhembus kini menjadi bara api. Sepertinya pemerintah harus bersiap menghadapi murka pasar...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular