Jepang, Inflasi, dan Tokyo Love Story

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 July 2018 12:10
Jepang, Inflasi, dan Tokyo Love Story
Foto: courtesy CNBC International
Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang masih 'berduka'. Ekonomi Negeri Matahari Terbit yang awalnya bergairah, ternyata masih jalan di tempat. Jepang masih terjebak dalam stagnasi ekonomi. 

Gejala terbaru stagnasi ekonomi Jepang adalah dari data inflasi. Laju inflasi di Jepang masih sulit menembus 1%, apalagi ke 2% yang ditargetkan Bank Sentral Jepang (BoJ). 

Pada Mei 2018, inflasi umum di Jepang tercatat 0,8% year-on-year (YoY), sejalan dengan konsensus pasar dan lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu 0,7% YoY. Sementara inflasi inti (di luar pengeluaran makanan dan energi) hanya naik 0,2% YoY, melambat dibandingkan Mei, yaitu 0,3%. 

Inflasi inti yang masih rendah menandakan permintaan lesu. Akibatnya, dunia usaha masih enggan mentransmisikan kenaikan harga di tingkat produsen sepenuhnya ke konsumen.

"Mungkin kita tidak akan melihat inflasi inti yang cukup kuat untuk beberapa waktu ke depan," ucap seorang pejabat pemerintah Jepang, mengutip Reuters.


Jepang, Inflasi, dan Tokyo Love StoryInflasi inti Jepang (Reuters)
Jika Indonesia berharap inflasi bisa ditekan rendah dan stabil, maka Jepang adalah kebalikannya. Negeri Sakura begitu mendambakan inflasi, yang merupakan pertanda geliat ekonomi baik di sisi produsen maupun konsumen.  

Inflasi menandakan dunia usaha berani menaikkan harga karena konsumen pun mau membayar lebih. Namun saat ini yang terjadi adalah konsumen belum mau membayar lebih sehingga dunia usaha enggan terlalu banyak menaikkan harga. Akibatnya, dunia usaha sulit berekspansi. 

Jepang memang mencari sumber pertumbuhan ekonomi dari dalam negeri, terutama konsumsi. Sudah agak lama perekonomian Jepang tergantung kepada faktor eksternal, yaitu ekspor. 

Jepang, Inflasi, dan Tokyo Love StoryBank Dunia
Ketika pertumbuhan ekonomi terlalu bergantung kepada eksternal, maka perekonomian sebuah negara menjadi rentan terekspos gejolak dari luar. Begitu perekonomian dan permintaan global melambat, maka pertumbuhan ekonomi domestik pun terpengaruh. 

Itulah yang terjadi terhadap Jepang. Saat motor utama pertumbuhan ekonomi, yaitu ekspor, bermasalah maka pertumbuhan secara keseluruhan ikut terseret ke bawah.  

Contohnya seperti yang terjadi pada 2009, saat krisis keuangan global masih hangat. Krisis di sektor keuangan menjalar ke sektor riil, permintaan dunia turun drastis. Pertumbuhan ekonomi Jepang melambat karena ekspor terkontraksi sangat dalam. 

Jepang, Inflasi, dan Tokyo Love StoryBank Dunia
Oleh karena itu, BoJ terus berupaya mendorong konsumsi masyarakat melalui stimulus moneter. Suku bunga acuan diturunkan hingga ke level negatif. Artinya, menyimpan uang di bank bukannya mendapat bunga tetapi malah berkurang. Upaya ini dilakukan agar uang beredar di sistem perekonomian lebih besar ketimbang yang mengendap di perbankan. 

Sejak Februari 2016, BoJ mempertahankan suku bunga acuan -0,1%. Artinya sudah lebih dari dua tahun suku bunga berada di teritori negatif, tetapi tak kunjung berhasil memancing inflasi keluar dari sarangnya. Konsumen masih hati-hati dalam bebelanja, dan dunia usaha pun setengah hati menaikkan harga. Ekonomi pun minim ekspansi. 


Pada akhir 2017 sampai awal 2018, ada harapan perekonomian Jepang akan membaik. Sejak Oktober 2017 sampai Februari 2018, inflasi Jepang melaju cukup kencang. Jika tren ini bisa bertahan, maka target inflasi 2% pun sudah di depan mata. 

Jepang, Inflasi, dan Tokyo Love StoryInflasi Jepang (Reuters)
Pelaku pasar yang terbuai pun sempat memikirkan soal BoJ yang akan memulai pengetatan moneter. Aura pemulihan ekonomi Jepang terbawa sampai ke pasar modal, di mana indeks Nikkei 225 menguat 19,6% pada akhir 2017 dibandingkan akhir tahun sebelumnya. 

Jepang, Inflasi, dan Tokyo Love StoryReuters
Namun, semua berubah. Agak sulit mencari ujung masalahnya, tetapi Jepang ternyata masih menghadapi sejumlah masalah. Pertama adalah perang dagang.

Genderang perang dagang dalam skala global mulai terdengar awal 2018, kala Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerapkan bea masuk bagi impor berbagai produk seperti mesin cuci dan panel surya. Setelah itu, kita semua tahu kelanjutannya. 

Jepang merupakan salah satu korban Trump, di mana ekspor baja mereka ke AS sudah terkena bea masuk 25%. Perang dagang membuat ekspor Jepang agak tersendat.

Dengan perekonomian Jepang yang masih didorong oleh ekspor, maka pertumbuhan pun melambat. Pada kuartal I-2018, perekonomian Jepang terkontraksi (negatif) 0,6% YoY.

Konsumsi belum pulih, sementara ekspor 'dihajar' oleh perang dagang. Tidak heran pertumbuhan ekonomi Jepang pun minus. 

Masalah kedua adalah mata uang yen Jepang yang menguat. Sepanjang tahun ini, yen menguat 0,2% terhadap dolar AS. Yen adalah satu-satunya mata uang Asia yang mampu menguat di hadapan greenback

Jepang, Inflasi, dan Tokyo Love StoryReuters
Perekonomian global yang masih penuh 'huru-hara' membuat investor memilih bermain aman dan mengincar aset-aset aman alias safe haven. Secara tradisional, yen adalah salah satu aset safe haven selain franc Swiss dan emas. 

Perang dagang, situasi Timur Tengah yang memanas, perjanjian nuklir Iran yang hampir kolaps karena ditinggal AS, dan sebagainya mewarnai perjalanan 2018. Peristiwa-peristiwa itu membuat investor ingin mencari selamat, tidak mau terlalu mengambil risiko. Yen pun kebajiran peminat, sehingga nilainya masih menguat. 

Apresiasi yen tentu memukul perekonomian Jepang yang masih merupakan negara eksportir. Saat nilai tukar menguat, maka ekspor Jepang menjadi kurang kompetitif karena produk-produk made in Japan lebih mahal di pasar global.

Di sisi lain, impor pun membanjir karena harga produk luar menjadi lebih terjangkau. Hasilnya sudah tertebak. Pada Juni 2018, ekspor Jepang tumbuh 6,7% YoY, lebih rendah ketimbang konsensus pasar yaitu 7%. Juga melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mampu tumbuh 8,1%. Biang keladi dari perlambatan ekspor ini tidak lain adalah yen yang terlampau kuat.

Indeks Tankan, yang menggambarkan optimisme pengusaha di Jepang, pada Juni 2018 berada di angka 16. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 17. Sementara indeks Tankan untuk pelaku usaha manufaktur turun menjadi 17 dari 18 pada bulan sebelumnya. 

Penyebab penurunan optimisme ini adalah penguatan mata uang yen. Pengusaha memperkirakan rata-rata nilai tukar yen pada semester II-2018 adalah JPY 107,26/US$. Menguat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu JPY 110,63/US$. 

Ekspor yang tertekan membuat pengusaha sulit berekspansi. Permintaan domestik pun belum bisa diharapkan untuk mendongkrak penjualan. Hasilnya adalah keyakinan dunia usaha turun, gambaran ekonomi yang masih suram. 


BoJ sudah berupaya menggelontorkan likuiditas yen ke pasar agar mata uang ini membanjir sehingga nilainya turun dan tercipta inflasi. Namun sampai saat ini belum ada pertanda ke arah sana. BoJ pun harus lebih sabar mencabut stimulus moneternya. 

Mengutip Reuters, beberapa sumber di BoJ mengungkapkan bahkan bank sentral sedang menyusun kebijakan stimulus moneter yang berkelanjutan. Artinya, stimulus moneter tidak lagi menjadi kebijakan adhoc melainkan program yang terus-menerus selama inflasi masih rendah.


"Jika ternyata butuh waktu lama untuk mencapai inflasi 2%, maka ada kemungkinan perubahan kebijakan. BoJ akan membuat kebijakan yang lebih sustainable," ucap sang sumber. 

Jalan Jepang menuju inflasi sepertinya tambah panjang. Bagai kisah cinta drama Tokyo Love Story, cinta Jepang dan inflasi butuh waktu, pengorbanan, dan penuh liku. Namun pada saatnya nanti, Kanji dan Satomi pasti akan bersatu. Meski harus melalui Mikami dan Rika...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular