
Jepang, Inflasi, dan Tokyo Love Story
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 July 2018 12:10

Pada akhir 2017 sampai awal 2018, ada harapan perekonomian Jepang akan membaik. Sejak Oktober 2017 sampai Februari 2018, inflasi Jepang melaju cukup kencang. Jika tren ini bisa bertahan, maka target inflasi 2% pun sudah di depan mata.
Pelaku pasar yang terbuai pun sempat memikirkan soal BoJ yang akan memulai pengetatan moneter. Aura pemulihan ekonomi Jepang terbawa sampai ke pasar modal, di mana indeks Nikkei 225 menguat 19,6% pada akhir 2017 dibandingkan akhir tahun sebelumnya.
Namun, semua berubah. Agak sulit mencari ujung masalahnya, tetapi Jepang ternyata masih menghadapi sejumlah masalah. Pertama adalah perang dagang.
Genderang perang dagang dalam skala global mulai terdengar awal 2018, kala Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerapkan bea masuk bagi impor berbagai produk seperti mesin cuci dan panel surya. Setelah itu, kita semua tahu kelanjutannya.
Jepang merupakan salah satu korban Trump, di mana ekspor baja mereka ke AS sudah terkena bea masuk 25%. Perang dagang membuat ekspor Jepang agak tersendat.
Dengan perekonomian Jepang yang masih didorong oleh ekspor, maka pertumbuhan pun melambat. Pada kuartal I-2018, perekonomian Jepang terkontraksi (negatif) 0,6% YoY.
Konsumsi belum pulih, sementara ekspor 'dihajar' oleh perang dagang. Tidak heran pertumbuhan ekonomi Jepang pun minus.
Masalah kedua adalah mata uang yen Jepang yang menguat. Sepanjang tahun ini, yen menguat 0,2% terhadap dolar AS. Yen adalah satu-satunya mata uang Asia yang mampu menguat di hadapan greenback.
Perekonomian global yang masih penuh 'huru-hara' membuat investor memilih bermain aman dan mengincar aset-aset aman alias safe haven. Secara tradisional, yen adalah salah satu aset safe haven selain franc Swiss dan emas.
Perang dagang, situasi Timur Tengah yang memanas, perjanjian nuklir Iran yang hampir kolaps karena ditinggal AS, dan sebagainya mewarnai perjalanan 2018. Peristiwa-peristiwa itu membuat investor ingin mencari selamat, tidak mau terlalu mengambil risiko. Yen pun kebajiran peminat, sehingga nilainya masih menguat.
Apresiasi yen tentu memukul perekonomian Jepang yang masih merupakan negara eksportir. Saat nilai tukar menguat, maka ekspor Jepang menjadi kurang kompetitif karena produk-produk made in Japan lebih mahal di pasar global.
Di sisi lain, impor pun membanjir karena harga produk luar menjadi lebih terjangkau. Hasilnya sudah tertebak. Pada Juni 2018, ekspor Jepang tumbuh 6,7% YoY, lebih rendah ketimbang konsensus pasar yaitu 7%. Juga melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mampu tumbuh 8,1%. Biang keladi dari perlambatan ekspor ini tidak lain adalah yen yang terlampau kuat.
Indeks Tankan, yang menggambarkan optimisme pengusaha di Jepang, pada Juni 2018 berada di angka 16. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 17. Sementara indeks Tankan untuk pelaku usaha manufaktur turun menjadi 17 dari 18 pada bulan sebelumnya.
Penyebab penurunan optimisme ini adalah penguatan mata uang yen. Pengusaha memperkirakan rata-rata nilai tukar yen pada semester II-2018 adalah JPY 107,26/US$. Menguat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu JPY 110,63/US$.
Ekspor yang tertekan membuat pengusaha sulit berekspansi. Permintaan domestik pun belum bisa diharapkan untuk mendongkrak penjualan. Hasilnya adalah keyakinan dunia usaha turun, gambaran ekonomi yang masih suram.
(aji/prm)
![]() |
![]() |
Jepang merupakan salah satu korban Trump, di mana ekspor baja mereka ke AS sudah terkena bea masuk 25%. Perang dagang membuat ekspor Jepang agak tersendat.
Dengan perekonomian Jepang yang masih didorong oleh ekspor, maka pertumbuhan pun melambat. Pada kuartal I-2018, perekonomian Jepang terkontraksi (negatif) 0,6% YoY.
Konsumsi belum pulih, sementara ekspor 'dihajar' oleh perang dagang. Tidak heran pertumbuhan ekonomi Jepang pun minus.
Masalah kedua adalah mata uang yen Jepang yang menguat. Sepanjang tahun ini, yen menguat 0,2% terhadap dolar AS. Yen adalah satu-satunya mata uang Asia yang mampu menguat di hadapan greenback.
![]() |
Perang dagang, situasi Timur Tengah yang memanas, perjanjian nuklir Iran yang hampir kolaps karena ditinggal AS, dan sebagainya mewarnai perjalanan 2018. Peristiwa-peristiwa itu membuat investor ingin mencari selamat, tidak mau terlalu mengambil risiko. Yen pun kebajiran peminat, sehingga nilainya masih menguat.
Apresiasi yen tentu memukul perekonomian Jepang yang masih merupakan negara eksportir. Saat nilai tukar menguat, maka ekspor Jepang menjadi kurang kompetitif karena produk-produk made in Japan lebih mahal di pasar global.
Di sisi lain, impor pun membanjir karena harga produk luar menjadi lebih terjangkau. Hasilnya sudah tertebak. Pada Juni 2018, ekspor Jepang tumbuh 6,7% YoY, lebih rendah ketimbang konsensus pasar yaitu 7%. Juga melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mampu tumbuh 8,1%. Biang keladi dari perlambatan ekspor ini tidak lain adalah yen yang terlampau kuat.
Indeks Tankan, yang menggambarkan optimisme pengusaha di Jepang, pada Juni 2018 berada di angka 16. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 17. Sementara indeks Tankan untuk pelaku usaha manufaktur turun menjadi 17 dari 18 pada bulan sebelumnya.
Penyebab penurunan optimisme ini adalah penguatan mata uang yen. Pengusaha memperkirakan rata-rata nilai tukar yen pada semester II-2018 adalah JPY 107,26/US$. Menguat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu JPY 110,63/US$.
Ekspor yang tertekan membuat pengusaha sulit berekspansi. Permintaan domestik pun belum bisa diharapkan untuk mendongkrak penjualan. Hasilnya adalah keyakinan dunia usaha turun, gambaran ekonomi yang masih suram.
(aji/prm)
Next Page
Jalan Berliku Cinta Jepang dan Inflasi
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular