Pasar Terganggu, Harga CPO Semester I-2018 Turun 7,07%

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 July 2018 07:27
Pasar Terganggu, Harga CPO Semester I-2018 Turun 7,07%
Foto: REUTERS/Bazuki Muhammad
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mengalami paceklik pada enam bulan pertama 2018, dengan koreksi 7,07%, menyusul kebijakan anti-CPO Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), dan India sebagai konsumen utama produk tersebut dunia.

Pada hari perdagangan terakhir bulan Juni 2018, harga CPO untuk kontrak pengiriman Juni 2018 tercatat sebesar 2.326 ringgit/ton, atau melemah 5,79% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sebagai catatan, harga CPO per 29 Juni 2017 masih berada di angka 2.469 ringgit/ton.

Kontraksi harga komoditas agrikultur unggulan Indonesia ini terutama terjadi pada kuartal 2-2018 yang turun hingga 4%, melanjutkan koreksi pada triwulan 1 yang mencapai 3,12%.

Namun jika dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya, koreksi harga CPO di semester I-2018 ini terbilang masih lebih mendingan dibanding semester I-2017 ketika harga CPO amblas 20,91%.

Pasar Alami DIsrupsi, Harga CPO Drop 7,07% Semester I-2018Sumber: Reuters
Penurunan itu terjadi karena tiga sentimen negatif yang menghantam CPO secara beruntun sejak awal tahun, yakni dari India, Uni Eropa (UE), dan Amerika Serikat (AS). Per 1 Maret 2018, India menaikkan tarif impor CPO dari 30% menjadi 44%.

Tarif impor produk turunan minyak sawit juga naik dari 40% menjadi 54%.Sebulan setelah kebijakan itu diberlakukan, ekspor CPO Malaysia ke India tercatat turun 25% secara bulanan (month-on-month/MoM).

Catatan bulan Mei 2018 malah lebih parah lagi. Ekspor Malaysia anjlok nyaris 75% secara MoM, atau 72,5% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Pasar Alami DIsrupsi, Harga CPO Drop 7,07% Semester I-2018Sumber: Malaysia Palm Oil Board (MPOB)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), India merupakan tujuan ekspor utama CPO Indonesia, dengan nilai US$4,9 miliar atau 7,32 juta ton pada tahun lalu. Ekspor CPO Indonesia ke India juga turun 15% dari 408.650 ton pada Maret 2018, menjadi 364.280 ton pada April.
Beralih ke Benua Biru, pelaku pasar dibuat ketar-ketir oleh Parlemen Eropa yang menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota UE, mulai 2021. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.

Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).


Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.

Kebijakan tersebut akan segera diimplementasikan dalam rancangan regulasi Post-2020 EU RED II, dan diyakini akan secara masif mengurangi ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia ke negara-negara Uni Eropa.

Perlu dicatat bahwa Indonesia mengekspor minyak sawit ke-19 negara EU, dengan total nilai US$2,89 miliar (sekitar Rp 39,81 triliun) pada tahun lalu. Nilai itu merepresentasikan 14,21% dari total nilai ekspor RI tahun 2017. Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam.

Tim lobi Indonesia yang dipimpin oleh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan diterbangkan ke Eropa dan pada 24 April bertemu Komisioner Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom di Brussels, Belgia.
Melalui lobi-lobi intensif, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.

Sayangnya, kabar positif ini tidak banyak membantu harga CPO di kuartal II karena sentimen negatif lainnya menyerang dari sisi fundamental. Menjelang bulan puasa dan hari raya Idul Fitri tahun ini, permintaan impor CPO malah amblas.  Pada Rabu (30/5/2018), Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) melaporkan penurunan ekspor minyak sawit RI pada Januari-April 2018 sebesar 4% dibandingkan dengan periode yang sama 2017, ke 10,24 juta ton.

Gapki mengakui adanya anomali pada April 2018, di mana biasanya permintaan minyak sawit naik signifikan menjelang Lebaran. Ekspor ke negara-negara mayoritas muslim seperti Bangladesh naik 222% secara bulanan pada April, dari 64.570 ton menjadi 208.100 ton. Sementara itu, ekspor ke Pakistan naik 0,23% menjadi 163.300 ton.

Dari Malaysia, ekspor CPO April 2018 turun 1,92% secara MoM, sementara pada Mei anjlok lebih dalam yakni sebesar 15,69% MoM, atau 14,57% secara YoY. Padahal, konsumen biasanya cenderung menambah pembelian CPO pada dua bulan menjelang Ramadhan dan Lebaran untuk kebutuhan memasak.

Contohnya, pada April dan Mei 2017 (sebelum bulan puasa dan Lebaran 2017), ekspor minyak sawit Malaysia tumbuh masing-masing sebesar 0,79% dan 17,97%. Situasi ini mendorong pelaku pasar berspekulasi permintaan komoditas sawit akan menurun akhir semester I-2018. 

Pasar Alami DIsrupsi, Harga CPO Drop 7,07% Semester I-2018Sumber: Malaysia Palm Oil Board (MPOB)
Usut punya usut, ternyata problemnya ada permintaan impor di AS yang menurun. Ekspor minyak sawit ke AS anjlok 42% MoM dari 106.570 ton menjadi 62.160 ton, pada April. Penurunan ini tidak lepas dari kenaikan stok minyak kedelai di AS akibat retaliasi China ke AS.


Minyak kedelai adalah salah satu komoditas yang paling terdampak dari perang dagang AS-China. Perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu diperkirakan membatalkan sebagian besar impor minyak kedelai dari AS, seiring pemberlakuan bea impor ekstra sebesar 25%.

Akibatnya, stok minyak kedelai, yang merupakan rival abadi minyak sawit di industri minyak nabati, melimpah di Negeri Paman Sam. Hal ini berujung pada AS yang akhirnya mengurangi impor CPO dari Indonesia.

Terlebih, pada akhir Februari 2018, sang negeri adidaya juga mengonfirmasi bahwa Argentina dan Indonesia terlibat dalam praktik dumping biodisel, dan kemudian menetapkan bea masuk anti-dumping (BAMD) dalam rentang 60-277%.

Berdasarkan temuan awal dari Departemen Perdagangan AS pada Oktober 2017, Argentina diduga menjual biodisel pada margin dumping 54,4 % hingga 70,5%, sedangkan eksportir dari Indonesia menjual minyak sawit pada margin 50,7%.

Kemudian, pada April 2018, Komisi Perdagangan Internasional AS kembali menekankan pengenaan BAMD, ditambah Countervailing Duty (CVD) kepada produk biodisel Indonesia. Dokumen Federal Register menyebutkan kisarannya mulai dari 126,97% hingga 341,38%.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular