China Setop Beli Produk Pertanian AS, Harga CPO Amblas!

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
07 August 2019 06:35
Harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) kembali tertekan.
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) kembali tertekan setelah sempat berada pada harga tertinggi dalam dua minggu. Kejatuhan harga CPO disebabkan penurunan harga kedelai dunia setelah China memutuskan menyetop impor beberapa produk pertanian Amerika Serikat (AS).

Pada perdagangan tengah hari kemarin, harga CPO kontrak pengiriman Oktober di Bursa Malaysia Derivatives Exchange (BMDEX) melemah 0,33% ke level MYR 2.084/ton. Padahal di awal pekan, harga CPO ditutup melesat 1,5% di posisi MYR 2.093/ton, tertinggi dalam dua minggu terakhir.

Foto: Reuters


Kejatuhan harga CPO merupakan dampak dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengumumkan akan mengenakan bea impor sebesar 10% atas produk asal China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September 2019.

Langkah Negeri Paman Sam direspons China dengan memberikan serangan balasan. Juru bicara Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu telah menghentikan pembelian produk-produk pertanian asal AS, seperti dikutip dari Reuters.

China merupakan salah satu pembeli terbesar produk-produk pertanian AS, yang salah satunya adalah kedelai. Kala pembelian dari AS terhenti, maka akan ada banyak kedelai yang tidak terjual di negara itu. Akhirnya inventori kedelai meningkat dan membuat harganya jatuh.

Tak heran pada kemarin, harga minyak kedelai di bursa Chicago Board of Trade (CBOT) anjlok hingga 1,59%.

Di pasar sawit, harga minyak kedelai punya pengaruh yang besar. Pasalnya kedua produk tersebut (minyak sawit dan kedelai) merupakan substitusi satu sama lain.

Hampir seluruh fungsi minyak sawit dapat digantikan oleh minyak kedelai. Keduanya bersaing untuk mendapatkan bagian di pasar minyak nabati global. Alhasil pergerakan harga minyak kedelai akan memiliki pengaruh yang searah terhadap pergerakan minyak sawit.



Selain itu, harga komoditas juga mendapat tekanan dari risiko perang mata uang (currency war) yang tengah berlangsung. Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah mata uangnya di level CNY 6,922/US$ atau terendah sejak 3 Desember 2018.

Sementara pada akhir perdagangan kemarin, kurs yuan ditutup pada level CNY 7,03/US$ atau merupakan posisi paling lemah sejak Maret 2008.

Di China, pergerakan nilai mata uang tidak murni hanya karena mekanisme pasar. PBOC punya wewenang untuk menetapkan nilai tengah mata uang yuan di setiap sesi perdagangan. Dengan cara tersebut, otoritas moneter dapat mengatur batas pergerakan mata uangnya.

Ada kemungkinan hal itu dilakukan untuk memperkuat ekspor China. Karena ketika yuan melemah, harga produk-produk asal Negeri Tirai Bambu menjadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Alhasil harga ekspor akan lebih kompetitif di pasar global.

Jadi, walaupun sulit masuk ke AS karena ada bea impor yang tinggi, barang-barang 'murah' asal China akan lebih mudah menembus pasar di negara-negara lain.

Beberapa analis bahkan memperkirakan pelemahan yuan akan terus berlanjut dan menembus level CNY 7,3/US$, seperti dikutip dari Reuters.

Ada risiko di mana negara-negara lain turut bertendensi melemahkan mata uang seperti yang dilakukan China. Kondisi yang sedemikian rupa tidak baik bagi perdagangan internasional.

Foto: Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk. Santosa (CNBC Indonesia/Houtmand P Saragih)


Sementara itu, pelaku industri CPO nasional melihat faktor perang dagang dan penolakan Uni Eropa (UE) terhadap minyak sawit Indonesia jadi faktor pemberat penurunan harga CPO.

Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Santosa bahkan sempat menyatakan tahun ini merupakan periode terburuk dalam 10 tahun terakhir.

Santosa menyebutkan, harga komoditas sawit mentah rentan bergejolak. Hal itu memang menjadi faktor krusial yang tidak bisa dikendalikan oleh satu perusahaan saja. Perang dagang AS-China serta dampak kampanye negatif sawit di UE sudah berlangsung lama

"Semua di dunia sekarang perang dagang, Indonesia produk unggulan-nya kelapa sawit. Industri ini berpengaruh terhadap tenaga kerja dan ekonomi di tingkat akar rumput. Ini dijadikan senjata negara lain untuk negosiasi dagang dengan Indonesia," kata Santosa saat wawancara khusus dengan CNBC Indonesia, Selasa (6/8/2019).

Menurut Santosa, faktor utama yang menyebabkan harga CPO anjlok dan produsen mengalami tekanan sepanjang semester I-2019 karena disebabkan oleh mekanisme pasar yang menentukan terbentuknya harga berdasarkan supply and demand.

Saat ini stok minyak nabati dunia melimpah akibat produksi yang sangat tinggi. Sementara produksi CPO Indonesia terus meningkat dan saat ini sudah mencapai sekitar 45 juta ton.

[Gambas:Video CNBC]


(hps/miq) Next Article Gapki Dukung Langkah Defensif Hadapi Diskriminasi CPO RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular