
Isu Geopolitik Bawa Minyak Naik 22,72% Semester I-2018
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
02 July 2018 20:52

Jakarta, CNBC Indonesia -- Harga komoditas minyak mentah dunia bergerak dalam tren menanjak pada semester I-2018. Harga minyak jenis light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) menguat 22,72%, sementara Brent yang menjadi acuan Eropa juga menanjak 18,8%,
Penguatan ini berbalik dari semester I-2017 tatkala harga minyak jenis light sweet terkoreksi 14,3%. Brent bahkan melemah 15,66% pada semester I tahun lalu.
Pada penutupan perdagangan di hari terakhir Juni 2018, harga light sweet untuk kontrak pengiriman Agustus 2018 bercokol pada US$74,15/barel, sementara Brent pengiriman September 2018 berada di level US$79,44/barel.
Secara tahunan (year-on-year/ YoY), harga minyak global hingga 29 Juni 2018 bahkan melonjak lebih dari 60%, jauh meninggalkan posisi pada periode yang sama tahun lalu ketika masih di kisaran US$46- US$47 per barel.
Melambungnya harga minyak dunia dipicu oleh dua sentimen utama. Pertama, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang secara de facto dimotori Arab Saudi dan produsen minyak non-OPEC (dipimpin Rusia) sepakat memotong produksi minyak global sebesar 1,8 juta barel per hari (bph) hingga akhir tahun ini.
Komitmen itu mampu dijaga hingga Mei 2018, dengan tingkat kepatuhan pemotongan produksi sebesar 162%, sedikit turun dari capaian April 2018 sebesar 171%. Namun, angka menunjukkan bahwa realisasi pemangkasan produksi telah melampaui targetnya.
Sebagai informasi, tingkat kepatuhan pada April tersebut merupakan yang tertinggi sejak kesepakatan pemotongan produksi disetujui pertama kali pada Januari 2017.
Dari segi volume, produksi minyak mentah OPEC juga berada dalam tren menurun tahun ini. Dari data terakhir yang dirilis OPEC, produksi minyak Mei 2018 memang naik tipis 40.000 bph secara bulanan (month-to-month/ MtM), tetapi jika dihitung sejak 2017, produksi minyak mentah OPEC sudah amblas 500.000 bph.
Kedua, tidak hanya didorong oleh kesepakatan pemangkasan OPEC dan mitra produsen minyak non-OPEC, produksi minyak mentah di sejumlah negara anggota OPEC juga sedang mengalami disrupsi. Yang paling dikhawatirkan tentu saja berkurangnya pasokan minyak mentah global dari Iran menyusul sanksi AS terhadap Negeri Persia tersebut.
AS, China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris pada 2015 menghapus sansi terhadap Iran karena Iran membatasi program nuklirnya. Per Januari 2016, Iran pun kembali menjadi salah satu eksportir minyak mentah utama dunia.
Namun, presiden AS Donald Trump secara tegas mengatakan bahwa isi kesepakatan dengan Iran banyak mengandung kesalahan fatal, seperti pengembangan program nuklir selepas 2025 atau keterlibatan Negeri Persia dalam konflik Timur Tengah.
Sesuai peraturan yang berlaku, mantan taipan properti itu mendapatkan tenggat waktu hingga 12 Mei 2018 untuk memutuskan sikapnya terkait kesepakatan nuklir Iran. Tapi 4 hari sebelum tanggal itu tiba, Trump mengumumkan bahwa AS keluar sepihak dari kesepakatan itu.
Sejauh ini, belum ada perkembangan positif terkait situasi di Iran. Terbaru, AS ingin negara-negara sekutunya, termasuk China dan India, menghentikan impor minyak dari Iran mulai November. Tujuannya adalah agar akses pendanaan bagi Teheran semakin terbatas.
Senasib dengan Iran, pasokan minyak Venezuela juga dikhawatirkan berkurang signifikan. Produksi minyak mentah negara Hugo Chavez ini sedang tertimpa krisis akibat terhambatnya investasi, kesalahan manajemen, dan konfrontasi dengan AS yang berujung pada sanksi.
Pengiriman minyak Caracas terhambat karena aset PDVSA (perusahaan BUMN minyak Venezuela) disita akibat perselisihan dengan perusahaan asing. Reuters bahkan melaporkan bahwa PDVSA sempat menyatakan kondisi kahar (force majeure) pada sejumlah ekspornya.
Terlebih, setelah Nicolas Maduro kembali terpilih sebagai presiden, AS menyatakan tidak merestui rezim Maduro untuk kembali berkuasa selama 6 tahun ke depan. Trump lantas melarang warga negara AS membeli aset-aset Venezuela guna membatasi "ruang korupsi."
Jika Venezuela kesulitan memperoleh akses pembiayaan, maka produksi dan distribusi minyak dari negara itu akan semakin terdisrupsi. Padahal, Venezuela adalah negara dengan cadangan minyak terbesar dunia. Negeri yang banyak melahirkan Miss Universe ini punya cadangan minyak 300,88 miliar barel, setara dengan 25% dari total cadangan OPEC.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Dalam rangka mengompensasi jatuhnya pasokan dari Iran dan Venezuela, OPEC dan mitra produsen minyak non-OPEC akhirnya melonggarkan kesepakatan pemangkasan produksi. Dalam pertemuan di Wina (Austria) pada 22 Juni lalu, OPEC setuju menaikkan produksinya sekitar 1 juta bph.
Namun belum ada target yang dibebankan kepada negara anggotanya. Sentimen ini sempat menekan harga minyak, akan tetapi tidak bertahan lama.
Pelaku pasar menilai kenaikan produksi 1 juta bph tidak terlalu besar. Bahkan secara riil di lapangan, kenaikan produksi mungkin hanya sekitar 770.000 bph karena beberapa negara seperti Venezuela atau Iran akan sulit menaikkan produksi minyak.
Oleh karena itu, kenaikan produksi tersebut diperkirakan bisa diserap oleh pasar, sehingga tidak akan ada kelebihan pasokan yang terlampau besar. Namun harus diakui ketidakpastian pasar minyak global masih ada di permukaan. Masih ada kemungkinan tambahan pasokan di lapangan terlalu banyak, sehingga tidak terserap pasar.
Barclays memprediksi pasokan minyak dunia yang awalnya diperkirakan defisit 0,2 juta bph pada semester II-2018 menjadi surplus 0,2 juta bph. Terbaru, AS ikut “memanaskan” isu penambahan pasokan OPEC ini.
Pada Sabtu (30/6/2018), Gedung Putih menyampaikan bahwa Raja Salman telah menjanjikan Trump, bahwa dia dapat menaikkan produksi minyak jika dibutuhkan. Saudi juga disebutkan mengklaim bisa melonggarkan ruang peningkatan hingga 2 juta bph. Harga minyak global pun langsung terkoreksi hingga lebih dari 1% menyambut kabar ini.
Kemudian, produksi minyak mentah Negeri Paman Sam juga telah berada di angka 10,9 juta barel/hari, mendekati tingkat produksi 11 juta barel/hari. Kapasitas sebesar itu sebelumnya hanya dapat dicapai oleh Rusia, sang produsen nomor wahid dunia.
Kombinasi dua faktor tersebut berpeluang memicu terjadinya guyuran minyak dari OPEC, Rusia, dan AS, masing-masing sekitar 11 juta bph. Hal ini lantas berpeluang besar menahan penguatan harga sang emas hitam di kuartal III-2018.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Harga Minyak Naik Merespons Turunnya Inventori AS
Penguatan ini berbalik dari semester I-2017 tatkala harga minyak jenis light sweet terkoreksi 14,3%. Brent bahkan melemah 15,66% pada semester I tahun lalu.
Pada penutupan perdagangan di hari terakhir Juni 2018, harga light sweet untuk kontrak pengiriman Agustus 2018 bercokol pada US$74,15/barel, sementara Brent pengiriman September 2018 berada di level US$79,44/barel.
![]() |
Sebagai informasi, tingkat kepatuhan pada April tersebut merupakan yang tertinggi sejak kesepakatan pemotongan produksi disetujui pertama kali pada Januari 2017.
Dari segi volume, produksi minyak mentah OPEC juga berada dalam tren menurun tahun ini. Dari data terakhir yang dirilis OPEC, produksi minyak Mei 2018 memang naik tipis 40.000 bph secara bulanan (month-to-month/ MtM), tetapi jika dihitung sejak 2017, produksi minyak mentah OPEC sudah amblas 500.000 bph.
![]() |
AS, China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris pada 2015 menghapus sansi terhadap Iran karena Iran membatasi program nuklirnya. Per Januari 2016, Iran pun kembali menjadi salah satu eksportir minyak mentah utama dunia.
Namun, presiden AS Donald Trump secara tegas mengatakan bahwa isi kesepakatan dengan Iran banyak mengandung kesalahan fatal, seperti pengembangan program nuklir selepas 2025 atau keterlibatan Negeri Persia dalam konflik Timur Tengah.
Sesuai peraturan yang berlaku, mantan taipan properti itu mendapatkan tenggat waktu hingga 12 Mei 2018 untuk memutuskan sikapnya terkait kesepakatan nuklir Iran. Tapi 4 hari sebelum tanggal itu tiba, Trump mengumumkan bahwa AS keluar sepihak dari kesepakatan itu.
Sejauh ini, belum ada perkembangan positif terkait situasi di Iran. Terbaru, AS ingin negara-negara sekutunya, termasuk China dan India, menghentikan impor minyak dari Iran mulai November. Tujuannya adalah agar akses pendanaan bagi Teheran semakin terbatas.
Senasib dengan Iran, pasokan minyak Venezuela juga dikhawatirkan berkurang signifikan. Produksi minyak mentah negara Hugo Chavez ini sedang tertimpa krisis akibat terhambatnya investasi, kesalahan manajemen, dan konfrontasi dengan AS yang berujung pada sanksi.
Pengiriman minyak Caracas terhambat karena aset PDVSA (perusahaan BUMN minyak Venezuela) disita akibat perselisihan dengan perusahaan asing. Reuters bahkan melaporkan bahwa PDVSA sempat menyatakan kondisi kahar (force majeure) pada sejumlah ekspornya.
Terlebih, setelah Nicolas Maduro kembali terpilih sebagai presiden, AS menyatakan tidak merestui rezim Maduro untuk kembali berkuasa selama 6 tahun ke depan. Trump lantas melarang warga negara AS membeli aset-aset Venezuela guna membatasi "ruang korupsi."
Jika Venezuela kesulitan memperoleh akses pembiayaan, maka produksi dan distribusi minyak dari negara itu akan semakin terdisrupsi. Padahal, Venezuela adalah negara dengan cadangan minyak terbesar dunia. Negeri yang banyak melahirkan Miss Universe ini punya cadangan minyak 300,88 miliar barel, setara dengan 25% dari total cadangan OPEC.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Dalam rangka mengompensasi jatuhnya pasokan dari Iran dan Venezuela, OPEC dan mitra produsen minyak non-OPEC akhirnya melonggarkan kesepakatan pemangkasan produksi. Dalam pertemuan di Wina (Austria) pada 22 Juni lalu, OPEC setuju menaikkan produksinya sekitar 1 juta bph.
Namun belum ada target yang dibebankan kepada negara anggotanya. Sentimen ini sempat menekan harga minyak, akan tetapi tidak bertahan lama.
Pelaku pasar menilai kenaikan produksi 1 juta bph tidak terlalu besar. Bahkan secara riil di lapangan, kenaikan produksi mungkin hanya sekitar 770.000 bph karena beberapa negara seperti Venezuela atau Iran akan sulit menaikkan produksi minyak.
Oleh karena itu, kenaikan produksi tersebut diperkirakan bisa diserap oleh pasar, sehingga tidak akan ada kelebihan pasokan yang terlampau besar. Namun harus diakui ketidakpastian pasar minyak global masih ada di permukaan. Masih ada kemungkinan tambahan pasokan di lapangan terlalu banyak, sehingga tidak terserap pasar.
Barclays memprediksi pasokan minyak dunia yang awalnya diperkirakan defisit 0,2 juta bph pada semester II-2018 menjadi surplus 0,2 juta bph. Terbaru, AS ikut “memanaskan” isu penambahan pasokan OPEC ini.
Pada Sabtu (30/6/2018), Gedung Putih menyampaikan bahwa Raja Salman telah menjanjikan Trump, bahwa dia dapat menaikkan produksi minyak jika dibutuhkan. Saudi juga disebutkan mengklaim bisa melonggarkan ruang peningkatan hingga 2 juta bph. Harga minyak global pun langsung terkoreksi hingga lebih dari 1% menyambut kabar ini.
![]() |
Kombinasi dua faktor tersebut berpeluang memicu terjadinya guyuran minyak dari OPEC, Rusia, dan AS, masing-masing sekitar 11 juta bph. Hal ini lantas berpeluang besar menahan penguatan harga sang emas hitam di kuartal III-2018.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Harga Minyak Naik Merespons Turunnya Inventori AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular