
Internasional
CEO Glencore Mundur dari Direksi Raksasa Aluminium Rusal
Prima Wirayani & Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
10 April 2018 14:24

Jakarta, CNBC Indonesia - CEO raksasa pertambangan, Glencore, Ivan Glasenberg mengundurkan diri dari posisinya sebagai anggota direksi perusahaan aluminium Rusia, Rusal.
Dilansir dari CNBC International, perusahaan asal Swiss yang mencatatkan sahamnya di Inggris itu memiliki 8,75% saham di Rusal.
Langkah itu muncul setelah anjloknya saham Rusal hari Senin (9/4/2018) setelah Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi baru untuk Rusal hari Jumat (6/4/2018).
Harga saham raksasa komoditas, Glencore, turun hampir 2% akibat pemberitaan hari Jumat, yang menyebut Kementerian Keuangan AS menjatuhkan sanksi terhadap tujuh oligarki Rusia dan bisnisnya, serta 17 pejabat pemerintah Rusia. Penurunan pun berlanjut ke hari Senin (9/4/2018) karena sahamnya diperdagangkan lebih murah 4%.
Hal ini terjadi karena Glencore, perusahaan tambang terbesar di dunia, memiliki 8,75% saham di produsen aluminium terbesar di Rusia, yaitu Rusal. Perusahaan itu masuk ke dalam daftar penerima sanksi dari Kemenkeu AS.
Pada hari Senin, nilai tukar mata uang Rusia rubel turun dan bursa saham Moskow mengalami penurunan terbesar dalam empat tahun.
"Relasi Rusia-Barat terus memburuk dengan sedikit tanda-tanda penurunan ketegangan," kata Timothy Ash, Senior Emerging Markets Portfolio Manager di BlueBay Asset Management, dalam sebuah catatan pada hari Senin yang dilansir dari CNBC International. Dia menjelaskan sanksi tersebut adalah yang paling signifikan untuk saat ini.
"Ini bahkan bukan Perang Dingin, tapi sebenarnya lebih dari itu dan menjadi Perang Hibrida."
Sanksi yang memasukkan orang-orang dan entitas tertentu ke dalam daftar Specifically Designated Nationals (SDN) adalah bagian dari Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yang diresmikan oleh Kongres pada bulan 2017. Undang-undang itu dibuat untuk menanggapi campur tangan Rusia ke dalam pemilu AS tahun 2016 dan tindakan militernya di Ukraina dan Suriah. Label SDN membekukan aset AS milik perorangan atau perusahaan dan melarang warga Amerika untuk berbisnis dengan mereka.
Meskipun begitu, sampai hari Jumat tindakan tertarget dan keras tersebut belum disahkan. Hal itu dipandang sebagai hasil dari keengganan yang tampak dari Presiden AS Donald Trump untuk menghukum pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sanksi baru tersebut meningkatkan risiko ancaman investasi Barat di Rusia. Pemegang saham AS saat ini memiliki waktu 30 hari untuk menjual saham mereka di perusahaan besar Rusia seperti Rusal, En+ dan GAZ, yang merupakan perusahaan bus terbesar di Rusia.
Rusal dan En+ dimiliki oleh miliuner Rusia dan raja aluminium Oleg Deripaska, sekutu dekat dari Putin. Perusahaan itu juga akan dikeluarkan dari bursa saham Barat.
Tidak ada yang aman
Pemberlakuan sanksi ini menggambarkan "eskalasi taktis" dari program sanksi AS, kata Max Hess, Analis Risiko Politik di AKE Group. Rusia telah mengejek langkah tersebut sebagai tindakan bermusuhan dan sedang menyusun tanggapan, menurut Kementerian Luar Negeri negara itu.
Saham Rusal anjlok 50% di perdagangan Hong Kong di tengah kekhawatiran akan kemampuan perusahaan berjualan di masa mendatang. Langkah tersebut bertujuan untuk mempersulit Deripaska dan oligarki lain, yang memiliki keterlibatan yang ekstensif di pasar modal global, untuk berbisnis secara internasional.
Deripaska, yang dalam pernyataan Kemenkeu dituduh terlibat dalam aktivitas Rusia yang "jahat", menyebut klaim tersebut "tidak berdasar" dan "konyol".
Perusahaan holding En+ senilai US$11 miliar (Rp 151,2 triliun) milik Deripaska yang memiliki saham mayoritas di Rusal, harga sahamnya turun 17% pada perdagangan Senin pagi. Perusahaan itu mengeluarkan pernyataan yang mengatakan "sangat mungkin" dampak sanksi "merugikan secara materi ke bisnis dan prospek grup".
Gelombang kekhawatiran menjalar di seluruh komunitas oligarki Rusia karena kontrak pasar sahamnya adalah bukti dari tujuan Kemenkeu AS untuk "memperkenalkan tingkat yang tidak bisa diprediksi terhadap sanksi rezim ke depan," menurut Ash. Ia merekomendasikan untuk memprediksi sanksi yang lebih banyak. Pada dasarnya, pesan yang dikirim oleh Washington adalah tidak ada yang aman.
Glencore adalah pembeli utama logam Rusal. Kini, banyak pertanyaan bermunculan apakah nasib relasi kedua perusahaan itu masih akan melangkah maju. Sebelumnya, perusahaan berencana untuk menukar sahamnya di Rusal dengan saham di EN+, tetapi kesepakatan tersebut sudah tidak layak lagi, kata Hess.
Glencore tidak berkomentar tentang masalah ini.
Namun, Rusia memilih untuk memberi respons. Jelas sekali sanksi tersebut memiliki dampak teraba oleh lingkaran elit yang mengendalikan banyak entitas bisnis Rusia yang terpusat ke Putin dan para sekutu pemangku pengaruh.
"Kemenkeu AS memperkenalkan elemen yang tidak bisa diprediksi dalam bersepakat dengan Rusia yang bisa terbukti menjadi senjata rahasianya," kata Ash.
(prm) Next Article AS Siap Jatuhkan Sanksi Baru, Saham-saham Rusia Jatuh
Dilansir dari CNBC International, perusahaan asal Swiss yang mencatatkan sahamnya di Inggris itu memiliki 8,75% saham di Rusal.
Langkah itu muncul setelah anjloknya saham Rusal hari Senin (9/4/2018) setelah Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi baru untuk Rusal hari Jumat (6/4/2018).
Hal ini terjadi karena Glencore, perusahaan tambang terbesar di dunia, memiliki 8,75% saham di produsen aluminium terbesar di Rusia, yaitu Rusal. Perusahaan itu masuk ke dalam daftar penerima sanksi dari Kemenkeu AS.
Pada hari Senin, nilai tukar mata uang Rusia rubel turun dan bursa saham Moskow mengalami penurunan terbesar dalam empat tahun.
"Relasi Rusia-Barat terus memburuk dengan sedikit tanda-tanda penurunan ketegangan," kata Timothy Ash, Senior Emerging Markets Portfolio Manager di BlueBay Asset Management, dalam sebuah catatan pada hari Senin yang dilansir dari CNBC International. Dia menjelaskan sanksi tersebut adalah yang paling signifikan untuk saat ini.
"Ini bahkan bukan Perang Dingin, tapi sebenarnya lebih dari itu dan menjadi Perang Hibrida."
Sanksi yang memasukkan orang-orang dan entitas tertentu ke dalam daftar Specifically Designated Nationals (SDN) adalah bagian dari Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yang diresmikan oleh Kongres pada bulan 2017. Undang-undang itu dibuat untuk menanggapi campur tangan Rusia ke dalam pemilu AS tahun 2016 dan tindakan militernya di Ukraina dan Suriah. Label SDN membekukan aset AS milik perorangan atau perusahaan dan melarang warga Amerika untuk berbisnis dengan mereka.
Meskipun begitu, sampai hari Jumat tindakan tertarget dan keras tersebut belum disahkan. Hal itu dipandang sebagai hasil dari keengganan yang tampak dari Presiden AS Donald Trump untuk menghukum pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sanksi baru tersebut meningkatkan risiko ancaman investasi Barat di Rusia. Pemegang saham AS saat ini memiliki waktu 30 hari untuk menjual saham mereka di perusahaan besar Rusia seperti Rusal, En+ dan GAZ, yang merupakan perusahaan bus terbesar di Rusia.
Rusal dan En+ dimiliki oleh miliuner Rusia dan raja aluminium Oleg Deripaska, sekutu dekat dari Putin. Perusahaan itu juga akan dikeluarkan dari bursa saham Barat.
Tidak ada yang aman
Pemberlakuan sanksi ini menggambarkan "eskalasi taktis" dari program sanksi AS, kata Max Hess, Analis Risiko Politik di AKE Group. Rusia telah mengejek langkah tersebut sebagai tindakan bermusuhan dan sedang menyusun tanggapan, menurut Kementerian Luar Negeri negara itu.
Saham Rusal anjlok 50% di perdagangan Hong Kong di tengah kekhawatiran akan kemampuan perusahaan berjualan di masa mendatang. Langkah tersebut bertujuan untuk mempersulit Deripaska dan oligarki lain, yang memiliki keterlibatan yang ekstensif di pasar modal global, untuk berbisnis secara internasional.
Deripaska, yang dalam pernyataan Kemenkeu dituduh terlibat dalam aktivitas Rusia yang "jahat", menyebut klaim tersebut "tidak berdasar" dan "konyol".
Perusahaan holding En+ senilai US$11 miliar (Rp 151,2 triliun) milik Deripaska yang memiliki saham mayoritas di Rusal, harga sahamnya turun 17% pada perdagangan Senin pagi. Perusahaan itu mengeluarkan pernyataan yang mengatakan "sangat mungkin" dampak sanksi "merugikan secara materi ke bisnis dan prospek grup".
Gelombang kekhawatiran menjalar di seluruh komunitas oligarki Rusia karena kontrak pasar sahamnya adalah bukti dari tujuan Kemenkeu AS untuk "memperkenalkan tingkat yang tidak bisa diprediksi terhadap sanksi rezim ke depan," menurut Ash. Ia merekomendasikan untuk memprediksi sanksi yang lebih banyak. Pada dasarnya, pesan yang dikirim oleh Washington adalah tidak ada yang aman.
Glencore adalah pembeli utama logam Rusal. Kini, banyak pertanyaan bermunculan apakah nasib relasi kedua perusahaan itu masih akan melangkah maju. Sebelumnya, perusahaan berencana untuk menukar sahamnya di Rusal dengan saham di EN+, tetapi kesepakatan tersebut sudah tidak layak lagi, kata Hess.
Glencore tidak berkomentar tentang masalah ini.
Namun, Rusia memilih untuk memberi respons. Jelas sekali sanksi tersebut memiliki dampak teraba oleh lingkaran elit yang mengendalikan banyak entitas bisnis Rusia yang terpusat ke Putin dan para sekutu pemangku pengaruh.
"Kemenkeu AS memperkenalkan elemen yang tidak bisa diprediksi dalam bersepakat dengan Rusia yang bisa terbukti menjadi senjata rahasianya," kata Ash.
(prm) Next Article AS Siap Jatuhkan Sanksi Baru, Saham-saham Rusia Jatuh
Most Popular