
European Super League Kolaps! People Power atau Money Power?

Suara penolakan terhadap ESL bermunculan. Federasi Sepakbola Eropa (UEFA) mengutuk keras ESL dan mengancam bakal memberi sanksi bagi klub hingga pemain yang berpartisipasi di dalamnya.
"Jika ini (Liga Super Eropa) sampai terjadi, maka kami menegaskan bahwa UEFA, FA (Federasi Sepakbola Inggris), RFEF (Federasi Sepakbola Spanyol), FIGC (Federasi Sepakbola Italia), Liga Primer Inggris, La Liga, Serie A, dan FIFA akan bersatu untuk menghentikannya. Ini adalah proyek yang dibentuk untuk kepentingan sendiri saat kita semua membutuhkan solidaritas.
"Kami mempertimbangkan seluruh opsi yang tersedia baik secara olahraga maupun hukum. Klub yang berpartisipasi bisa dilarang berkompetisi baik di level domestik, Eropa, maupun dunia. Pemain-pemain juga bisa tidak dibolehkan untuk membela tim nasional.
"Kami berterima kasih kepada klub dari Jerman dan Prancis yang menolak ikut serta. Kami meminta para pecinta sepakbola, suporter, politisi, dan seluruh komponen masyarakat untuk melawan. Enough is enough," tegas penyataan resmi UEFA.
Komunitas sepakbola pun meradang. Sebab, tempat kompetisi antar-klub adalah sesuatu yang diperjuangkan di lapangan dengan keringat, bukan dengan 'penunjukan langsung'.
Pemandangan ini terpampang nyata di laga Leeds United kontra Liverpool di Liga Primer Inggris awal pekan ini. Para pemain Leeds menggunakan kaus bertuliskan Earn It di bawah logo Liga Champions Eropa. Itu tadi, untuk berlaga di kompetisi antar-klub tertinggi harus berjuang dulu. Siapa yang layak ke sana harus ditentukan di lapangan, bukan lobi diam-diam di belakang layar.
Di bagian belakang kaus ada tulisan Football for the Fans. Ya, memang ada pandangan bahwa ESL akan mengalienasi para suporter. Klub-klub besar yang bakal sering bertemu di ESL tentu menjanjikan tontoan seru, dan ini sangat bisa dimonetisasi. Suporter dianggap sebagai pelanggan yang rela membayar untuk menonton, bukan mereka yang memberikan dukungan tulus dengan mengorbankan jiwa, raga, waktu, dan harta. Suporter klub yang biasanya berseteru kini bersatu karena punya musuh yang sama.
Di lapangan, para manajer dan pemain pun menyuarakan penolakan. Josep 'Pep' Guardiola, Manajer Manchester City, mungkin bersuara paling keras.
"Olahraga bukanlah olahraga jika tidak ada hubungan antara usaha dengan hasil. Bukan olahraga apabila kesuksesan sudah ditentukan sejak awal atau tidak ada artinya kalau Anda kalah," tegas Guardiola, seperi dikutip dari Sky Sports.
Mewakili pemain, James Milner, Wakil Kapten Liverpool, menjadi salah satu yang bersuara paling awal. Milner memberikan komentar usai laga melawan Leeds.
"Saya tidak suka ini (ESL). Saya harap tidak terjadi," katanya, juga dikutip dari Sky Sports.
Tidak hanya para rakyat jelata, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pun menolak ESL. Menurutnya, ESL akan membahayakan sistem persepakbolaan.
"Rencana ESL akan sangat merusak sepakbola dan kami mendukung otoritas untuk mengambil langkah yang diperlukan. ESL merusak jiwa kompetisi dan para suporter. Para klub yang terlibat harus menjawab tuntutan para suporter dan seluruh komunitas sepakbola sebelum mengambil langkah lanjutan," cuit Johnson di Twitter.
Bahkan Kerajaan Inggris pun sampai 'turun gunung'. Pangeran William sang Duke of Cambrige dalam kapasitasnya sebagai Presiden FA menegaskan bahwa nilai-nilai sepakbola harus dilindungi dari atas sampai akar rumput.
Halaman Selanjutnya --> Uang Bicara?
(aji/aji)