European Super League: Harta atau Nyawa? Harta Tentu Saja!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 April 2021 12:30
Gareth Bale
Foto: REUTERS/Hannah McKay

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepakbola bukan hanya olahraga tendang-tendangan si kulit bundar antara 22 orang selama dua kali 45 menit. The beautiful game kini sudah menjadi bisnis, sebuah bisnis kelas paus.

Segala yang bisa dimanfaatkan betul-betul dijadikan 'sapi perah' baru. Misalnya, kompetisi UEFA Nations League yang janggal itu. 'Kompetisi' ini ingin menjadi semacam Liga Champions Eropa, tetapi untuk level tim nasional.

Kini ada lagi kompetisi tandingan. Kompetisi yang sebenarnya sudah diwacanakan sejak 1990, tetapi baru lebih dari 30 tahun kemudian terealisasi.

Namanya adalah Liga Super Eropa atawa European Super League. Liga ini berisi klub-klub terbaik di Benua Biru.

Dua belas klub papan atas liga Eropa memutuskan untuk bersatu dan membentuk kompetisi ini. Dari Inggris, ada Liverpool, Manchester United, Manchester City, Arsenal, Chelsea, dan Tottenham Hotspur. Italia diwakili AC Milan, Inter Milan, dan Juventus. Sementara dari Spanyol adalah Real Madrid, Atletico Madrid, dan Barcelona. Jumlahnya diperkirakan bakal bertambah menjadi 20 klub.

Liga Super Eropa dimainkan pada tengah pekan, jadwal yang selama ini diisi oleh kompetisi antar-klub di bawah naungan UEFA yaitu Liga Champions dan Liga Europa. Artinya, ada kemungkinan klub yang berpartisipasi di Liga Super Eropa tidak akan bermain di Liga Champions dan Liga Europa.

Berikut adalah format kompetisi Liga Super Eropa:

  • Ada 20 klub yang berpartisipasi dengan 15 klub pendiri dan lima klub lain ditentukan berdasarkan pencapaian musim sebelumnya.
  • Pertandingan digelar pada tengah pekan sehingga klub masih bisa berkompetisi di liga dalam negeri.
  • Kompetisi rencananya dimulai pada Agustus 2021 dengan 20 klub dibagi menjadi dua grup. Setiap klub bermain kandang-tandang dan tiga tim teratas di setiap grup berhak maju ke babak perempatfinal. Klub yang menempati urutan empat dan lima di setiap grup diadu melalui playoff untuk mengisi tempat di perempatfinal. Setiap tim kembali bermain kandang-tandang dan final rencananya berlangsung pada Mei 2022 di tempat netral.

"Pembentukan Liga Super bertepatan dengan momentum pandemi global yang menyebabkan instabilitas keuangan klub. Pandemi menunjukkan bahwa dibutuhkan visi yang strategis dan peningkatan kualitas serta intensitas kompetisi antar-klub sehingga mendorong sebuah format di mana klub papan atas bertemu secara reguler.

"Dibutuhkan pula sebuah pendekatan komersial yang berkelanjutan untuk meningkatkan keuntungan setiap pemangku kepentingan. Klub pendiri meyakini bahwa solusi ini tidak merusak fundamental klub dan tetap mendukung sumber daya keuangan bagi keseluruhan piramida kompetisi sepakbola," sebut keterangan resmi di situs klub Liverpool.

Well, pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) memang berdampak sangat luas. Seluruh sendi kehidupan manusia terdampak, termasuk sepakbola.

Tahun lalu, kompetisi sepakbola Eropa sempat 'hibernasi' selama berbulan-bulan karena ganasnya pandemi. Kompetisi memang sudah dimulai kembali, tetapi ada perbedaan yang sangat mencolok. Di liga-liga top Eropa, penonton belum boleh datang ke stadion sehingga pemasukan klub dari matchday boleh dibilang nol, tidak ada sama sekali.

Selain itu, pemasukan dari sisi komersial pun merosot karena para sponsor pun terpukul oleh pandemi. Akibatnya, keuangan klub pun merah membara.

Barcelona, misalnya. Pada akhir musim 2018/2019, laporan keuangan Barcelona mengungkapkan keuntungan sebesar EUR 5 juta. Per Juni 2020, Barcelona berbalik rugi EUR 97,34 miliar.

Di sisi pendapatan, Barcelona meraup EUR 855,43 juta. Proyeksi pendapatan adalah EUR 1,06 miliar, tetapi terpangkas gara-gara pandemi virus corona, ada koreksi 19,23%.

fcbSumber: FC Barcelona

Contoh lain, Manchester United. Pada tahun fiskal 2020, matchday revenue tercatat GBP 89,8 juta. Ambles 18,95% dibandingkan tahun fiskal 2019.

"Dampak pandemi dan upaya mencegah penularan virus kembali memukul bisnis kami. Stadion Old Trafford dan Megastore kami tutup untuk umum mulai 20 Maret, sementara museum, tur stadion, dan Red Cafe tutup mulai 17 Maret," sebut laporan keuangan United.

Namun yang paling mencolok adalah pendapatan dari hak siar (broadcasting revenue). Pada tahun fiskal 2020, pos ini menyumbang GBP 140,2 juta. Ambrol 41,87% dibandingkan tahun sebelumnya.

sepakbolaSumber: Manchester United Plc

Klub sepakbola bukan cuma entitas olahraga, tetapi entitas bisnis. Apalagi klub seperti United, yang sudah melantai di bursa saham. Setan Merah tentu diperlakukan seperti korporasi, yang dituntut untuk terus mencatat laba.

Hadiah dari kompetisi domestik dan antar-klub Eropa memang besar. Namun untuk mengatasi dampak pandemi, ternyata belum cukup.

Mengutip New York Times, Liga Super Eropa sudah mengamankan kesepakatan sponsor sebesar US$ 4,2 miliar. Artinya, para pendiri Liga Super Eropa dijanjikan uang di muka sebesar US$ 400 juta. Jumlah ini sekitar empat kali lipat uang hadiah yang diterima Bayern Munchen (Jerman) kala menjuarai Liga Champions musim lalu.

So, tidak heran klub-klub besar tergiur dan getol memperjuangkan Liga Super Eropa. Ini adalah easy money, low hanging fruit, yang jumlahnya tidak main-main.

Akan tetapi, Liga Super Eropa tentu menimbulkan penolakan. UEFA jelas-jelas menolak dan memberi ancaman serius.

"Jika ini (Liga Super Eropa) sampai terjadi, maka kami menegaskan bahwa UEFA, FA (federasi sepakbola Inggris), RFEF (federasi sepakbola Spanyol), FIGC (federasi sepakbola Italia), Liga Primer Inggris, La Ligam Serie A, dan FIFA akan bersatu untuk meghentikannya. Ini adalah proyek yang dibentuk untuk kepentingan sendiri saat kita semua membutuhkan solidaritas.

"Kami mempertimbangkan seluruh opsi yang tersedia baik secara olahraga maupun hukum. Klub yang berpartisipasi bisa dilarang berkompetisi baik di level domestik, Eropa, maupun dunia. Pemain-pemain juga bisa tidak dibolehkan untuk membela tim nasional.

"Kami berterima kasih kepada klub dari Jerman dan Prancis yang menolak ikut serta. Kami meminta para pecinta sepakbola, suporter, politisi, dan seluruh komponen masyarakat untuk melawan. Enough is enough," tegas penyataan resmi UEFA.

Tidak hanya UEFA, suporter pun telah menyuarakan penolakan. Asosiasi superter sepakbola Inggris (FSA) menyatakan menentang Liga Super Eropa.

"Motivasi yang melatarbelakangi Liga Super bukan faktor olahraga, melainkan keserakahan semata. Kompetisi ini disusun oleh para miliuner di belakang kita tanpa menghormati tradisi. FSA, dan kami yakin seluruh organisais suporter di Eropa, akan terus berjuang untuk melawan," seru pernyataan tertulis FSA.

Apabila sanksi UEFA bukan sekadar gertak sambal, maka konsekuensinya sangat dahsyat. Di Liga Primer, tidak akan ada lagi klub-klub big six. Di Spanyol, tiga tim terbesarnya cabut, pun di Italia. Tentu sebuah perubahan yang sangat signifikan.

Di Inggris, kalau Liverpool 'diusir' tentu tidak akan ada lagi Merseyside Derby melawan Everton. Atau derbi London Barat antara Chelsea versus Fulham yang merupakan daerah elit di ibukota Negeri Big Ben. Ibarat Jakarta, ini adalah derbi Menteng.

Walau kadang panas, laga itu adalah identitas masing-masing klub. Tanpa pertandingan semacam itu, identitas klub akan tergerus dan lama-lama hilang. Bak kacang lupa dengan kulitnya.

Klub sepakbola memang sudah menjadi entitas bisnis, bukan lagi perkumpulan bal-balan semata. Namun jangan lupa, klub sepakbola juga merupakan entitas sosial.

Klub sepakbola adalah representasi masyarakat. Jiwanya, raganya, semangatnya, gairahnya. Jika klub dicabut dari akarnya sebagai representasi masyarakat, maka sesungguhnya 'jiwa' sepakbola sudah mati. Sepakbola tinggal menjadi raga tanpa nyawa yang sepenuhnya digerakkan oleh uang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular