European Super League Kolaps! People Power atau Money Power?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 April 2021 11:19
kekalahan liverpool
Juergen Klopp, Manajer Liverpool (REUTERS/Kai Pfaffenbach)

Jakarta, CNBC Indonesia - Drama itu berakhir sudah, setidaknya untuk saat ini. Liga Super Eropa atau European Super League (ESL) akhirnya ditunda setelah para klub pendiri ramai-ramai mengundurkan diri.

"ESL meyakini bahwa proposal yang ada saat ini harus diubah. Kami mengusulkan kompetisi baru karena yang ada sekarang tidak berfungsi dengan baik. Proposal kami bertujuan untuk memperbaiki sepakbola sembari memperoleh sumber daya dan menjaga stabilitas piramida kompetisi, termasuk membantu mengatasi kesulitan finansial yang dialami seluruh komunitas sepakbola sebagai dampak pandemi," sebut keterangan tertulis ESL, seperti dikutip dari ESPN.

"Setelah mendengar suara Anda dan seluruh komunitas sepakbola dalam beberapa hari terakhir, kami memutuskan mundur dari ESL. Kami membuat kesalahan, dan kami meminta maaf," demikian cuit akun resmi Arsenal di Twitter.

"Manchester United tidak akan berpartisipasi di ESL. Kami telah mendengarkan secara saksama reaksi dari para penggemar, pemerintah, dan para pemangku kepentingan. Kami berkomitmen untuk bekerja bersama seluruh komunitas sepakbola untuk menghasilkan solusi yang berkelanjutan," sebut keterangan tertulis United.

"Liverpool FC memberi konfrmasi bahwa keikutsertaan kami di ESL telah selesai. Dalam beberapa hari terakhir, klub telah menerima perwakilan dari berbagai pemangku kepentingan dan kami berterima kasih atas kontribusi yang diberikan," tulis keterangan Liverpool di situs resmi klub.

Akhir pekan lalu, jagat sepakbola dibikin heboh oleh ulah 12 klub sepakbola Eropa yang mengaku dirinya besar. Mereka adalah Liverpool, Manchester United, Manchester City, Arsenal, Chelsea, dan Tottenham Hotspur dari Inggris, Juventus, AC Milan, dan Inter Milan dari Italia, serta Real Madrid, Atletico Madrid, dan Barcelona dari Italia.

Dua belas klub itu bersepakat mendirikan ESL yang akan menggantikan Liga Champions Eropa sebagai kompetisi sepakbola antar-klub kasta tertinggi di Benua Biru. Dari 12, rencananya akan bertambah menjadi 15 klub pendiri dan mereka akan mengundang lima klub lagi untuk menjalankan ESL.

Format ESL adalah sebagai berikut:

  • Ada 20 klub yang berpartisipasi dengan 15 klub pendiri dan lima klub lain ditentukan berdasarkan pencapaian musim sebelumnya.
  • Pertandingan digelar pada tengah pekan sehingga klub masih bisa berkompetisi di liga dalam negeri.
  • Kompetisi rencananya dimulai pada Agustus 2021 dengan 20 klub dibagi menjadi dua grup. Setiap klub bermain kandang-tandang dan tiga tim teratas di setiap grup berhak maju ke babak perempatfinal. Klub yang menempati urutan empat dan lima di setiap grup diadu melalui playoff untuk mengisi tempat di perempatfinal. Setiap tim kembali bermain kandang-tandang dan final rencananya berlangsung pada Mei 2022 di tempat netral.

Halaman Selanjutnya --> Rakyat Sampai Pangeran Kerajaan Bersuara

Suara penolakan terhadap ESL bermunculan. Federasi Sepakbola Eropa (UEFA) mengutuk keras ESL dan mengancam bakal memberi sanksi bagi klub hingga pemain yang berpartisipasi di dalamnya.

"Jika ini (Liga Super Eropa) sampai terjadi, maka kami menegaskan bahwa UEFA, FA (Federasi Sepakbola Inggris), RFEF (Federasi Sepakbola Spanyol), FIGC (Federasi Sepakbola Italia), Liga Primer Inggris, La Liga, Serie A, dan FIFA akan bersatu untuk menghentikannya. Ini adalah proyek yang dibentuk untuk kepentingan sendiri saat kita semua membutuhkan solidaritas.

"Kami mempertimbangkan seluruh opsi yang tersedia baik secara olahraga maupun hukum. Klub yang berpartisipasi bisa dilarang berkompetisi baik di level domestik, Eropa, maupun dunia. Pemain-pemain juga bisa tidak dibolehkan untuk membela tim nasional.

"Kami berterima kasih kepada klub dari Jerman dan Prancis yang menolak ikut serta. Kami meminta para pecinta sepakbola, suporter, politisi, dan seluruh komponen masyarakat untuk melawan. Enough is enough," tegas penyataan resmi UEFA.

Komunitas sepakbola pun meradang. Sebab, tempat kompetisi antar-klub adalah sesuatu yang diperjuangkan di lapangan dengan keringat, bukan dengan 'penunjukan langsung'.

Pemandangan ini terpampang nyata di laga Leeds United kontra Liverpool di Liga Primer Inggris awal pekan ini. Para pemain Leeds menggunakan kaus bertuliskan Earn It di bawah logo Liga Champions Eropa. Itu tadi, untuk berlaga di kompetisi antar-klub tertinggi harus berjuang dulu. Siapa yang layak ke sana harus ditentukan di lapangan, bukan lobi diam-diam di belakang layar.

Di bagian belakang kaus ada tulisan Football for the Fans. Ya, memang ada pandangan bahwa ESL akan mengalienasi para suporter. Klub-klub besar yang bakal sering bertemu di ESL tentu menjanjikan tontoan seru, dan ini sangat bisa dimonetisasi. Suporter dianggap sebagai pelanggan yang rela membayar untuk menonton, bukan mereka yang memberikan dukungan tulus dengan mengorbankan jiwa, raga, waktu, dan harta. Suporter klub yang biasanya berseteru kini bersatu karena punya musuh yang sama.

Di lapangan, para manajer dan pemain pun menyuarakan penolakan. Josep 'Pep' Guardiola, Manajer Manchester City, mungkin bersuara paling keras.

"Olahraga bukanlah olahraga jika tidak ada hubungan antara usaha dengan hasil. Bukan olahraga apabila kesuksesan sudah ditentukan sejak awal atau tidak ada artinya kalau Anda kalah," tegas Guardiola, seperi dikutip dari Sky Sports.

Mewakili pemain, James Milner, Wakil Kapten Liverpool, menjadi salah satu yang bersuara paling awal. Milner memberikan komentar usai laga melawan Leeds.

"Saya tidak suka ini (ESL). Saya harap tidak terjadi," katanya, juga dikutip dari Sky Sports.

Tidak hanya para rakyat jelata, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pun menolak ESL. Menurutnya, ESL akan membahayakan sistem persepakbolaan.

"Rencana ESL akan sangat merusak sepakbola dan kami mendukung otoritas untuk mengambil langkah yang diperlukan. ESL merusak jiwa kompetisi dan para suporter. Para klub yang terlibat harus menjawab tuntutan para suporter dan seluruh komunitas sepakbola sebelum mengambil langkah lanjutan," cuit Johnson di Twitter.

Bahkan Kerajaan Inggris pun sampai 'turun gunung'. Pangeran William sang Duke of Cambrige dalam kapasitasnya sebagai Presiden FA menegaskan bahwa nilai-nilai sepakbola harus dilindungi dari atas sampai akar rumput.



Halaman Selanjutnya --> Uang Bicara?

So, apakah people power itu yang berhasil menggulingkan rencana ESL? Bisa jadi, karena kekuatannya memang sangat masif. Tidak hanya di media sosial, tetapi sampai protes di lapangan.

Namun, kemungkinan ada kekuatan lain yang membuat ESL urung terlaksana. Kekuatan yang sama yang membuat ESL didirikan.

Kekuatan itu adalah uang. Meski para pemilik klub yang haus darah itu belum mengeluarkan sepatah kata pun, mereka harus mengaku bahwa ESL didorong oleh hasrat akan uang. Uang yang sangat banyak.

Mengutip The Guardian, para perserta ESL dijanjikan 'uang partisipasi' yang berkisar antara EUR 200 juta (Rp 3,49 triliun) hingga EUR 300 juta (Rp 5,24 triliun). Sementara sang juara digosipkan bakal 'ditabok' EUR 400 juta (Rp 6,99 triliun). Uang ini datang dari bohir yang bernama JPMorgan, bank investasi asal Amerika Serikat (AS).

Mungkin (sekali lagi, mungkin), ESL hanya alat negosiasi agar UEFA mau memberi hadiah uang yang lebih banyak untuk kompetisi antar-klub Eropa. Kalau ini yang terjadi, maka selamat. Anda berhasil.

Mengutip Al Jazeera, UEFA tengah bernegosiasi dengan Centricus Asset Management (lembaga keuangan asal Inggris) untuk sebuah paket sponsor senilai lebih dari EUR 6 miliar (Rp 105,04 triliun). Duit ini bisa menjadi modal untuk memberi hadiah lebih gede kepada para peserta Liga Champions dan Liga Europa.

UEFA juga mengumumkan perubahan format Liga Champions yang akan dimulai pada musim 2024/2025. Peserta Liga Champions ditambah dari 34 menjadi 36 klub, sehingga diharapkan menjadi lebih seru dan menantang.

Dalam format baru nantinya tidak ada lagi babak penyisihan grup. Seluruh peserta dikumpulkan jadi satu dan saling beradu seperti di liga domestik.

Delapan klub teratas di klasemen akhir akan lolos otomatis ke babak 16 besar. Sementara klub di peringkat 9-24 akan menjalani playoff melawan 16 klub di bawahnya. Selepas 16 besar, formatnya akan sama seperti sekarang.

Jika ESL adalah alat gertak sambal, maka itu berhasil. ESL berhasil memaksa UEFA untuk menyediakan hadiah lebih besar dan mengubah format kompetisi Liga Champions.

Jadi, mana yang lebih kuat dan berhasil membuat ESL kolaps? Kekuatan rakyat atau kekuatan uang? Pernyataan itu hanya bisa dijawab oleh para presiden dan pemilik klub.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular