
Perkembangan Teknologi
Penambangan Ruang Angkasa Terwujud, Nilainya Triliunan Dolar
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
15 May 2018 17:02

Jakarta, CNBC Indonesia - perlombaan ke luar angkasa terus meningkat yang memunculkan adanya ide untuk melancong ke luar bumi, seiring dengan itu muncul ide baru untuk melakukan penambangan di ruang angkasa, membuka kemungkinan ditemuinya peradaban baru - dan keuntungan - di planet lain.
Perusahaan seperti SpaceX milik CEO Tesla Elon Musk dan Blue Origin milik CEO Amazon, Jeff Bezos bermaksud membuat wisata ruang angkasa menjadi kenyataan, dan pada akhirnya memungkinkan manusia hidup di planet lain. Saat ini, teknologi telah membuat pendaratan di asteroid menjadi semakin mungkin dilakukan.
Seperti yang dilakukan SpaceX. Keberhasilan peluncuran pesawat ulang alik Falcon Heavy dan pengembalian dua dari tiga booster-nya, memungkinkan pesawat lain untuk membawa muatan yang lebih besar ke luar angkasa, serta dapat menurunkan biaya peluncuran.
Dilansir dari CNBC International, di antara beberapa astrofisikawan lainnya, Neil deGrasse Tyson tercatat telah mengklaim bahwa triliuner pertama di dunia akan memperoleh kekayaannya dari mineral luar angkasa. Menurut NASA, mineral yang ada di asteroid antara Mars dan Jupiter menyimpan kekayaan setara dengan US$100 miliar (Rp 1,4 triliun), sebuah hal yang cukup mengejutkan bagi setiap orang di Bumi.
Namun, tidak ada kejelasan hukum mengenai kepemilikan sumber daya ruang angkasa dan undang-undang yang mengatur ruang angkasa, menurut Ian Christensen, direktur program sektor swasta di Secure World Foundation, sebuah wadah bagi pemikir yang berkaitan dengan ruang angkasa.
"Ada beberapa kesenjangan dalam hukum dan beberapa hal perlu diklarifikasi untuk memberikan lebih banyak kepastian pada undang-undang saat ini," kata Christensen kepada CNBC, menambahkan tidak ada otoritas tunggal yang bertanggung jawab untuk alokasi sumber daya di luar angkasa.
Undang-undang paling komprehensif saat ini adalah Perjanjian Luar Angkasa yang disponsori PBB tahun 1967, tetapi kebingungan antar negara masih ada.
"Ketika membahas penggunaan sumber daya ruang, bidang ini cukup samar dan dapat ditafsirkan dalam berbagai arah. Pemerintah dan bahkan para ahli di bidang ini masih memperdebatkan penggunaan yang tepat dari sumber daya ini, dan itu tetap merupakan pertanyaan yang sulit untuk dijawab." Kata Rebecca Keller, seorang senior ilmu pengetahuan dan teknologi analis di konsultan risiko politik Stratfor kepada CNBC.
Perusahaan seperti SpaceX milik CEO Tesla Elon Musk dan Blue Origin milik CEO Amazon, Jeff Bezos bermaksud membuat wisata ruang angkasa menjadi kenyataan, dan pada akhirnya memungkinkan manusia hidup di planet lain. Saat ini, teknologi telah membuat pendaratan di asteroid menjadi semakin mungkin dilakukan.
Namun, tidak ada kejelasan hukum mengenai kepemilikan sumber daya ruang angkasa dan undang-undang yang mengatur ruang angkasa, menurut Ian Christensen, direktur program sektor swasta di Secure World Foundation, sebuah wadah bagi pemikir yang berkaitan dengan ruang angkasa.
"Ada beberapa kesenjangan dalam hukum dan beberapa hal perlu diklarifikasi untuk memberikan lebih banyak kepastian pada undang-undang saat ini," kata Christensen kepada CNBC, menambahkan tidak ada otoritas tunggal yang bertanggung jawab untuk alokasi sumber daya di luar angkasa.
Undang-undang paling komprehensif saat ini adalah Perjanjian Luar Angkasa yang disponsori PBB tahun 1967, tetapi kebingungan antar negara masih ada.
"Ketika membahas penggunaan sumber daya ruang, bidang ini cukup samar dan dapat ditafsirkan dalam berbagai arah. Pemerintah dan bahkan para ahli di bidang ini masih memperdebatkan penggunaan yang tepat dari sumber daya ini, dan itu tetap merupakan pertanyaan yang sulit untuk dijawab." Kata Rebecca Keller, seorang senior ilmu pengetahuan dan teknologi analis di konsultan risiko politik Stratfor kepada CNBC.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular