Fintech

Bisnis Ribuan Triliun Rentenir Zaman Now

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 March 2018 16:44
Transparency Market Research, pada 2024 volume bisnis P2P lending US$897,85 miliar (Rp 12.300 triliun). Pertumbuhan rerata tahunan (CAGR) bisnis ini 48,2%.
Foto: Detik.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Perkembangan layanan keuangan berbasis teknologi digital atau financial technology (fintech) begitu pesat di era telepon seluler pintar. Kini sudah muncul layanan pinjam-meminjam uang melalui fintech.
 
Salah satu bentuk layanan ini, peer to peer (P2P) lending. Di sini, pihak yang membutuhkan dana (borrower) akan dipertemukan oleh yang siap memberikan pinjaman (kreditur). Mereka dipertemukan melalui situs atau aplikasi tanpa harus saling kenal atau bertemu.
 
P2P lending menjalankan fungsi intermediasi, tetapi bukan berbentuk seperti perbankan. Mereka terkadang tidak menjadi subjek pengawasan regulator, dan data-data mengenai perputaran uang di bisnis ini menjadi sulit terlacak. Apalagi penyedia jasa P2P lending tidak termasuk yang memiliki akses likuiditas ke bank sentral, sehingga sulit untuk mengumpulkan data industri ini.
 
Namun berbagai upaya telah dilakukan untuk memetakan potensi ekonomi P2P lending. Transparency Market Research pernah membuat kajian mengenai bisnis yang dikenal sebagai rentenir zaman now tersebut.

Dalam riset Transparency Market Research, pada 2024 volume bisnis P2P lending bisa mencapai US$897,85 miliar (Rp 12.300 triliun). Pertumbuhan rerata tahunan (CAGR) bisnis ini mencapai 48,2%.

Risiko penggelapan dana

Sementara Morgan Stanley dalam laporannya pada 2015 memperkirakan bisnis marketplace lending bisa mencapai US$490 miliar (Rp 6.713 triliun) pada 2020 dari awalnya US$150 miliar (Rp 2.055 triliun). Amerika Serikat (AS) akan menjadi pasar P2P lending terbesar, dengan porsi 45% pada 2020. Lalu PwC memperkirakan pada 2025 pasar P2P lending di Negeri Paman Sam akan mencapai US$150 miliar (Rp 2.055 triliun).
 
China menjadi pasar P2P lending paling dinamis di dunia, dengan lebih dari 4.000 penyedia jasa. Pada Juni 2017, volume P2P lending di Negeri Tirai Bambu mencapai US$93,43 miliar (Rp 1.279 triliun).
 
Meski menjadi bisnis bernilai ribuan triliun rupiah, tetapi P2P lending menyimpan risiko yang maha dahsyat. Penggelapan dana menjadi risiko yang paling nyata yang mesti diwaspadai masyarakat. Komisi pengawas keuangan di China menyebutkan dari 4.127 penyedia jasa P2P lending, 1.778 di antaranya terindikasi terlibat skema ponzi.
 
Oleh karena itu, bisnis P2P lending membutuhkan pengawasan dari otoritas untuk melindungi kepentingan konsumen dan sistem keuangan secara keseluruhan. Ketika bisnis ini sudah teregulasi dengan baik dan memiliki transparansi yang dapat diandalkan, maka bukan tidak mungkin P2P lending merupakan jawaban terhadap alternatif penyediaan dana kepada masyarakat selain perbankan.

TIM RESEARCH CNBC INDONESIA

(aji/roy) Next Article Waspadai Skema Ponzi di Bisnis Rentenir Zaman Now

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular