
Fintech
Fintech, Rentenir, dan Risiko Sistemik
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 March 2018 15:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Perkembangan teknologi telah menciptakan inovasi baru. Saat ini dunia tengah memasuki gelombang revolusi industri keempat, yaitu ekonomi digital.
Penetrasi telepon seluler pintar membuat ekonomi digital tumbuh subur. Berbagai sektor ekonomi kini bisa dijamah dengan layanan digital. Mulai dari transportasi, logistik, akomodasi dan pariwisata, sampai tentunya keuangan.
Layanan keuangan berbasis teknologi dikenal dengan sebutan financial technology (fintech). Berbagai layanan keuangan disediakan oleh perusahaan rintisan (start-sup), salah satunya yang sedang marak dibicarakan adalah penyaluran dana atau fungsi intermediasi atau peer to peer (P2P) lending.
Berbagai aplikasi kini menawarkan pinjaman kepada yang membutuhkan. Sebenarnya bukan pihak pengembang aplikasi yang memberikan utang, tetapi mereka hanya mempertemukan antara orang yang butuh dana dan yang bisa menyediakannya.
Prosesnya pun begitu mudah dan tanpa jaminan. Dengan pemahaman konsumen (know your customer/KYC) yang minim, fintech membebankan bunga yang cukup tinggi kepada debitur. Bahkan bunganya bisa mencapai 35% sebulan. Tidak heran bila kemudian ada istilah rentenir digital.
Aktivitas fintech P2P lending yang menyalurkan dana ke masyarakat bisa masuk kategori bank gelap alias shadow banking. Financial Stability Board, badan yang dibentuk oleh G20, mendefinisikan shadow banking sebagai penyaluran kredit yang melibatkan lembaga dan aktivitas di luar sistem perbankan umum.
Mengutip dokumen OECD berjudul "How to Capture Relevant Developments in the Financial World Within the System of National Accounts?", fungsi intermediasi ini memang menjadi alternatif sumber pendanaan bagi mereka yang membutuhkan. Namun, hal ini juga menjadi risiko dalam stabilitas sistem keuangan terkait likuiditas, jangka waktu, risiko kredit, dan leverage yang berlebihan.
"Karena entitas ini seringkali bukan merupakan subjek yang diawasi oleh regulator, dan tidak terkait dengan akses likuiditas ke bank sentral, maka risiko-risiko ini bisa berkembang dan mempengaruhi sistem keuangan secara keseluruhan," tulis dokumen tersebut.
Selain itu, OECD juga menggarisbawahi bahwa shadow banking bisa menciptakan risiko kredit. Ini terjadi kala debitur tidak bisa mengembalikan pinjamannya. Dalam pengelolaan yang lebih maju, perputaran dana ini bisa melibatkan aset yang disekuritisasi, sehingga ketika terjadi gagal bayar (default) maka akan terjadi risiko terhadap lembaga keuangan lain atau bersifat sistemik.
Perlindungan konsumen
Risiko lain adalah terkait likuiditas. Shadow banking sangat tergantung pada likuiditas jangka pendek dan tidak memiliki akses ke bank sentral sebagai lender of the last resort. Ketika likuiditas jangka pendek ini macet, maka dampaknya adalah gagal bayar. Uang yang dipinjamkan oleh kreditur bisa menguap, wassalam.
Oleh karena itu, OECD merekomendasikan agar shadow banking masuk dalam bingkai regulasi. Aktivitas ekonomi shadow banking harus bisa terekam dalam neraca perekonomian nasional. Selain bisa menjaga sistem keuangan dari risiko sistemik, langkah ini juga bisa menjadi fondasi untuk membangun arah kebijakan ekonomi agar lebih akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Di Indonesia pengaturan terhadap P2P lending sudah dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun pengaturan yang dilakukan untuk melindungi konsumen. Pengaturan yang dilakukan menuntut fintech P2P lending untuk mendaftarkan diri di OJK, lebih transparan baik dari sisi resiko, fee dan penentuan bunga.
OJK tidak akan bertanggung jawab jika ada fintech P2P lending bermasalah dan bangkrut. OJK hanya mengawasi lembaga keuangan dan fintech P2P hanya perusahaan teknologi bukan lembaga keuangan.
Sampai Februari 2018, sudah ada 26 fintech yang terdaftar di OJK dengan total portofolio pinjamannya mencapai Rp 3 triliun. Adapun rasio pembiayaan bermasalah sedikit meningkat dari 0,7% di Desember 2017 menjadi 1,2% di data terakhir.
TIM RESEARCH CNBC INDONESIA
(roy/roy) Next Article Fintech Bisnis Triliunan yang Dituduh Rentenir
Penetrasi telepon seluler pintar membuat ekonomi digital tumbuh subur. Berbagai sektor ekonomi kini bisa dijamah dengan layanan digital. Mulai dari transportasi, logistik, akomodasi dan pariwisata, sampai tentunya keuangan.
Layanan keuangan berbasis teknologi dikenal dengan sebutan financial technology (fintech). Berbagai layanan keuangan disediakan oleh perusahaan rintisan (start-sup), salah satunya yang sedang marak dibicarakan adalah penyaluran dana atau fungsi intermediasi atau peer to peer (P2P) lending.
Berbagai aplikasi kini menawarkan pinjaman kepada yang membutuhkan. Sebenarnya bukan pihak pengembang aplikasi yang memberikan utang, tetapi mereka hanya mempertemukan antara orang yang butuh dana dan yang bisa menyediakannya.
Prosesnya pun begitu mudah dan tanpa jaminan. Dengan pemahaman konsumen (know your customer/KYC) yang minim, fintech membebankan bunga yang cukup tinggi kepada debitur. Bahkan bunganya bisa mencapai 35% sebulan. Tidak heran bila kemudian ada istilah rentenir digital.
Mengutip dokumen OECD berjudul "How to Capture Relevant Developments in the Financial World Within the System of National Accounts?", fungsi intermediasi ini memang menjadi alternatif sumber pendanaan bagi mereka yang membutuhkan. Namun, hal ini juga menjadi risiko dalam stabilitas sistem keuangan terkait likuiditas, jangka waktu, risiko kredit, dan leverage yang berlebihan.
"Karena entitas ini seringkali bukan merupakan subjek yang diawasi oleh regulator, dan tidak terkait dengan akses likuiditas ke bank sentral, maka risiko-risiko ini bisa berkembang dan mempengaruhi sistem keuangan secara keseluruhan," tulis dokumen tersebut.
Selain itu, OECD juga menggarisbawahi bahwa shadow banking bisa menciptakan risiko kredit. Ini terjadi kala debitur tidak bisa mengembalikan pinjamannya. Dalam pengelolaan yang lebih maju, perputaran dana ini bisa melibatkan aset yang disekuritisasi, sehingga ketika terjadi gagal bayar (default) maka akan terjadi risiko terhadap lembaga keuangan lain atau bersifat sistemik.
Perlindungan konsumen
Oleh karena itu, OECD merekomendasikan agar shadow banking masuk dalam bingkai regulasi. Aktivitas ekonomi shadow banking harus bisa terekam dalam neraca perekonomian nasional. Selain bisa menjaga sistem keuangan dari risiko sistemik, langkah ini juga bisa menjadi fondasi untuk membangun arah kebijakan ekonomi agar lebih akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Di Indonesia pengaturan terhadap P2P lending sudah dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun pengaturan yang dilakukan untuk melindungi konsumen. Pengaturan yang dilakukan menuntut fintech P2P lending untuk mendaftarkan diri di OJK, lebih transparan baik dari sisi resiko, fee dan penentuan bunga.
OJK tidak akan bertanggung jawab jika ada fintech P2P lending bermasalah dan bangkrut. OJK hanya mengawasi lembaga keuangan dan fintech P2P hanya perusahaan teknologi bukan lembaga keuangan.
Sampai Februari 2018, sudah ada 26 fintech yang terdaftar di OJK dengan total portofolio pinjamannya mencapai Rp 3 triliun. Adapun rasio pembiayaan bermasalah sedikit meningkat dari 0,7% di Desember 2017 menjadi 1,2% di data terakhir.
TIM RESEARCH CNBC INDONESIA
(roy/roy) Next Article Fintech Bisnis Triliunan yang Dituduh Rentenir
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular