Fintech

Ironi Fintech Lending: Bunga Mencekik & Teror Debt Collector

Tech - Gita Rossiana, CNBC Indonesia
30 August 2018 12:41
Fintech dianggap sebagai alternatif pembiayaan selain bank tetapi memiliki masalah pada bunga yang tinggi dan debt collector. Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga Juni 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sebanyak 63 perusahaan peer to peer lending (P2P) lending resmi terdaftar dan berizin. Namun di sisi lain, terdapat pula 227 perusahaan fintech ilegal.

Dari sisi keuangan, P2P lending berhasil membukukan peningkatan pembiayaan yang fantatis, yakni dari Rp 2,57 triliun pada Januari 2018 menjadi Rp 5,44 triliun pada Mei 2018. Rasio pembiayaan bermasalah (non performing loan/NPL) pun berada di angka 0,63%.

Dari sisiĀ lenderĀ atau pemberi pinjaman, sampai Mei 2018 sudah mencapai 199,53 ribu orang. Sedangkan penerima pinjaman mencapai 1,85 juta orang.

Dengan peningkatan pembiayaan dan cakupan penerima pinjaman sebanyak 1,85 juta orang tersebut, industri fintech mengklaim sudah bisa menjadi bagian dari upaya peningkatan keuangan inklusif yang ditargetkan 75% pada 2019. Pasalnya, bank sebagai lembaga keuangan konvensional tidak bisa sendiri menjawab tantangan ini.

Namun demikian, di balik prestasi tersebut, sejumlah masalah terjadi di industri fintech baik yang sudah terdaftar di OJK bahkan oleh fintech ilegal. Hal ini terjadi mulai dari pengenaan bunga dan denda yang terlalu tinggi hingga sistem penagihan yang kelewat batas.

1. Bunga Tinggi

Penerapan bunga mencekik dirasakan Fandi yang meminjam Rp 800 ribu. Lalu kemudian dia telat membayar 8 hari. Kemudian tagihan yang muncul mencapai Rp 3,23 juta atau naik 4 kali lipat dari pokok pinjaman.

"Ini ada faktor kesengajaan, tidak ada rincian keterbukaan, tiba-tiba langsung menjatuhkan tagihan sebesar itu,"tulis Fandi.

Kemudian, Fandi juga meminjam di Tang Bull dan Dana Rupiah sebesar Rp 800 ribu dengan tenor 15 hari. Dalam hal ini, Fandi telat membayar dalam 6 hari sehingga total tagihan menjadi Rp 1,3 juta.

"Gimana semua pinjaman mau dibayar, kenapa tidak sekalian langsung sita rumah saja," ucap dia.

2. Debt Collector

Risky Yuliani (26) harus berhenti dari pekerjaan karena aksi debt collector fintech lending. Kira-kira setahun yang lalu, Risky meminjam uang Rp 1 juta dari sebuah P2P lending.

"Karena kebutuhan mendadak jadi saya nekat minjam di situ," ujar Risky kepada CNBC Indonesia, Kamis (23/8/2018).

Namun karena tenor pinjamam pendek, Risky harus mencari pinjaman lain untuk menutup pinjaman yang sebelumnya. Hingga akhirnya Risky sudah meminjam uang yang rata-rata Rp 1 juta dari 10 aplikasi.

"Cuma berhubung tenor yang pendek membuat saya harus tutup lubang gali lubang sampai akhirnya saya punya pinjaman dari 10 aplikasi," cerita dia.

Pada awalnya, Risky masih bisa membayar pinjaman yang berbunga 2% tersebut. Pasalnya, dia masih bisa bekerja dan bisa membayarnya.

Namun belum lama ini, Risky harus menunggak pembayarannya dan dia pun harus keluar dari pekerjaannya karena ulah debt collector P2P lending. "Saya juga diusir dari kos karena telat bayar," kenang dia.

Parahnya, Risky dikenakan denda yang tidak masuk akal atau di luar bunga pinjaman untuk setiap keterlambatan. Risky pun harus diteror oleh debt collector yang terus menagih utangnya hingga akhirnya dia depresi.

"Emergency kontak dan kontak telepon saya yang bukan emergency pun ditelpon sama debt collector, sepertinya memang disadap," ujar dia.

Hingga hari ini, Risky masih belum bisa membayar tagihan pinjaman dia dari aplikasi online tersebut. Risky pun masih diteror oleh para debt collector.


Artikel Selanjutnya

Debt Collector Fintech Disertifikasi, Jamin Tak Kebablasan?


(roy)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading