Bahaya Pemangkasan Transfer Daerah: Pemda Tercekik, Ekonomi Terancam

Rania Reswara Addini, CNBC Indonesia
08 September 2025 12:10
Warga tanam pohon pisang di jalan buntut kecewa jalan rusak yang tak pernah di aspal Pemda di Desa Bukit Telago, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi. (Dok. Istimewa)
Foto: Warga tanam pohon pisang di jalan buntut kecewa jalan rusak yang tak pernah di aspal Pemda di Desa Bukit Telago, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi. (Dok. Istimewa)

Kemandirian fiskal menjadi indikator dalam mengukur kemampuan Pemerintah Daerah untuk membiayai sendiri kegiatan Pemerintah Daerah.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung Indeks Kemandirian Fiskal daerah dengan menghitung rasio antara pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan atau rasio pendapatan transfer terhadap total pendapatan.

Nilai 0 menunjukkan seluruh belanja daerah dibiayai oleh dana transfer tanpa adanya peran Pendapatan Asli Daerah (PAD), sedangkan nilai 1 berarti seluruh belanja dapat dibiayai dari PAD tanpa menggunakan dana transfer.

Kemudian, tingkat kemandirian fiskal daerah diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu Belum Mandiri, Menuju Kemandirian, Mandiri, dan Sangat Mandiri.

 

Hasil perhitungan IKF oleh BPK tahun 2020 menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah daerah masih berada dalam kategori Belum Mandiri, yaitu 443 dari 503 pemda yang diikutsertakan dalam penilaian (88,07%). Sebanyak 50 pemda sisanya (9,94%) berstatus Menuju Kemandirian, serta hanya 10 pemda (1,99%) yang masuk kategori Mandiri, dan tidak ada yang mencapai kategori Sangat Mandiri.

Kementerian Dalam Negeri juga mencatat mayoritas daerah di Indonesia memiliki kapasitas fiskal yang lemah. Kondisi fiskal lemah terjadi saat APBD nya bergantung dari transfer pemerintah pusat.

Dari total 546 daerah yang terdiri dari 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, 493 nya berstatus kapasitas fiskal lemah, hanya 26 daerah yang status fiskal kuat, dan 27 daerah status fiskal sedang.

"Jadi kondisi fiskal sebagian besar kapasitasnya masih sangat lemah di daerah," kata Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto saat rapat kerja dengan Komisi II DPR, Senin (25/8/2025).

Bila dirincikan berdasarkan provinsi, dari total 38 provinsi, hanya 11 provinsi yang status fiskalnya kuat. Ditandai dengan pendapatan asli daerah yang lebih tinggi dari pendapatan transfer APBN pemerintah pusat. Kabupaten jumlahnya hanya 4, dan kota 11.

Sementara itu, 12 provinsi statusnya memiliki kapasitas fiskal sedang atau pendapatan asli daerah dan transfer dari pusatnya seimbang, seperti selisih antara rasio PAD terhadap total pendapatan dengan rasio pendapatan transfer terhadap total pendapatan lebih kecil dari 25%. Di kabupaten hanya 4 dan kota 12.

Terakhir, untuk kapasitas fiskal lemah terjadi di 15 provinsi. Sementara itu di tingkat kabupaten mencapai 407, dan kota 70.Terdapat 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota se-Indonesia dengan kemampuan keuangan yang beragam.

Ada daerah yang memiliki kemampuan fiskal yang kuat karena Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di sisi lain, masih ada pula daerah yang mengandalkan transfer dari pemerintah pusat.

 Kejutan Fiskal untuk Kepala Daerah Baru

Penurunan transfer daerah memberikan tantangan tersendiri terhadap para kepala daerah baru. Mereka tidak hanya diwarisi kendala anggaran dari periode sebelumnya, tetapi juga harus membentuk strategi baru untuk tetap menjaga kestabilan keuangan daerah yang berpotensi terganggu akibat penurunan TKDD.
Pemangkasan ini juga akan mengurangi kemampuan pemda dalam menggerakkan ekonomi di daerah.

Sementara itu, hampir separuh dari seluruh kepala daerah yang terpilih merupakan pendatang baru. Melansir dari data Komisi Pemilihan Umum terkait hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 di tingkat provinsi, sekitar 47,1% kepala daerah adalah wajah baru, sementara 52,9% masih petahana. Angka serupa juga terlihat di tingkat kabupaten/kota, dengan 47,3% kepala daerah yang terpilih merupakan pendatang baru.

Dalam era fiskal yang menantang, wajah-wajah baru ini akan dipaksa untuk memutar otak, mencari celah yang dibukakan oleh kreatifitas anggaran untuk memaksimalkan pendapatan daerah ataupun juga merevisi prioritas belanja.

 

Sebagai catatan, PAD adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan untuk membiayai keperluan daerah yang bersangkutan. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

PAD merupakan salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan desentralisasi fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap TKDD dalam membiayai program pemerintah daerah.

Meskipun begitu, strategi desentralisasi malah menghadirkan tantangan berupa ketimpangan kemampuan fiskal antar provinsi. Tidak semua provinsi mampu menghadirkan PAD yang memadai.

Hanya segelintir daerah dengan PAD besar yang bisa bernapas lega, sementara daerah lain tetap kelimpungan ketika transfer pusat dipotong. Selain itu, PAD yang bersumber dari pemasukan pajak dan retribusi membuatnya sangat sensitif terhadap kondisi siklikal ekonomi.

 

Menggunakan data dari Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi 2022-2023 milik Badan Pusat Statistik (BPS), berikut adalah provinsi dengan besaran PAD terhadap pengeluaran tertinggi pada 2023:

Memang, ada beberapa provinsi dengan porsi PAD yang besar hingga melampaui transfer dari pusat. Bahkan, mayoritas pengeluaran dari provinsi-provinsi ini mampu dibiayai oleh pendapatan asli daerah.

Provinsi dengan PAD tinggi terhadap pengeluaran didominasi provinsi besar dan relatif memiliki ekonomi yang lebih maju, seperti Banten (72,5%), DKI Jakarta (70,7%), Jawa Barat (69,8%), Jawa Tengah (66,9%), Jawa Timur (61,6%).

Provinsi-provinsi ini sama-sama memiliki basis ekonomi kuat sebagai pusat kegiatan ekonomi, kepadatan penduduk tinggi, serta aktivitas ekonomi formal yang besar.

Kondisi ini memungkinkan pemerintah daerah untuk memungut pajak/retribusi daerah secara lebih optimal.
Hasilnya, provinsi ini relatif lebih mandiri dalam membiayai pengeluarannya dan tidak terlalu bergantung pada transfer pusat.

Namun kondisi ini tidak mencerminkan mayoritas daerah. Bagi sebagian besar pemerintah daerah, khususnya dengan IKF yang rendah. Pengurangan TKDD dapat diartikan pemangkasan belanja publik bagi daerah-daerah tersebut dikarenakan PAD yang relatif kecil dan cenderung habis untuk menutup belanja rutin.

(mae/mae)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular