
Bahaya Pemangkasan Transfer Daerah: Pemda Tercekik, Ekonomi Terancam

Pendapatan Asli Daerah atau PAD selama ini menjadi salah satu sumber dari daerah menggenjot penerimaan.
Sebagai catatan, PAD adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan untuk membiayai keperluan daerah yang bersangkutan. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
PAD merupakan salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan desentralisasi fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap TKDD dalam membiayai program pemerintah daerah.
Meskipun begitu, strategi desentralisasi malah menghadirkan tantangan berupa ketimpangan kemampuan fiskal antar provinsi. Tidak semua provinsi mampu menghadirkan PAD yang memadai.
Hanya segelintir daerah dengan PAD besar yang bisa bernapas lega, sementara daerah lain tetap kelimpungan ketika transfer pusat dipotong. Selain itu, PAD yang bersumber dari pemasukan pajak dan retribusi membuatnya sangat sensitif terhadap kondisi siklikal ekonomi.
Peringatan dari Pati
Pemerintah Kabupaten Pati menjadi sorotan nasional pada Agustus 2025 dengan berencana menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%. Langkah itu, menurut Bupati, diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah dan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masih dianggap terendah di Jawa Tengah.
Tapi kebijakan ini langsung menuai protes warga. Banyak yang menilai kenaikan drastis itu justru akan membebani masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
PBB-P2 merupakan pajak daerah yang pemungutannya dilakukan pemerintah kabupaten. Sementara daerah lain sudah berhasil meningkatkan PAD mereka, Pati disebut masih tertinggal jauh-dan kini mencoba mengejar lewat pungutan lebih tinggi.
Apa yang terjadi di Pati menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi Indonesia mengenai potensi kesewwnang-wenangan pemda dalam memungut pajak atau retribusi atas nama menaikkan PAD.
Terlebih, kemampuan daerah dalam mencari pendapatan masih sangat terbatas dengan instrumen yang terbatas pula.
Menggunakan data dari Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi 2022-2023 milik Badan Pusat Statistik (BPS), berikut adalah provinsi dengan besaran PAD terhadap pengeluaran tertinggi pada 2023:
Memang, ada beberapa provinsi dengan porsi PAD yang besar hingga melampaui transfer dari pusat. Bahkan, mayoritas pengeluaran dari provinsi-provinsi ini mampu dibiayai oleh pendapatan asli daerah.
Provinsi dengan PAD tinggi terhadap pengeluaran didominasi provinsi besar dan relatif memiliki ekonomi yang lebih maju, seperti Banten (72,5%), DKI Jakarta (70,7%), Jawa Barat (69,8%), Jawa Tengah (66,9%), Jawa Timur (61,6%).
Provinsi-provinsi ini sama-sama memiliki basis ekonomi kuat sebagai pusat kegiatan ekonomi, kepadatan penduduk tinggi, serta aktivitas ekonomi formal yang besar. Kondisi ini memungkinkan pemerintah daerah untuk memungut pajak/retribusi daerah secara lebih optimal.
Hasilnya, provinsi ini relatif lebih mandiri dalam membiayai pengeluarannya dan tidak terlalu bergantung pada transfer pusat.
Namun kondisi ini tidak mencerminkan mayoritas daerah. Bagi sebagian besar pemerintah daerah, khususnya dengan IKF yang rendah. Pengurangan TKD dapat diartikan pemangkasan belanja publik bagi daerah-daerah tersebut dikarenakan PAD yang relatif kecil dan cenderung habis untuk menutup belanja rutin.
Provinsi dengan PAD rendah terhadap pengeluaran didominasi daerah timur Indonesia: Papua Barat (11,4%), Papua (16,9%), Maluku (20,8%), Sulawesi Barat (21,1%), dan beberapa provinsi kecil lain. Sehingga, dapat diartikan bahwa provinsi-provinsi ini bergantung pada TKDD untuk membiayai pengeluarannya.
Mayoritas provinsi dengan PAD rendah memiliki perputaran ekonomi yang relatif kecil, kapasitas pemungutan pajak rendah, membuat mereka memiliki ketergantungan yang tinggi pada TKDD. Ruang fiskal untuk inisiatif pembangunan mandiri terbatas.
Kesenjangan desentralisasi fiskal antara provinsi di Jawa dan Luar Jawa juga terlihat, di mana provinsi dalam Pulau Jawa bisa menutup lebih dari 60% belanja, sementara di Papua & Maluku masih kurang dari 20%. Ketergantungan provinsi timur terhadap transfer pusat menimbulkan risiko fiscal gap ketika ada pengetatan anggaran nasional.
Berkurangnya TKD berpotensi menciptakan tantangan untuk pemerintah daerah (pemda), khususnya pemda dengan kemandirian fiskal rendah. Pajak dan retribusi daerah mungkin saja dinaikkan demi bisa menutupi kekurangan pendapatan.
Hal ini bisa berdampak pada meningkatnya beban masyarakat dan menurunkan daya beli mereka. Pemda dengan kapasitas fiskal rendah akan berpotensi menghadapi dilema antara menjaga stabilitas ekonomi lokal atau mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Penurunan daya beli masyarakat juga bisa berarti menurunkan pembayaran pajak, dan malah memperlebar kesenjangan fiskal antar-daerah. Pemda perlu berhati-hati dalam memutuskan solusi permasalahan ini.
Realisasi APBD Terbaru, 2025 Menurun
Melansir dari data Kementerian Keuangan tentang Postur APBD, realisasi pendapatan pemerintah provinsi mencapai Rp1.184.137,77 miliar pada 2024. TKDD menjadi komponen dominan dari Anggaran Pendapatan Daerah Provinsi, yakni sebesar Rp 778.560,35 miliar atau 65,75%
Sedangkan realisasi PAD pada 2024 adalah sebesar 328.344,14 miliar, atau sebanyak 27,73% dari pendapatan daerah.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan, realisasi pendapatan APBD provinsi, dan kabupaten atau kota per 22 Agustus 2025 baru senilai Rp 726,07 triliun, atau setara 54,44% dari target. Sementara itu, alokasi pendapatan dalam APBD seluruh daerah senilai Rp 1.353,08 triliun.
Bima mengatakan nilai realisasi pendapatan APBD seluruh provinsi dan kabupaten atau kota ini lebih rendah dari kondisi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 824,27 triliun atau 61,34% dari target saat itu.
"Ini agak di bawah dari tahun anggaran 2024," kata Bima saat rapat kerja dengan Komisi II DPR, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Nilai realisasi belanja seluruh daerah dalam APBD itu juga lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu yang nilainya sudah sebesar Rp 736,93 triliun atau 52,16% dari target pada tahun lalu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.
