Newsletter

Huru-Hara di AS Bertambah Lagi, IHSG & Rupiah Bisa Bergejolak

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
22 September 2023 06:00
Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)
Foto: layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (11/9/223). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
  • Pasar keuangan Tanah Air kembali beragam kemarin, meski The Fed dan Bank Indonesia menahan suku bunga acuannya
  • Wall Street kembali berjatuhan, diperburuk oleh potensi gagalnya RUU untuk mencegah terjadinya shutdown di pemerintahan AS
  • Akhir pekan, pasar masih akan memantau dampak dari The Fed yang masih akan bersikap hawkish, sembari memantau rilis beberapa data ekonomi di global hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Kamis (21/9/2023) kembali bervariasi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah. Sedangkan rupiah berhasil menguat meski tipis-tipis, dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) melanjutkan kenaikan.

Pasar keuangan Indonesia masih rawan gejolak pada hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 dan 4 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin ditutup melemah 0,29% ke posisi 6.991,466. IHSG gagal bertahan di level psikologis 7.000 kemarin dan kembali menyentuh level psikologis 6.900.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai kisaran Rp 10 triliun, dengan melibatkan 16 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 209 saham naik, 321 saham turun, dan 220 saham lainnya stagnan.

Investor asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp 144,75 miliar di seluruh pasar pada perdagangan kemarin, dengan rincian sebesar Rp 97,7 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 47,05 miliar di pasar tunai dan negosiasi.

Sedangkan di bursa Asia-Pasifik, hanya dua indeks saham yang berhasil menguat kemarin, yakni SET Index Thailand dan PSEI Filipina.

Meski IHSG ikut terkoreksi, tetapi bukanlah yang menjadi paling buruk. Adapun koreksi yang paling buruk dibukukan oleh indeks KOSPI Korea Selatan yang ambles 1,75%.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin ditutup naik tipis di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan, rupiah sempat menyentuh level psikologis Rp 15.400/US$.

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15,370/US$ di pasar spot, naik tipis 0,03% di hadapan dolar AS.

Sedangkan mayoritas mata uang Asia melemah. Kecuali yen Jepang, dolar Hong Kong, dan tentunya rupiah. Dari mata uang Asia yang melemah, won Korea Selatan menjadi yang terparah koreksinya yakni mencapai 0,47%.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Kamis kemarin.


Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya kembali melemah, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali naik.

Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 3,4 basis poin (bp) menjadi 6,799%, nyaris menyentuh 6,8%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.

Rupiah menjadi instrumen keuangan yang cenderung positif kemarin, di mana pasar cenderung merespons positif dari Bank Indonesia (BI) yang kembali menahan suku bunga acuannya.

BI memutuskan untuk kembali menahan suku bunganya pada posisi 5,75% untuk periode September 2023, di mana BI telah menahan suku bunga acuannya selama sembilan bulan terakhir. Hal ini juga sudah sesuai dengan ekspektasi pasar dan konsensus yang dihimpun dari CNBC Indonesia.

BI telah mengerek suku bunga sebesar 225 bp dari 3,50% pada Juli 2022 menjadi 5,75% pada Januari tahun ini.

"Keputusan mempertahankan suku bunga acuan ini sebagai konsistensi kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap rendah dan terkendali dalam kisaran sasaran 3 plus minus 1% pada 2023 dan menurun menjadi 2,5 plus minus 1% pada 2024," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung di Jakarta, Kamis (21/9/2023).

Di lain sisi, koreksinya IHSG dan masih naiknya yield SBN sejalan dengan kekecewaan pasar akan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), meski bank sentral Negeri Paman Sam tersebut sudah menahan suku bunga acuannya sesuai prediksi pasar.

Sebelumnya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di level 5,25%-5,5%. Hal ini sudah sesuai dengan perkiraan pasar sebelumnya, di mana mereka memperkirakan The Fed akan kembali menahan suku bunga acuannya.

Namun, pasar cenderung kecewa karena The Fed mengindikasikan akan tetap mempertahankan sikap hawkish-nya setidaknya hingga akhir tahun ini.

The Fed mengindikasikan bahwa satu kali kenaikan suku bunga lagi diperkirakan terjadi sebelum akhir tahun ini dalam proyeksi ekonominya. Hal ini sebenarnya sudah sesuai dengan pernyataan The Fed sebelumnya di mana ruang untuk kenaikan suku bunga tinggal sekali lagi di tahun ini.

Para petinggi otoritas moneter Negeri Paman Sam tersebut pun memproyeksikan kenaikan suku bunga akan kembali terjadi pada akhir tahun, dengan mencapai level 5,50%-5,75%.

Alasan The Fed masih akan mempertahankan sikap hawkish-nya hingga akhir tahun ini salah satunya yakni karena inflasi masih membandel.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street kembali ditutup terkoreksi pada perdagangan Kamis kemarin, karena investor investor semakin khawatir bahwa anggota parlemen tidak akan mampu mencegah penutupan pemerintahan dan mereka juga kecewa dengan sikap The Fed kemarin.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,08% ke posisi 34.070,422, S&P 500 ambrol 1,64% ke 4.330, dan Nasdaq Composite ambruk 1,82% menjadi 13.223,99.

Kekhawatiran meningkat menyusul berita bahwa para pemimpin Partai Republik di DPR AS memasukkan majelis ke dalam masa reses kemarin, memperkuat kekhawatiran bahwa anggota parlemen federal tidak akan meloloskan rancangan undang-undang (RUU) untuk mencegah penutupan pemerintah.

Pelaku pasar khawatir bahwa penutupan ekonomi AS akan merugikan perekonomian Negeri Paman Sam pada kuartal keempat tahun ini.

Namun yang utama, investor masih kecewa dengan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih akan mempertahankan suku bunga tinggi dalam waktu yang lebih lama, meski kali ini The Fed menahan suku bunga acuannya sesuai dengan perkiraan pasar.

Sebelumnya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di level 5,25%-5,5%.

Namun, The Fed mengindikasikan akan tetap mempertahankan sikaphawkish-nya hingga akhir tahun ini.

Hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) juga mengindikasikan jika kebijakan moneter yang ketat akan tetap berlanjut hingga 2024 dan akan memangkas suku bunga lebih sedikit dari indikasi sebelumnya.

Dokumen dot plot The Fed menunjukkan suku bunga akan ada di kisaran 5,5-5,75% pada tahun ini. Artinya, ada indikasi jika The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bp lagi hingga akhir tahun. Hal ini tentunya sesuai dengan pernyataan The Fed sebelumnya, di mana ruang bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya lagi di tahun ini hanya tersisa sekali saja.

"Indikator terkini menunjukkan jika aktivitas ekonomi masih solid. Penambahan tenaga kerja melandai dalam beberapa bulan terakhir tetapi tetap kuat. Tingkat pengangguran tetap rendah tetapi inflasi masih naik," tutur The Fed dalam keterangan resminya, dikutip dari situs resmi The Fed.

The Fed menjelaskan jika mereka akan memutuskan kebijakan ke depan secara hati-hati berdasarkan data yang berkembang serta mempertimbangkan outlook serta risikonya.

"Kami bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut jika diperlukan dan kami tetap menahan kebijakan pada level terbatas sampai kami percaya diri kalau inflasi memang terus bergerak melandai menuju sasaran kami," ujar Chairman The Fed, Jerome Powell usai rapat FOMC, dikutip dari CNBC International.

Selain membuat Wall Street kembali merana, kekecewaan pasar akan sikap The Fed juga membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali melonjak hingga menyentuh level tertingginya dalam 15 tahun terakhir.

Per pukul 04:05 WIB hari ini, yield Treasury acuan (benchmark) tenor 10 tahun melonjak 14,7 basis poin (bp) menjadi 4,494%, menjadi level tertinggi sejak 2007.

Di lain sisi, data klaim pengangguran mingguan untuk periode pekan yang berakhir 16 September menunjukkan masih kuatnya pasar tenaga kerja yang dapat mendorong The Fed untuk tetap pada mode hawkish.

Klaim pengangguran mingguan turun 20.000 menjadi 201.000 untuk pekan yang berakhir 16 September, jauh lebih rendah dari perkiraan para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones sebesar 225.000. Ini menjadi volume klaim pengangguran baru terendah sejak Januari lalu.

Sementara itu, saham teknologi melanjutkan koreksinya seiring kekecewaan pasar akan sikap The Fed. Investor pun mempertimbangkan kembali pembelian saham-saham yang berorientasi pada pertumbuhan jika suku bunga tetap tinggi.

Saham raksasa teknologi di AS seperti Tesla, Alphabet (Google), Meta Platforms, dan Nvidia terpantau berjatuhan hingga lebih dari 2% dan membebani indeks Nasdaq pada penutupan perdagangan Kamis waktu AS.

Sudah beberapa hari ketiga indeks di Wall Street merana, menandakan bahwa fenomena 'September Effect' memang masih terjadi di Wall Street pada tahun ini.

Bulan September di 2023 tinggal menghitung hari, yakni tinggal delapan hari saja. Jika saja Wall Street tidak kunjung bangkit, maka 'September Effect' tahun ini memang benar-benar terjadi kembali di Wall Street.

Pada perdagangan terakhir pekan ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen dan risiko baik dari dalam ataupun luar negeri. Salah satu sentimen terbesar akan datang dari Amerika Serikat (AS). 
Ambruknya Wall Street serta tumbangnya saham teknologi bisa menularkan sentimen negatif ke pasar keuangan Tanah Air. Gejolak baru dari pemerintahan AS juga bisa menekan rupiah dan SBN. Selain itu, masih panasnya pasar tenaga kerja AS harus menjadi perhatian pasar.

Sentimen yang perlu diwaspadai adalah potensi gagalnya rancangan undang-undang (RUU) untuk mencegah pemerintah AS melakukan penutupan (shutdown) menambah kekhawatiran pelaku pasar setelah mereka dibuat kecewa oleh sikap The Fed.

Para pemimpin Partai Republik di DPR AS kemarin membuat majelis tersebut memasuki masa reses, yang kemungkinan besar menghilangkan harapan untuk meloloskan RUU untuk mendanai pemerintah dalam beberapa hari mendatang.

Perubahan jadwal tersebut merupakan kegagalan yang memalukan bagi Ketua DPR Kevin McCarthy, seorang warga California yang perlu menyatukan kaukus Partai Republik yang terpecah untuk menghindari shutdown pada akhir bulan ini.

"Kami ingin menghindari penutupan ini sebisa kami," kata Senator Markwayne Mullin, mengatakan kepada CNBC International, Kamis (21/9/2023) waktu AS.

Namun yang utama, kekecewaan pasar masih terjadi setelah The Fed mengindikasikan belum akan merubah sikap hawkish-nya selama inflasi belum mencapai target yang ditetapkan dan data-data pendukung masih cukup kuat.

The Fed memang sudah menahan suku bunga acuan di level 5,25-5,50% sesuai ekspektasi pasar. Namun, The Fed mengisyaratkan mereka akan tetap hawkish dan membuka kemungkinan kenaikan suku bunga ke depan.

Hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) juga mengindikasikan jika kebijakan moneter yang ketat akan tetap berlanjut hingga 2024 dan akan memangkas suku bunga lebih sedikit dari indikasi sebelumnya.

Dokumen dot plot The Fed menunjukkan suku bunga akan ada di kisaran 5,5-5,75% pada tahun ini. Artinya, ada indikasi jika The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bp lagi hingga akhir tahun.

The Fed menjelaskan jika mereka akan memutuskan kebijakan ke depan secara hati-hati berdasarkan data yang berkembang serta mempertimbangkan outlook serta risikonya. Keputusan The Fed ini mengecewakan pasar yang sudah berekspektasi jika The Fed akan memangkas suku bunga secara signifikan pada tahun depan.

Data terbaru dari pasar tenaga kerja AS menunjukkan ekonomi AS masih panas. Jumlah pegawai AS yang mengajukan klaim pengangguran berkurang 20.000 orang menjadi 201.000 pada pekan yang berakhir pada 16 September. Jumlah tersebut adalah yang terendah sejak pekan terakhir Januari 203.

Klaim pengangguran yang rendah menjadi sinyal jika pasar tenaga kerja AS masih panas sehingga inflasi AS sulit ditekan. Kabar ini tentu saja membuat dunia kecewa karena bisa menjadi pertimbangan The Fed untuk tetap hawkish lebih lama.

Selain The Fed, bank sentral lain seperti bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga mengumumkan kebijakan suku bunganya kemarin. Sama seperti The Fed, BoE memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di level 5,25%. Padahal pasar sebelumnya memperkirakan BoE akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 bp menjadi 5,5%.

Namun, ada perbedaan suara saat pertemuan BoE berlangsung. Komite Kebijakan Moneter (KKM) BoE memberikan suara 5-4 mendukung mempertahankan suku bunga. Gubernur Bailey, pembuat kebijakan Broadbent, Dhingra, Pill dan Ramsden memberi suara untuk mempertahankannya, sementara Cunliffe, Greene, Haskel dan Mann ingin menaikkan suku bunga menjadi 5,5%.

Ditahannya suku bunga BoE terjadi setelah inflasi Inggris mulai melandai, meski angkanya masih cukup tinggi dan tentunya masih jauh dari target BoE di kisaran 2%.

Sebelumnya pada Rabu lalu, inflasi konsumen (consumer price index/CPI) Inggris secara tak terduga melandai menjadi 6,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus lalu, dari sebelumnya sebesar 6,8% pada Juli lalu.

Angka inflasi Inggris terbaru ini lebih rendah dari perkiraan pasar yang naik menjadi 7%, berdasarkan survei Reuters.

Khususnya CPI inti, yang tidak termasuk harga pangan, energi, alkohol dan tembakau yang berfluktuasi mencapai 6,2% (yoy) pada Agustus, turun dari sebelumnya 6,9% pada Juli lalu.

Sementara dari dalam negeri, BI juga memutuskan untuk kembali menahan suku bunga acuannya di level 5,75%. Hal ini sudah sesuai dengan ekspektasi pasar dan konsensus yang dihimpun dari CNBC Indonesia.

Selain BI dan The Fed serta BOE,  terdapat bank sentral Swedia, Brasil, Swiss dan Turki juga menentukan kebijakan suku bunga kemarin. Bank sentral Swedia dan Turki mengerek suku bunga sementara Swiss memilih menahan. Sementara itu, bank sentral Brasil memangkas suku bunga sebesar 50 bp menjadi 12,75%.

Bank sentral Turki kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 500 bp menjadi 30%, sesuai dengan prediksi pasar. Sedangkan bank sentral Brasil memangkas suku bunga sebesar 50 bp menjadi 12,75%.

Bank sentral Arab Saudi, yang rencananya diumumkan kemarin kemudian ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut.

Setelah kemarin ada 'Super Thursday' di mana banyak bank sentral mengumumkan suku bunga acuannya, pada hari ini, pasar akan memantau beberapa rilis data ekonomi dan agenda.

Pada hari ini, giliran bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) yang akan merilis kebijakan suku bunga acuan terbarunya. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan BoJ akan kembali menahan suku bunga ultra longgarnya di level -0,1%.

Adapun suku bunga ultra longgar BoJ sudah ditahan sejak 2016 silam. BoJ juga belum akan merubah sikapnya menjadi hawkish dalam waktu dekat. Namun, beberapa ekonom memprediksi bahwa BoJ akan mengakhiri kebijakan ultra longgarnya pada tahun depan.

Meskipun tidak ada ekonom yang disurvei melihat kemungkinan BoJ merubah sikap longgarnya pada pertemuan pekan ini, tetapi hampir 80% dari mereka mengatakan BoJ akan menghapus skema pengendalian imbal hasil (yield curve control/YCC) 10 tahun pada akhir tahun 2024.

Gubernur Kazuo Ueda mengatakan dalam sebuah wawancara dengan sebuah surat kabar awal bulan ini bahwa BoJ mungkin akan mendapatkan data yang cukup pada akhir tahun untuk menilai apakah mereka dapat mengakhiri suku bunga negatif, sehingga mendorong para trader untuk membeli yen untuk melakukan lindung nilai terhadap kemungkinan kenaikan suku bunga yang lebih awal dari perkiraan.

Tiga belas dari 25 ekonom atau 52% yang disurvei oleh Reuters pada 8-19 September, memperkirakan BoJ akan mengakhiri kebijakan suku bunga negatifnya sekitar tahun 2024. Angka tersebut naik dari 41% dalam survei yang sama pada Agustus lalu.

Selain kebijakan suku bunga acuan terbaru BoJ, Jepang juga akan merilis beberapa data ekonomi, seperti data inflasi dan data flash reading PMI manufaktur dan Jasa.

Adapun inflasi Jepang pada Agustus 2023 diperkirakan tidak banyak berubah dari periode sebelumnya yakni Juli 2023 yang sebesar 3,3%, berdasarkan konsensus Trading Economics.

Sedangkan inflasi inti Jepang pada bulan lalu diperkirakan turun menjadi 3%, dari sebelumnya sebesar 3,1% pada Juli lalu. Selain inflasi, data flash reading PMI manufaktur dan jasa Jepang versi Jibun Bank periode September 2023 juga akan dirilis pada hari ini.

Tak hanya Jepang, beberapa negara juga akan merilis data flash reading PMI manufaktur dan jasa periode September 2023. Adapun negara-negara tersebut yakni Australia, Uni Eropa, Inggris, dan AS.

Selain data flash reading PMI manufaktur dan jasa, ada data ekonomi lainnya yang juga dirilis pada hari ini, seperti data indeks keyakinan konsumen (IKK) Inggris dan data penjualan ritel Inggris.

Selain kebijakan soal bunga, sentimen lain datang dari kebijakan fiskal pemerintah.

Seperti diketahui, Rapat Paripurna DPR RI Ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023-2024 resmi mengesahkan Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2024, Kamis (21/9/2023). Defisit ditetapkan sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29% terhadap PDB, pendapatan negara sebesar Rp2.802,3 triliun, belanja negara Rp3.325,11 triliun, dan pembiayaan sebesar Rp522,8 triliun.

Asumsi dasar ekonomi makro tahun 2024 disepakati dalam UU APBN 2024, sebagai berikut:

1. Pertumbuhan ekonomi 5,2%;

2. Laju inflasi 2,8%;

3. Nilai tukar Rp15.000 per dolar AS;

4. Tingkat suku bunga SBN 10 tahun 6,7%;

5. Harga minyak mentah 82 dolar per barel;

6. Lifting minyak 635.000 barel per hari;

7. Lifting gas bumi sebesar 1.033.000 barel setara minyak per hari.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data awal PMI manufaktur dan jasa Australia versi Judo Bank periode September 2023 (06:00 WIB),
  2. Rilis data indeks keyakinan konsumen Gfk Inggris periode September 2023 (06:01 WIB),
  3. Rilis data inflasi Jepang periode Agustus 2023 (06:30 WIB),
  4. Rilis data awal PMI manufaktur dan jasa Jepang versi Jibun Bank periode September 2023 (07:30 WIB),
  5. Keputusan suku bunga bank sentral Jepang (10:00 WIB),
  6. Rilis data penjualan ritel Inggris periode Agustus 2023 (13:00 WIB),
  7. Rilis data awal PMI manufaktur dan jasa Uni Eropa versi HCOB periode September 2023 (15:00 WIB),
  8. Rilis data awal PMI manufaktur dan jasa Inggris versi S&P Global/CIPS periode September 2023 (15:30 WIB),
  9. Rilis data awal PMI manufaktur dan jasa Amerika Serikat versi S&P Global periode September 2023 (20:45 WIB).

 Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. RUPS Tahunan dan Luar Biasa PT Century Textile Industry Tbk (09:30 WIB),
  2. RUPS Luar Biasa PT Batavia Prosperindo Trans Tbk (14:00 WIB),
  3. RUPS Luar Biasa PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (14:00 WIB),
  4. Cum date dividen tunai PT Batavia Prosperindo Internasional Tbk.

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2023 YoY)

5,17%

Inflasi (Agustus 2023 YoY)

3,27%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (September 2023)

5,75%

Surplus Anggaran (APBN Juli 2023)

0,72% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2023 YoY)

0,5% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2023 YoY)

US$ -7,4 miliar

Cadangan Devisa (Agustus 2023)

US$ 137,1 miliar

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular