CNBC Indonesia Research

Stiglitz Benar! Ini 4 Bukti Dunia Sengsara Karena AS

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
13 September 2023 17:35
Nobel Prize-winning economist Joseph E. Stiglitz attends a session at the World Economic Forum (WEF) in Davos, January 26, 2012. REUTERS/Christian Hartmann/File Photo
Foto: Joseph E. Stiglitz (REUTERS/Christian Hartmann)

Jakarta, CNBC Indonesia - Era suku bunga tinggi yang dimulai dari bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) membuat banyak negara merana dalam setidaknya setahun terakhir.

Hal ini dikemukakan oleh Ekonom AS peraih penghargaan nobel di bidang ekonomi, Joseph Stiglitz. Dia mengatakan bahwa The Fed salah mendiagnosa penyebab kenaikan inflasi di negaranya. 
Sebagai catatan, Stiglitz merupakan ekonom 'sakti' yang sangat dikenal dengan analisa tajamnya.

Kesalahan diagnosa terhadap inflasi itu membuat The Fed terus menaikkan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) secara cepat dan bertengger di level yang tinggi untuk jangka waktu panjang. Tujuannya untuk meredam permintaan agregat.

"Menaikkannya terlalu cepat, dan terlalu jauh, menunjukkan kesalahan diagnosa. Mereka meyakini bahwa inflasi ini hasil dari agregat demand yang kuat," ujar Stiglitz dalam program Money Talks CNBC Indonesia dikutip Selasa (12/9/2023).

Ketimbang disebabkan permintaan agregat yang kuat, Stiglitz menganggap, inflasi yang tinggi di AS cenderung disebabkan masalah pasokan (supply side). Sebab, pasokan barang dan jasa memang tengah terganggu di dunia akibat masa pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia.

Ia mencontohkan, sejak pandemi dan akibat perang Ukraina-Rusia, dunia tengah menghadapi kurangnya pasokan chip untuk kendaraan, akibatnya harga kendaraan tinggi beberapa waktu lalu. Namun, di beberapa negara cara meredamnya bukan menaikkan suku bunga acuannya.

"Harga mobil jadi teratasi. Harga minyak turun dari US$ 120 menjadi US$ 80. Dan dan tentu saja harga-harga yang tinggi itu ada harganya yang diterjemahkan ke dalam inflasi inti, tapi sistemnya stabil," ucap Stiglitz.

Oleh sebab itu, ia menekankan, cara mengendalikan inflasi yang disebabkan pasokannya yang terganggu tidak bisa memanfaatkan metode kenaikan suku bunga acuan yang hanya mematikan ekonomi karena mengurangi permintaan, karena pasokannya yang bermasalah.

"Tidak ada alasan untuk mematikan perekonomian. Itu tidak akan sepadan dengan keuntungannya. Kita sebenarnya bisa menaikkan upah pekerja tanpa menyebabkan inflasi yang besar," tuturnya.

Ia pun mengaku sangat menentang pernyataan The Fed yang masih ingin menaikkan angka pengangguran hanya demi meredam angka inflasi di negara itu.

Menurutnya, itu hanya akan merugikan AS dan negara-negara lain dan The Fed tidak bisa terus menerus hanya menggunakan kebijakan suku bunga untuk meredam inflasi.

"Saya sangat kritis terhadap pernyataan The Fed yang ingin meningkatkan angka pengangguran. Tentu saja, hal ini selalu mempunyai dampak global di luar AS," tegas Stiglitz

Suku Bunga Tinggi The Fed Bikin Rupiah Merana

Tingginya suku bunga The Fed membawa dolar AS semakin perkasa dan membuat negara-negara yang sebelumnya bergantung dengan dolar AS, mulai meninggalkan ketergantungannya dengan dolar AS, alias dedolarisasi, demi menyelamatkan mata uang lokalnya.

Dolar yang terus merangkak naik hingga membuat kebijakan fiskal dan moneter di negara-negara lain ikut bergejolak.

Pada pagi hari ini, indeks dolar AS (DXY), yang mengukur mengukur nilai dolar terhadap enam mata uang utama lainnya seperti euro, krona Swedia, franc Swiss, pound Inggris, dolar Kanada, dan yen Jepang cenderung melemah tipis 0,05% ke 104,658, berdasarkan data dari Refinitiv.

Hal ini menandakan bahwa dolar AS masih perkasa. Pada perdagangan kemarin, indeks dolar menguat tajam ke 104,71, tertinggi dalam tiga hari terakhir. Penguatan indeks menunjukkan betapa perkasanya mata uang Greenback terhadap mata uang lain.

Di Indonesia sendiri, perkasanya dolar AS membuat rupiah masih merana hingga hari ini. Menurut data dari Refinitiv per pukul 09:46 WIB, rupiah kembali melemah 0,18% ke posisi Rp 15.363/US$. Pelemahan ini memperpanjang tren negatif rupiah yang tidak pernah menguat sepanjang September ini.

Menurut Johanna Chua, Managing Director dan Head of Asia Pacific Economic and Market Analysis Citigroup mengatakan ada beberapa alasan yang membuat dolar cenderung menekan volume perdagangan beberapa negara, tidak terkecuali Indonesia.

Meski begitu, menurutnya masalah pertama yang membuat dolar AS jadi kuat karena banyak negara yang menggunakan dolar sebagai mata uangnya.

"Dolar yang begitu kuat membuat barang-barang yang dapat diperdagangkan menjadi sangat mahal dan karenanya mengurangi permintaan," jelas Johanna kepada CNBC Indonesia, Jumat (18/11/2022).

Namun di sisi lain, Johanna juga tidak menafikan jika kadang kala dolar yang terlalu kuat adalah tanda penghindaran risiko.

"Dolar yang kuat pada dasarnya kurang kondusif untuk menghindari risiko, namun kurang menguntungkan untuk aliran modal," tegas Johanna.

Dampak negatif dolar yang kuat juga bertambah jika ada kewajiban atau utang yang nilainya tidak dilindungi, sehingga jadi naik drastis dan akan membebani.

Tidak cuma itu, Johanna juga mengatakan dolar yang kuat, artinya mata uang yang lebih lemah memperkuat nilai tukar yang mengarah pada inflasi.

Inflasi Susah Capai Target The Fed, Ekonomi Negeri Paman Sam 'Dipertaruhkan'

Di lain sisi, tingginya suku bunga The Fed terjadi karena inflasi yang terus 'membandel', membuat The Fed masih bersikap hawkish hingga kini. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan masa pandemi Covid-19 yang saat itu The Fed masih bersikap dovish.

Kenaikan suku bunga The Fed sudah terjadi sebanyak 11 kali sejak pengetatan pertama di Maret 2022. Adapun kenaikan suku bunga The Fed sudah mencapai 525 basis poin (bp) sejak Maret 2022.

Meski suku bunga The Fed sudah terbilang tinggi, tetapi inflasi AS nyatanya masih belum mencapai target yang ditetapkan sebesar 2%. Bahkan, inflasi AS pada periode Agustus 2023 berpotensi kembali naik seiring terbangnya harga minyak mentah dunia.

Pada periode Juli 2023, inflasi AS mencapai 3,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), naik dari inflasi pada Juni 2023 sebesar 3% (yoy).

Berdasarkan data yang dirilis Biro Statistik Ketenagakerjaan AS dari dikutip Trading Economics, kenaikan inflasi tersebut menjadi yang pertama kali dalam setahun terakhir, setelah dalam 12 bulan berturut-turut mencatatkan penurunan indeks harga konsumen (IHK).

Meskipun demikian, kenaikan tersebut sedikit di bawah ekspektasi sebesar 3,3% (yoy).

Namun pada periode Agustus 2023, inflasi Negeri Paman Sam berpotensi mengalami kenaikan lagi. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi AS Agustus 2023 melonjak ke 3,6% (yoy).

Apabila inflasi naik sesuai perkiraan, ini bakal menjadi kenaikan kedua yang terjadi setelah mencapai titik terendah 3% (yoy) pada Juni lalu.

Inflasi yang belum melandai dan mencapai target yang ditetapkan oleh The Fed, serta suku bunga yang masih cukup tinggi, meski The Fed berpotensi menahan suku bunga acuannya kembali, membuat negara-negara lain semakin merana.

Bahkan tak hanya negara-negara lain, di AS sendiri, data ekonominya membuat pasar terus memasang mode wait and see, karena datanya masih cukup bervariasi dan belum diketahui kapan ketidakpastian berakhir.

Dari ekonomi AS, per kuartal II-2023 tercatat sebesar 2,1% (yoy) dalam estimasi kedua yang dirilis Biro Analisis Ekonomi AS, Rabu (30/8/2023). Pertumbuhan tersebut naik dari 2% pada kuartal sebelumnya.

Namun,pertumbuhan 2,1% itu lebih rendah dari estimasi pertama sebesar 2,4%.

Terdapat revisi ke bawah pada investasi inventaris swasta dan investasi tetap non-perumahan yang sebagian diimbangi oleh revisi ke atas pada belanja pemerintah negara bagian dan lokal.

Adapun para ekonom secara luas percaya bahwa pertumbuhan AS akan tersendat atau bahkan jatuh ke dalam resesi akibat kenaikan tajam suku bunga yang diatur oleh The Fed untuk mengendalikan inflasi yang tinggi. Biaya pinjaman yang lebih tinggi biasanya menekan perekonomian.

The Fed Naikkan Suku Bunga, Bank Sentral Lain Ikutan

Bahkan, suku bunga The Fed yang tinggi juga diikuti oleh beberapa bank sentral di negara lain, terutama di Eropa, meski kini beberapa sudah ada yang mulai menahan suku bunga acuannya.

Di Eropa, suku bunga bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) kini sudah berada di level 4,25%, level tertinggi yang pernah tercipta sejak September 2008 silam.

Kenaikan suku bunga ECB sudah terjadi sejak Juni 2022, dengan total kenaikannya mencapai 425 bp.

Namun, ECB masih lebih baik, ada beberapa negara yang justru menaikkan suku bunga acuannya cukup tinggi akibat dari tingginya inflasi suatu negara tersebut atau karena ingin menyelamatkan mata uang lokalnya dari depresiasi parah.

Contohnya bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR), yang menaikkan suku bunga acuannya sebesar 300 bp menjadi 12% pada 16 Agustus lalu. Langkah ini dilakukan sebagai tindakan darurat untuk menghentikan pelemahan rubel.

Tak hanya Rusia, ada Argentina dan Turki yang bank sentralnya juga menaikkan suku bunga. Bank sentral Argentina pada 14 Agustus lalu melakukan pertemuan mendadak untuk mengerek tingkat suku bunga acuan sebesar 21%. Dengan kenaikan tersebut, kini tingkat suku bunga acuan Bank Sentral Argentina berada pada level 118%.

Langkah kebijakan pengetatan moneter yang agresif diambil bank sentral, seiring dengan kesulitan yang dihadapi pemerintah Argentina dalam mengatasi inflasi. Pada April 2023, inflasi Argentina masih menembus level 100%, level tertinggi dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.

Bank sentral Turki mengambil langkah moneter ekstrem dengan mendongkrak suku bunga utama sebesar 250 bps menjadi 17,5% pada Juli. Langkah pengetatan ini melanjutkan kebijakan agresif bank sentral Turki yang mengerek suku bunga gila-gilaan sebesar 650 bps pada Juni 2023.

Keputusan yang diketuk Juni dan Juli tersebut merupakan imbas dari lonjakan inflasi Negara Bulan Sabit. Inflasi Turki melesat hingga menyentuh 85,51% (year on year/yoy) pada Oktober 2022.

Inflasi sebenarnya sudah melandai menjadi 47,83% pada Juli 2023 tetapi bank sentral Turki mengatakan akan ada pengetatan moneter lebih lanjut secara bertahap sampai gambaran inflasi di negara tersebut membaik.

Kenaikan suku bunga 650 basis poin tersebut adalah yang pertama di negara itu sejak Maret 2021. Namun, besarannya masih di bawah ekspektasi analis yang meramalkan kenaikan hingga 1.150 basis poin menjadi 20%.

Efek dari inflasi global yang tinggi dan kebijakan moneter ketat The Fed pun berimbas kemana-mana. Lalu apakah The Fed masih 'kekeuh' ingin melanjutkan era suku bunga tinggi atau ingin berubah?

Mengingat pernyataan dari Joseph Stiglitz, memang sudah terlambat untuk merubah dampaknya, tetapi kedepan, perubahan The Fed menjadi lebih dovish akan sangat ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar karena hal ini dapat kembali menggairahkan perekonomian global, meski perekonomian AS sendiri harus mengalami masa-masa pahit terlebih dahulu.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/ras)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation