
Huru-Hara di AS Bertambah Lagi, IHSG & Rupiah Bisa Bergejolak

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street kembali ditutup terkoreksi pada perdagangan Kamis kemarin, karena investor investor semakin khawatir bahwa anggota parlemen tidak akan mampu mencegah penutupan pemerintahan dan mereka juga kecewa dengan sikap The Fed kemarin.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,08% ke posisi 34.070,422, S&P 500 ambrol 1,64% ke 4.330, dan Nasdaq Composite ambruk 1,82% menjadi 13.223,99.
Kekhawatiran meningkat menyusul berita bahwa para pemimpin Partai Republik di DPR AS memasukkan majelis ke dalam masa reses kemarin, memperkuat kekhawatiran bahwa anggota parlemen federal tidak akan meloloskan rancangan undang-undang (RUU) untuk mencegah penutupan pemerintah.
Pelaku pasar khawatir bahwa penutupan ekonomi AS akan merugikan perekonomian Negeri Paman Sam pada kuartal keempat tahun ini.
Namun yang utama, investor masih kecewa dengan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih akan mempertahankan suku bunga tinggi dalam waktu yang lebih lama, meski kali ini The Fed menahan suku bunga acuannya sesuai dengan perkiraan pasar.
Sebelumnya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di level 5,25%-5,5%.
Namun, The Fed mengindikasikan akan tetap mempertahankan sikaphawkish-nya hingga akhir tahun ini.
Hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) juga mengindikasikan jika kebijakan moneter yang ketat akan tetap berlanjut hingga 2024 dan akan memangkas suku bunga lebih sedikit dari indikasi sebelumnya.
Dokumen dot plot The Fed menunjukkan suku bunga akan ada di kisaran 5,5-5,75% pada tahun ini. Artinya, ada indikasi jika The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bp lagi hingga akhir tahun. Hal ini tentunya sesuai dengan pernyataan The Fed sebelumnya, di mana ruang bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya lagi di tahun ini hanya tersisa sekali saja.
"Indikator terkini menunjukkan jika aktivitas ekonomi masih solid. Penambahan tenaga kerja melandai dalam beberapa bulan terakhir tetapi tetap kuat. Tingkat pengangguran tetap rendah tetapi inflasi masih naik," tutur The Fed dalam keterangan resminya, dikutip dari situs resmi The Fed.
The Fed menjelaskan jika mereka akan memutuskan kebijakan ke depan secara hati-hati berdasarkan data yang berkembang serta mempertimbangkan outlook serta risikonya.
"Kami bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut jika diperlukan dan kami tetap menahan kebijakan pada level terbatas sampai kami percaya diri kalau inflasi memang terus bergerak melandai menuju sasaran kami," ujar Chairman The Fed, Jerome Powell usai rapat FOMC, dikutip dari CNBC International.
Selain membuat Wall Street kembali merana, kekecewaan pasar akan sikap The Fed juga membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali melonjak hingga menyentuh level tertingginya dalam 15 tahun terakhir.
Per pukul 04:05 WIB hari ini, yield Treasury acuan (benchmark) tenor 10 tahun melonjak 14,7 basis poin (bp) menjadi 4,494%, menjadi level tertinggi sejak 2007.
Di lain sisi, data klaim pengangguran mingguan untuk periode pekan yang berakhir 16 September menunjukkan masih kuatnya pasar tenaga kerja yang dapat mendorong The Fed untuk tetap pada mode hawkish.
Klaim pengangguran mingguan turun 20.000 menjadi 201.000 untuk pekan yang berakhir 16 September, jauh lebih rendah dari perkiraan para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones sebesar 225.000. Ini menjadi volume klaim pengangguran baru terendah sejak Januari lalu.
Sementara itu, saham teknologi melanjutkan koreksinya seiring kekecewaan pasar akan sikap The Fed. Investor pun mempertimbangkan kembali pembelian saham-saham yang berorientasi pada pertumbuhan jika suku bunga tetap tinggi.
Saham raksasa teknologi di AS seperti Tesla, Alphabet (Google), Meta Platforms, dan Nvidia terpantau berjatuhan hingga lebih dari 2% dan membebani indeks Nasdaq pada penutupan perdagangan Kamis waktu AS.
Sudah beberapa hari ketiga indeks di Wall Street merana, menandakan bahwa fenomena 'September Effect' memang masih terjadi di Wall Street pada tahun ini.
Bulan September di 2023 tinggal menghitung hari, yakni tinggal delapan hari saja. Jika saja Wall Street tidak kunjung bangkit, maka 'September Effect' tahun ini memang benar-benar terjadi kembali di Wall Street.
(chd/chd)