CNBC Indonesia Research

Separuh Lebih Uang Di Bank Dikuasai Oleh Hanya 0,02% Penduduk

Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
02 August 2023 09:40
Jangan Kaget! Segini Penghasilan Orang RI Dianggap Miskin
Foto: Aristya Rahadian
Rasio gini yang sering dibanggakan oleh pemerintah dan politisi dimana hasilnya menyimpulkan ketimpangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia rendah adalah indikator kuno, bias dan cenderung membohongi publik. Kenyataannya, mayoritas kekayaan di Republik berasas Pancasila yang menjanjikan adil dan makmur bagi rakyatnya ini justru dikuasai oleh segelintir cukong dan korporasi besar, sementara jutaan rakyat miskinnya menggantungkan makan sehari-hari, ongkos berobat dan biaya pendidikan dari santunan pemerintah setiap bulan. Mengenaskan! ~ CNBC Indonesia Intelligence Unit

Jakarta, CNBC Indonesia - Jurang timpang si miskin dan si kaya di Tanah Air Ibu Pertiwi meningkat secara eksponensial sejak reformasi 1998, melesat paling cepat diantara seluruh negara di kawasan. Kata Bank Dunia sepuluh tahun lalu, sepuluh persen orang Indonesia terkaya menguasai sekitar 77% dari seluruh kekayaan di negeri ini, dan satu persen diantara mereka menguasai separuh harta yang ada. Indonesia adalah negara dengan ketimpangan tertinggi bersama Thailand setelah Rusia dari 38 negara di dunia.

Sekarang kondisinya sama buruknya. Data LSM asal Inggris Oxfam mengilustrasikan harta empat orang terkaya di Indonesia itu setara dengan akumulasi kekayaan milik 100 juta penduduk, luar biasa timpangnya. Meskipun bukan standar ilmiah, dan tampak hiperbolik, kalkulasi CNBC Indonesia Intelligence Unit menunjukkan data Oxfam itu tidak membual. Temuan ini berdasarkan olah data publik kepemilikan dana pihak ketiga (DPK) perbankan yang dilansir setiap bulan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dikombinasikan dengan data kepemilikan rekening versi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI)

Ketimpangan jurang kekayaan kaya dan miskin menggunakan data uang simpanan di bank lebih telanjang. Rupanya, sebanyak Rp4.231 triliun atau sekitar 53% dari total DPK perbankan yang mencapai Rp8.049 triliun itu cuma dimiliki oleh hanya 0,02% populasi penduduk Indonesia. Kalau dijumlahkan cuma segelintir orang kaya saja di kelompok populasi itu, sekitar 54 ribu orang dari jutaan penduduk Indonesia, dengan rata-rata isi kantong simpanan mereka per orang sebesar Rp 98 miliar.

Jurang si miskin versi uang simpanan ada di klaster DPK perbankan sebanyak Rp1.007 triliun yang dimiliki secara keroyokan oleh sekitar 170 juta orang atau setara 63,05% populasi, dimana kalau di rata-rata isi simpanannya tidak sampai Rp6 juta. Kelompok ketiga adalah kelas menengah yang cenderung berlapis-lapis kelasnya, dari mulai kepemilikan simpanan di bank Rp 421 juta hingga Rp 9,5 miliar, yang mencakup 0,8% populasi atau sekitar 2,1 juta orang penduduk yang kalau dirata-rata simpanan masing-masing sebesar Rp3,5 miliar.

Jurang paling dalam dari yang terdalam atau boleh dikatakan miskin sekali versi tabungan ini adalah kelompok keempat yang dihuni 97 juta orang dengan tidak memiliki rekening bank sama sekali, sehingga boleh dikata mungkin tidak punya uang simpanan. Hidup rakyat paling susah ini setara 36,13% populasi penduduk, yang tidak memiliki masa depan finansial sama sekali, rentan karena pendapatan sehari-hari cuma habis tanpa sisa untuk biaya makan dan kebutuhan lain tanpa bisa menyisihkan untuk tabungan.

Asumsi ini boleh saja ditentang, dan dibilang tidak akurat, namun pertanyaanya sederhana; berapa banyak misalnya orang miskin sekarang yang tak punya rekening bank tapi simpan uang di atas Rp5 juta tunai di bawah bantal? Bila dimasukkan dalam angka resmi kemiskinan, maka 25,9 juta orang dari 97 juta itu dinyatakan resmi miskin oleh pemerintah, sementara sisanya 71.1 juta adalah orang yang resmi dianggap tidak miskin, meskipun bila ditelisik lebih dalam, mereka ini sebenarnya miskin juga sebab bila tidak mendapatkan bantuan pangan, kesehatan dan pendidikan dari pemerintah sangat mudah jatuh di bawah garis kemiskinan.

Kalkulasi ini dengan data Dewan Nasional Keuangan Inklusif, bahwa hanya 55,7% penduduk pada 2019 yang memiliki rekening, sehingga bila disimulasikan dengan total jumlah rekening di bank yang berjumlah 516 juta, maka rata rata setiap pemilik rekening memiliki tiga rekening bank. Sementara itu, LPS menggunakan klasifikasi tujuh tieringkepemilikan di mulai dari kepemilikan di bawah Rp100 juta hingga di atas Rp5 miliar. Meskipun kalkulasi CNBC Indonesia Intelligence Unit ini boleh diperdebatkan, namun setidaknya lebih akurat karena mampu memotret rasio ketimpangan atau katakanlah rasio gini dari sisi pendapatan.

Gara-Gara Salah Alat Ukur

Bila menggunakan indikator standar dunia, seperti rasio indeks gini ketimpangan lebar si kaya dan si miskin di Indonesia tidak kelihatan, tampak baik-baik saja. Rasio Gini Indonesia terakhir berada pada angka 0,39, atau di bawah 0,4 yang artinya rendah, meski mepet dengan 0,4-0,5 yang berarti sedang dan di atas 0,5 atau ketimpangan tinggi.

Padahal, rasio gini yang sering dibanggakan ini bias dan gagal di mana-mana untuk menggambarkan realitas sebenarnya di lapangan. Meski sudah menjadi patokan internasional, desain teori yang bahkan tidak ditemukan oleh ekonom, tetapi ahli statistik dan sosiologi asal Italia, Corrado Gini, sudah mendapatkan catatan kritis secara akademis sejak lama, bahkan ada yang bilang bohong.

Bagaimana bisa alat ukur ketimpangan temuan Corrado pada 1912, berdasarkan refleksi empiris sosio-ekonomi masyarakat Italia abad 19, dipakai untuk mengukur kondisi ketimpangan abad 21? Bagi yang sudah membaca buku, Capital in the Twenty-First,magnum opus brilian, ekonom World Inequality Lab and Paris School of Economics, Perancis Thomas Piketty akan mendapat gambaran lengkap, bagaimana rasio gini telah gagal dan meleset dalam menggambarkan ketimpangan miskin-kaya berabad-abad.

Penggunaan rasio gini sebagai alat ukur ketimpangan yang memang sudah bias, diperparah lagi dengan desain hitung rasio yang oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pengelompokan miskin-kaya berdasarkan pengeluaran, bukan pendapatan. Ada bias besar dalam pengukuran gini ratio pengeluaran untuk menggambarkan distribusi pendapatan. Pengukuran untuk kelompok menengah ke atas akan downward biasatau bias ke bawah. Artinya pengeluaran orang menengah kaya akan jauh lebih kecil dari pendapatannya. Sebaliknya, bagi kelompok menengah miskin yang terjadi adalah upward bias atau bias ke atas yang artinya nilai pengeluaran relatif lebih besar dari pendapatan. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak orang miskin kerap berhutang, terjerat pinjam online (pinjol) dan rentenir karena memang penghasilan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Paling gampang memahami ketidakakuratan rasio gini berbasis pengeluaran adalah begini; Baik orang kaya maupun orang miskin akan tetap memakan sepiring nasi untuk kenyang, maksimal tambah satu lagi. Walaupun orang miskin makan di warteg yang harganya lebih murah, dan orang kaya makan di restoran mahal, namun tetap saja biaya yang dikeluarkan untuk membeli makanan itu bila dibandingkan dengan pendapatan masing-masing akan jomplang tinggi.

Terangnya, sepiring nasi warteg paling seharga Rp20 ribu dan penghasilan si miskin rata-rata UMR hanya Rp2,7 juta, sementara sepiring nasi di restoran mahal, katakanlah Rp100 ribu, tetapi pendapatan si kaya bisa mencapai Rp20 juta. Nah, rasio gini di Indonesia itu hanya membandingkan pengeluaran biaya makan tadi, bukan penghasilannya, sehingga tentu saja gagal menggambarkan ketimpangan secara jujur, sebab yang dibandingkan adalah perbedaan pengeluaran untuk sepiring nasi, bukan antar pendapatan atau gajinya.

Kajian CNBC Indonesia Intelligence Unit, dari perbandingan di pelbagai negara, desain yang lebih baik adalah rasio gini dengan pengukuran pendapatan, bukan pengeluaran seperti dilakukan di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat. Tapi ini mempersyaratkan sistem pencatatan pendapatan akurat, seperti data pajak dan lainnya. Bila BPS memakai pendekatan pengeluaran ini, kalkulasinya angka gini rasio 0,5 itu sudah kritis sementara 0,7 bisa memicu chaos seperti Mei 1997 dulu.

Fakta- Fakta Telanjang Timpang Harta Miskin-Kaya

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, angka kemiskinan yang mencapai 9,36% dari total populasi Indonesia setara dengan 25,90 juta orang. Masih tingginya tingkat ketimpangan di Indonesia yang mencapai 0,388 per Maret 2023, semakin jauh dari target Presiden Joko Widodo (Jokowi) di dalam RPJMN 2024, yang mengharapkan gini ratio Indonesia turun menjadi 0,374.

Krisis moneter 1998 sempat menurunkan jarak timpang kaya-miskin karena krisis itu banyak membuat orang kaya jatuh miskin. Namun, kesenjangan kembali meningkat cepat pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Indeks Gini naik dari 31.0 pada masa kepresidenan Megawati tahun 2001 menjadi 41.0 pada tahun 2014 di bawah pemerintahan SBY.

Pertumbuhan ekonomi tinggi seperti memang harus meminta tumbal ketimpangan yang tinggi pula. Simpulan ini tampak pada distribusi pendapatan lebih parah terjadi di wilayah perkotaan dibandingkan dengan wilayah perdesaan. Misalnya pada bulan Maret 2020 dimana gini rasio nasional mencapai 0,381, gini rasio pada wilayah perkotaan telah mencapai 0,393, sedangkan gini rasio pada wilayah perdesaan hanya mencapai 0,317.

Melihat secara rinci dan mendalam kesenjangan ada dimana mana, multidimensional. Misalnya, pendapatan buruh sektoral lapangan usaha pada tahun 2022 ada 70% buruh atau sekitar 94,2 juta dari empat sektor padat karya yakni pertanian, perdagangan, manufaktur, serta sektor makanan dan minuman rata-rata bergaji Rp 2,4 juta per bulan. Sementara, 30% buruh atau sekitar 41,2 juta pada 13 sektor padat modal, skill intensive bergaji Rp 3,6 juta/bulan.

Menengok lebih dalam, ketimpangan pendapatan di semua sektor usaha bisa direkam menggunakan data latar belakang pendidikan. Mayoritas buruh di Indonesia masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) di mana upah per jamnya terbilang kecil yakni Rp 9.041 per jam. Sementara, lulusan perguruan tinggi di Indonesia persentase tenaga kerjanya mencapai 10,18% dengan rata-rata upah per jam mencapai Rp 30.454.

Kesenjangan juga terdapat pada perolehan upah menurut jenis kelamin (gender wage gap) di Indonesia sebesar 22,09% pada 2022. Angka ini meningkat 1,7% poin dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 20,39%. Angka tersebut juga menunjukkan bahwa rata-rata upah buruh laki-laki 22,09% lebih tinggi dibandingkan buruh perempuan. Upah buruh laki-laki sebesar Rp3,33 juta, sementara buruh perempuan meraih penghasilan senilai Rp2,59 juta.

Angka Penurunan Kemiskinan Semu

Sama buruknya dengan indikator kesenjangan rasio gini, orang disebut miskin oleh pemerintah bila catatan belanja keperluan untuk makan dan kebutuhan lain di bawah Rp 550.458 per orang per bulan. Itulah yang disebut dengan garis kemiskinan, yang berarti bila pengeluaran anda sebulan di atas itu maka tidak akan disebut miskin, dan sebaliknya.

Menggunakan standar umum bahwa satu keluarga itu terdiri dari empat orang, maka lebih mudah mengatakan bahwa keluarga miskin di Indonesia adalah mereka yang kebutuhan hidupnya mencapai sekitar Rp2,2 juta. Bila data ini dipadu padankan dengan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp2,72 juta, dan fakta pasar tenaga kerja bahwa 70% buruh atau sekitar 94,2 juta orang buruh di empat sektor padat karya yakni pertanian, perdagangan, manufaktur, serta sektor makanan dan minuman rata-rata bergaji Rp 2,4 juta per bulan, maka akan tampak betapa rentanya orang Indonesia jatuh miskin hanya gara-gara harga makanan naik.

Jarak antara garis kemiskinan keluarga dengan gaji rata-rata atau pendapatan kepala keluarga itu cuma 8%, yang artinya bila harga kebutuhan pokok seperti makanan naik di 8% maka sah jumlah orang miskin akan naik. Sebagai gambaran, pasca pandemi rata-rata kenaikan harga atau inflasi makanan sebesar 2,4%, per bulan secara tahunan, sehingga membuat posisi status miskin tidak miskin orang di Indonesia amat tergantung dari pergerakan harga makanan.

Sekedar acuan survei BPS, sebanyak 60% pengeluaran bulanan orang Indonesia itu untuk biaya makan, dengan separuh lebih untuk beli makanan jadi. Sisanya, 12,5% untuk beli rokok dan sisanya keperluan lain seperti pendidikan, kesehatan dan transportasi. Bagi orang yang berada di atas dikit garis kemiskinan, kenaikan harga makanan dan rokok auto menjadikan mereka miskin, karena survei itu juga menyebutkan orang miskin bahkan lebih banyak mengalokasikan uang belanja untuk membeli rokok daripada beras.

Kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama bukan hanya pemerintah, sebab masalahnya multidimensional dan khususnya ketimpangan telah menjadi fenomena global termasuk negara maju akibat semakin menguatnya gagasan kapitalisme pasar ke seluruh aspek kehidupan bernegara. Partai politik, akademisi, cerdik cendekia, civil society perlu duduk bersama merumuskan kembali desain salah pembangunan Indonesia. Presiden Joko Widodo boleh-boleh saja nafsu segera mengangkat Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah, dengan menggejot dan fokus pada sektor padat modal guna menggandakan PDB, tapi buat apa?

Buat apa bila pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru membuat ketimpangan si kaya dan si miskin semakin melebar, buat apa? Buat siapa pula sebenarnya kemakmuran di negeri gemah ripah loh jinawi ini diperuntukkan? Bukankah kita sudah sepakat berkumpul dalam akad bernegara bahwa semua kekayaan yang ada di bawah perut bumi dan di atasnya untuk kemakmuran semua? Lagi pula negara itu bukan perusahaan yang memang harus mengejar cuan. Tidakkah kita masih hafal makna dari sila kelima Pancasila saat penataran P4 di bangku sekolah dulu? Bahwa "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" itu bisa diwujudkan dengan cara membuat adil dulu baru makmur kemudian, mengapa sekarang terbalik?

Ikut berkontribusi dalam kajian ini Aulia Mutiara Hatia Putridan Tasya Natalia Pangestika

CNBC Indonesia Research - CNBC Indonesia Intelligence Unit

Email kritik dan saran : [email protected]

CATATAN PENTING: Artikel ini bukan produk berita melainkan opini, sesuai UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Artikel Opini di CNBC Indonesia diproduksi oleh CNBC Indonesia Research dan CNBC Indonesia Intelligence Unit, sebagai institusi otonom dan independen di bawah payung CNBC Indonesia sebagai research houses berkualitas dan standar tinggi selayaknya riset perusahaan sekuritas atau lembaga penelitian ekonomi lainnya.

PUBLIKASI KHAS SEBELUMNYA

(mum/mum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation