CNBC Indonesia Research

Jalan Sunyi LPS Menjaga Performa Perekonomian RI

Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
17 June 2023 07:18
Sah! LPS Rate Tetap Pada Level 4,25%
Foto: CNBC Indonesia TV
“Ada elemen dalam penyesuaian kembali sistem keuangan kita yang lebih penting daripada mata uang, lebih penting daripada emas, dan itu adalah kepercayaan rakyat” ~ Franklin D. Roosevelt

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalimat bersejarah itu keluar dari mulut Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pada tanggal 12 Maret 1933, enam hari setelah pembukaan kembali penutupan operasional bank-bank di Amerika Serikat. Saat itu otoritas sampai menutup bank akibat masyarakat menarik dananya di bank, dipicu oleh krisis ekonomi terbesar dalam sejarah yang kemudian disebut sebagai Depresi Besar 1929-1939.

Saat itu, rush moneydi sana mengakibatkan 4000 bank di AS kolaps. Momen itulah yang melahirkan lembaga asuransi simpanan nasabah bank, di AS namanya Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Tujuannya satu, agar masyarakat tetap percaya dan merasa aman menabung di bank dengan kehadiran lembaga negara yang menjamin uang mereka tak hilang bila bank gagal bayar. Lembaga ini merepresentasikan kehadiran negara dalam sistem perbankan.

Kehadiran lembaga asuransi simpanan ini adalah solusi kongkrit dari kegagalan mekanisme pasar di sektor moneter, satu paket dalam teori ekonomi baru yang mengubah lanskap perekonomian dunia sampai kini. Yakni sistem perekonomian campuran buah olah pikir ekonom dan filsuf Inggris, John Maynard Keynes yang dituangkan dalam magnum opus "The General Theory of Employment, Interest and Money".

Ceritanya tak jauh berbeda di Indonesia. Embrio Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah kepanikan nasabah bank saat krisis moneter pada 1998 setelah pemerintah melikuidasi 16 bank. Ini memaksa pemerintah menerapkan kebijakan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat atau blanket guarantee. Fungsi ini kemudian diubah dengan penjaminan terbatas yang diformalkan dalam lembaga keuangan negara dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS yang kemudian beroperasi pada 22 September 2005.

Dalam pandangan awam, peran LPS sangat membosankan. Ibarat kata, fungsi LPS itu hanya seperti pemadam kebakaran yang baru kerja apabila ada musibah kebakaran. Ini tidak salah, sebab sejarah dan merujuk tugas yang diembankan regulasi memang begitu. Bahkan setelah ditambahkan kewenangannya pada 2020. Seloroh di komunitas perbankan bilang, bila LPS malah aktif bekerja maka sesungguhnya kondisi sektor keuangan justru sedang bahaya. Ini karena perannya sebagai asuransi dana pihak ketiga perbankan (DPK), dokter bank sakit hingga kewenangan memutuskan untuk menyelamatkan atau melikuidasi bank.

Relasi Aktif LPS dengan Kinerja Perbankan

Dalam fungsi sebagai penjamin dana deposan, LPS dibekali kewenangan menjamin pokok simpanan maksimal Rp2 miliar per nasabah, dan menetapkan suku bunga penjaminan sebagai acuan bunga wajar yang ikut dijamin. Definisi suku bunga wajar yang biasanya ditetapkan setiap bulan itu biasanya mengacu rata-rata suku bunga dari 10 bank terbesar yang dianggap sebagai penentu pasar (market maker)dan tentu saja yang utama keputusan suku bunga acuan dari Bank Indonesia.

Kajian ilmiah Carapella dan Giorgio (2003) dari Departemen Ekonomi, Columbia University yang meneliti korelasi antara penjamin simpanan, perbankan dan suku bunga mematahkan stigma peran pasif lembaga penjamin simpanan terhadap perbankan. Fakta bahwa lembaga seperti LPS adalah stabilisator penting saat krisis perbankan datang tidak terbantahkan, namun keduanya menemukan fakta empiris yang lebih menarik.

Mereka menemukan, skema perlindungan simpanan secara eksplisit cenderung meningkatkan jarak atau spread antara suku bunga simpanan dan pinjaman di sektor perbankan di berbagai negara. Bahwa adanya penjaminan pada bunga bank tidak serta-merta membuat bank bisa menurunkan suku bunga simpanannya, dengan anggapan nasabah sudah merasa aman. Dengan kata lain korelasi antara tingkat suku bunga penjaminan simpanan dengan suku bunga deposito minim, meskipun itu ada.

Faktanya yang terjadi malah sebaliknya. Kenaikan suku bunga penjamin simpanan justru akan menimbulkan moral hazardpada para bankir, dimana bank-bank lebih berani untuk menyalurkan kredit di sektor yang berisiko tinggi untuk mencari margin tebal dengan menetapkan suku bunga tinggi. Dengan kata lain, kenaikan suku bunga simpanan akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit perbankan, dan berlaku sebaliknya.

Temuan Carapella dan Giorgio ini relevan dengan apa yang terjadi di sistem keuangan Indonesia. Kebijakan suku bunga longgar LPS, yang semakin agresif sejak Purbaya Yudhi Sadewa menjabat Ketua Dewan Komisioner LPS pada September 2020 berperan besar untuk menarik turun suku bunga kredit perbankan-lihat grafis. Sejak kepemimpinannya LPS agresif menurunkan suku bunga penjaminannya hingga 150 basis points sejak November 2020 hingga Oktober 2022, turun ke level 3,5% at par dengan suku bunga acuan BI atau 7DRR sampai dengan September 2022.

LPS cenderung memiliki sikap berbeda dengan BI, tidak seperti kelaziman yang sudah-sudah dimana kebijakan suku bunga LPS umumnya mengekor kepada BI. Ketika BI mulai menaikkan suku bunga acuannya menjadi 3,75% pada Agustus 2022, LPS cenderung menunda kenaikan. Secara total, sejak saat itu hingga Mei lalu, BI sudah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 225 bps menjadi 5,75%, sementara LPS hanya menaikkan 75 bps menjadi 4,25%. Dampak positifnya, kendati BI menerapkan kebijakan suku bunga ketat, suku bunga kredit perbankan selama periode itu hanya naik secara moderat, cuma 134 bps menjadi 8,92% untuk segmen kredit konsumer. Data ini menunjukkan, perbankan seolah mengambil jalan tengah diantara dua keputusan suku bunga acuan BI dan LPS.

Korelasi tiga suku bunga ini menarik, memunculkan simpulan baru bahwa suku bunga acuan BI tidak lagi menjadi acuan utama perbankan dalam menetapkan suku bunga simpanan dan kredit, namun ada peran LPS yang tampak berperan secara aktif dan efektif menjadi perpanjangan tangan transmisi kebijakan moneter BI ke sektor keuangan. Tentu saja, ini tidak berarti suku bunga LPS lebih mumpuni dibandingkan BI, namun lebih mencerminkan kelindan kebijakan yang seirama dan saling melengkapi.

Hal ini karena keputusan suku bunga ketat BI pada dasarnya terpaksa diambil karena simalakama situasi ekonomi nasional dan global. BI dihadapkan pada situasi sulit, dimana dewan gubernurnya tampak terpaksa menaikan suku bunga untuk menekan inflasi dan menjaga stabilitas rupiah, karena pada saat yang sama semua bank sentral-bank sentral di dunia, khususnya the Fed di AS menaikkan suku bunga secara agresif. Sementara pada sisi yang lain, BI juga dituntut untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 dengan menjaga iklim suku bunga kredit perbankan yang bersahabat dengan pelaku usaha. Peran ini terbantu dengan kebijakan moderat LPS dalam menetapkan kenaikan suku bunga pinjaman.

Sinyal gamang kebijakan moneter BI ini secara eksplisit tampak dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pada konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK IV Tahun 2022, Kamis (3/11/2022) yang intinya meminta bank tidak harus mengikuti langkah BI. Katanya, "Karena likuiditasnya (perbankan) sangat longgar, sehingga bank tidak harus buru-buru menaikkan suku bunga kreditnya," kata Perry. Pesan ini bahkan diulang-ulang, terakhir pada awal tahun lalu ketika suku bunga acuan sudah bertengger di level 5,75%. "Suku bunga deposito tidak harus ditransmisikan ke bunga kredit. Kami terima kasih nih ke bankir yang tidak menaikkan bunga kredit," ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (19/1/2023).

Suku bunga kredit perbankan yang murah akan meningkatkan permintaan kredit dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. LPS berperan dalam hal itu, dan sejalan dengan temuan tim peneliti independen, atas nama Irman Faiz dan Adry Gracio yang memenangkan Kompetisi "LPS Call for Research" tahun 2021. Hasil penelitian mereka membuktikan penurunan tingkat bunga penjaminan LPS sebesar 1% diasosiasikan dengan peningkatan pertumbuhan kredit sebesar 0,12% sampai dengan 0,14%.

Sementara itu ada korelasi positif kebijakan LPS yang cenderung melonggarkan suku bunga penjaminan dengan minat nasabah untuk menabung. Hal ini tampak pada tren terbalik sejak 2020 dimana secara konsisten LPS menurunkan suku bunganya dan menahan diri untuk tidak mengikuti irama BI soal keputusan suku bunga. Dampaknya, pertumbuhan deposito perbankan menurun perlahan sejak awal 2022 dan makin tajam pada awal tahun ini-lihat grafis.

Pilihan kebijakan suku bunga penjaminan Dewan Komisioner LPS tampaknya sejalan dengan perintah Presiden Joko Widodo yang menginginkan agar momentum pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Desember 2022, diikuti oleh upaya menurunkan tingkat simpanan masyarakat di perbankan, agar mendorong konsumsi yang pada gilirannya memicu pertumbuhan ekonomi. Sebab, konsumsi masyarakat berkontribusi lebih dari 50% pada produk domestik bruto.

"Kenaikan tabungan masyarakat di bank di tahun 2022 itu ada Rp 690 triliun. Dana masyarakat ditahan dan tidak dibelanjakan artinya masyarakat ngerem tidak ingin belanja. Tidak ingin datang ke restoran tidak ingin datang ke mal tidak ingin datang ke toko. Belanja tidak. Lebih baik disimpan di bank, ini tidak boleh. Kita harus mendorong masyarakat agar belanja itu bisa sebanyak banyaknya untuk mentrigerpertumbuhan ekonomi kita," ujar Presiden dalam pengarahan kepada Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Balikpapan, Kamis (23/2/2023)

Peran lembaga penjamin deposan semakin penting seiring dengan siklus krisis yang makin sering terjadi. Belakangan, dunia menyaksikan bagaimana lembaga penjamin simpanan di AS FDIC berjibaku menyelesaikan persoalan tiga bank kolaps, Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan Silvergate Bank. Krisis perbankan AS masih jauh dari selesai, dimana sejumlah riset akademik menyebut, neraca seluruh bank di sana mengalami unrealised lossesatau kerugian buku antara US$1,7 triliun hingga US$2 triliun, hanya sedikit di bawah nilai modal ekuitas seluruh sistem perbankan AS yang senilai US$2,2 triliun pada akhir 2022.

Baru-baru ini kajian keroyokan dari sejumlah ilmuwan di universitas ternama AS ( Jiang, Xuewei, Matvos, Gregor, Piskorski, Tomasz, Seru, Amit, 2023) mensimulasikan ada 190 bank di AS yang berpotensi gagal. Sementara, riset Deniz Anginer dan Asli Demirguc-Kunt yang didanai Bank Dunia bertajuk "Bank Runs and Moral Hazard, A Review of Deposit Insurance" (2018) menyimpulkan dampak keberadaan asuransi simpanan memiliki pisau bermata dua; bisa memberikan manfaat dan bisa juga justru merugikan. Dampak mana yang akan timbul, kata keduanya, tergantung dari desain dan pelaksanaan kebijakan yang diambil lembaga penjamin simpanan itu sendiri.

Studi literatur menyimpulkan asuransi simpanan dapat meningkatkan kepercayaan nasabah dan mencegah bank gagal, tetapi bila desain kebijakannya salah, seperti nilai dana yang dijamin terlalu besar, atau suku bunga penjaminan yang terlalu tinggi dapat memicu moral hazarddan kredit berisiko tinggi. Dalam konteks ini, kepiawaian anggota Dewan Komisioner LPS meramu kebijakan menjadi kunci paling penting guna menyeimbangkan dua kepentingan yang saling bertolak belakang dari eksistensi LPS bagi perekonomian Indonesia, yakni menjaga level kepercayaan masyarakat-yang menurut Franklin D. Roosevelt lebih penting dari emas dan uang-sekaligus meminimalkan dampak risiko moral hazard di perbankan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mum/mum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation