CNBC Indonesia Research

Luka Dalam Ibu Pertiwi Akibat Cebong-Kampret 2019 Belum Pulih

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
24 July 2023 16:43
Capres Prabowo, Ganjar dan Anies, Siapa Paling Kaya?
Foto: Infografis/ Capres Prabowo, Ganjar dan Anies, Siapa Paling Kaya?/ Aristya Rahadian

Jakarta CNBC Indonesia - Saat syahwat politik para politisi terlalu besar untuk mendapatkan kemenangan dalam kontestasi politik, mereka menggunakan segala cara, tetapi kemudian rakyat Indonesia menjadi korbannya. Segregasi sosial meruncing, akibat polarisasi politik yang awalnya cuma dipicu oleh perang opini, diksi-diksi kasar di media sosial sepanjang proses suksesi politik di negeri ini pada Pemilihan Umum Presiden 2019 lukanya masih membekas sampai sekarang.

Masih lekat di ingatan kita, awal mula terbentuknya cebong dan kampret. Tahun 2014 lalu, Joko Widodo (Jokowi) mampu memenangkan pilpres 2014 dengan margin tipis. Perbedaan raihan suara antara Jokowi dan Prabowo pada 2014 merupakan yang paling tipis di antara pilpres sejak 1998, menandai ketatnya persaingan antara kedua kubu. Saat itu, enggannya Prabowo mengakui kekalahannya pada pilpres 2014 diduga menjadi pemicu keberlangsungan segregasi politik sepanjang masa pemerintahan Jokowi 2014-2019. Tidak lama kemudian pendukung masing-masing kubu menemukan istilah untuk memanggil kubu lawannya. Muncullah panggilan cebong dan kampret.

Sebagian pendukung fanatik Prabowo menggunakan kata cebong untuk merujuk pada pendukung fanatik Jokowi. Istilah cebong muncul dari kata kecebong yang merupakan anak katak. Istilah ini berasal dari kegemaran Jokowi memelihara kodok ketika menjabat sebagai Walikota Solo. Sedangkan pendukung fanatik Jokowi membalas dengan menggunakan kata kampret untuk merujuk pada pendukung fanatik Prabowo. Awalnya, kata itu muncul sebagai ekspresi umpatan kekesalan yang kemudian digunakan pendukung Prabowo untuk mengomentari kebijakan Jokowi.

Masuk Tahun 2019, pertarungan nyatanya belum juga usai dan justru semakin diperparah dengan beberapa faktor diantaranya, pertama perselisihan antara kedua kelompok ini berlanjut pada tataran legislatif dan eksekutif. Partai-partai oposisi di parlemen yang dimotori oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan oleh Prabowo selalu mengkritik Kebijakan pemerintahan Jokowi .

Kedua, serangkaian isu sosial, ekonomi dan politik yang muncul dalam ranah publik atau media sosial selalu terbagi menjadi dua kubu tanpa adanya dialog publik. Nyatanya, tak sampai disini politik partisan juga merembet ke pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti di DKI Jakarta. Kemenangan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta pada tahun 2017 diidentikkan dengan kemenangan kubu Prabowo. Banyak sekali yang memiliki anggapan bahwasanya kemenangan Anies disebabkan penggunaan politik populis yang juga dipakai Prabowo. Pendekatan menggunakan isu agama sebagai 'senjata' bak terbukti ampuh untuk meraih kemenangan. Dengan ketiga kondisi di atas, maka polarisasi politik pasca pilpres 2019 menjadi semakin tajam karena kontes politik melibatkan dua kandidat yang sama dengan kondisi publik yang sudah partisan.

Belajar dari kemenangan Anies, Jokowi tampaknya mengadopsi pendekatan kelompok Prabowo yang menggunakan isu agama, untuk memperlunak segregasi sosial yang meruncing pasca Pemilu 2019. Ini alasannya kenapa Jokowi kemudian memilih tokoh Islam konservatif Ma'ruf Amin sebagai wakil presidennya. Meski kedua kelompok baik Jokowi dan Prabowo akhirnya sama-sama menggunakan isu Islam, hal ini tetap tidak meredakan polarisasi yang ada antara kedua kelompok

Namun, pada kenyataannya pasca pilpres 2019 toleransi beragama belum juga pulih. Toleransi beragama adalah sikap saling menghormati dan menghargai antar penganut agama lain. Seperti apa yang disebutkan dalam kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular "Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" yang artinya: berbeda-beda tetapi satu, tidak ada kebenaran yang kedua. Lihat saja tahun 2020, indeks toleransi beragama drop 11,27. Meskipun tahun 2021 kembali meningkat 4,93 poin menjadi 72,39. Ini termasuk kategori baik.

Toleransi beragama di Indonesia adalah korban dari perang jargon identitas itu, sebab bahkan setelah dua seteru Jokowi-Prabowo ada dalam satu pemerintahan, toleransi beragama Indonesia masih terkoyak. Indeks KUB ini menjadi early warningyang baik karena dapat melihat pola pikir dan sikap masyarakat Indonesia. Untuk diketahui, bahwa KUB ini merupakan cara untuk menunjukan wajah toleransi melalui potret kerukunan di Indonesia.

Mengingat, kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia sangat dinamis. Ini menjadi salah satu potensi besar dalam keberagaman. Maka perlu upaya untuk meningkatkan nilai-nilai toleransi dan kerukunan. Apabila hal ini terus terjadi bahkan pada pemilu 2024 mendatang akan berpotensi terjadi segregasi sosial akan sangat mudah negara menjadi terpecah atas dasar perbedaan ideologi atau pilihan politik.

Menilik Kondisi Pasar Pra-Pasca Pemilu 2019

Menjelang dua pekan sebelum pemilihan presiden, perdagangan mingguan bursa dari tanggal 25 Maret 2019 sampai 29 Maret 2019 tercatat melambat. Melihat perlambatan ini sebagai sesuatu yang lumrah. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang masih abu-abu hingga 17 April 2019. Saat itu, pasar masih melihat semua hal, termasuk regulasi dan aturan terkait ekonomi yang tidak akan fixpasca pemilu dihelat. Lihat saja, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pemenang IHSG langsung merangkak naik.

Pelaku pasar melihat ada beberapa sektor seperti konstruksi, infrastruktur, perbankan hingga tambang berpotensi kecipratan berkah kemenangan pasangan nomor urut 01 tersebut. Kondisi tersebut tentu tak lepas dari potensi Joko Widodo melanjutkan kebijakan ekonomi hingga proyek-proyek infrastruktur yang sepanjang 4,5 tahun ini menjadi prioritas kepemimpinannya. Jika menilik data Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia yang mengindikasikan kinerja kegiatan dunia usaha pada kuartal I-2019 diindikasikan tumbuh lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya. Ini tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) sebesar 8.65%, lebih tinggi dari 6,19% dari kuartal IV-2018.

Generasi Z dan Milenial Penentu Kemenangan Pilpres 2024

Pertengahan 2023 atmosfer pemilihan umum alias pemilu semakin terasa di masyarakat meskipun pelaksanaan pemilu masih tahun depan bahkan nama-nama bakal calon presiden masih belum rampung. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah merilis data Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk pemilu 2024 mendatang. Ada sebanyak 204 juta jiwa yang tercatat untuk meramaikan pesta demokrasi ini.

Berdasarkan usia, DPT memang didominasi oleh usia di atas 40 tahun. Namun jangan salah, usia 17-30 tahun juga turut mendominasi pesta rakyat tersebut. Artinya, melihat jumlah pemilih yang berumur di bawah 40 tahun sebanyak 106,36 juta jiwa. Jumlah itu setara dengan 51,93% dari total pemilih dalam Pemilu 2024.

Berdasarkan generasinya, memang pemilih paling banyak berasal dari generasi milenial yang mencapai 68,82 juta jiwa. Disusul oleh pemilih dari kalangan generasi X yang jumlahnya sebanyak 57,49 juta pemilih. Untuk diketahui, Generasi milenial atau generasi Y merupakan generasi yang lahir sekitar tahun 1980 hingga tahun 1995 pada saat teknologi telah maju. Mereka tumbuh di dunia yang telah mahir menggunakan media sosial dan juga smartphone sehingga otomatis mereka sangat mahir dalam teknologi. Hal ini disebabkan karena para generasi milenial lahir di era internet booming. Jadi tidak dapat dipungkiri betapa besarnya pengaruh teknologi, komunikasi, dan informasi bagi generasi milenial.

Dari data di atas, artinya sebagai kelompok generasi dengan proporsi pemilih terbesar dalam pemilu, suara milenial amat penting dalam menentukan suksesi kepemimpinan nasional. Namun, sepanas apapun pemilu mendatang, siapapun pemenangnya, sikap kenegarawanan dalam artian sama-sama mengakui hasil pemilihan tanpa menempuh proses hukum dapat menjadi angin segar untuk mengakhiri polarisasi politik yang terjadi sejak 2014. Dengan demografi pemilih pemuda, maka tampaknya isu politik identitas seharusnya tidak perlu dimainkan lagi, sebab pada umumnya generasi milenial dan Z tidak akan mudah terprovokasi.

Gambaran Demokrasi Indonesia

Pemilu merupakan salah satu ciri penting bagi negara demokrasi. Bisa dikatakan, tidak ada negara demokrasi tanpa pemilu. Namun, di tengah gencarnya 'gaungan' demokrasi erat pula kaitannya dengan polarisasi sebagai ancaman bagi demokrasi. Untuk diketahui, polarisasi merupakan keterbelahan masyarakat dalam menyikapi isu-isu politik. Umumnya terjadi karena perubahan sosiokultural dalam masyarakat serta munculnya elite-elite politik baru yang memanfaatkan perubahan itu.

Sebetulnya, Indonesia tidaklah sendirian. Polarisasi juga terjadi di negara-negara di dunia. Tak hanya negara-negara berkembang, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris juga mengalaminya. Selain itu, India misalnya yang juga merupakan negara demokrasi terbesar di dunia, mengalami keterbelahan politik sejak tiga dekade terakhir. Turki juga menjalani hal sama sejak Recep Tayyip Erdogan menguasai negeri itu pada awal tahun 2000-an. Beberapa negara di Amerika Latin, seperti Venezuela, hingga Brasil, berjuang keras mengatasi ketegangan dan konflik akibat keterbelahan sikap politik masyarakatnya.

Negara-negara tersebut tentu punya latar belakang dan sebab khusus mengapa polarisasi terjadi. Di Indonesia sendiri, polarisasi sebenarnya bukanlah hal baru. Ia pernah ada pada zaman Soekarno, yang berujung pada konflik massa tahun 1965. Namun sejak reformasi tahun 1999 hingga 2014, politik di Tanah Air tampak stabil. Tidak ada pembelahan politik yang ekstrim seperti terjadi sejak 2014. Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berusaha merangkul semua pihak dan menekankan pentingnya stabilitas politik menjadi sebab utama mengapa polarisasi tak terlihat pada era itu.

Namun tak bisa dipungkiri bahwa di era berkembangnya teknologi bak beribu tantangan juga semakin nyata. Hadirnya platform media sosial sebagai sumber informasi terkait Pemilu tidak menutup kemungkinan munculnya kesimpangsiuran, hoax dan lain-lain. Polarisasi melalui media sosial dinilai akan menjadi tantangan terbesar Indonesia di era Pemilu.

Sebetulnya, Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Asia. Pemenuhan hak-hak sipil maupun ekonomi dan sosial budaya sekalipun masih memiliki tantangan, namun secara umum jauh lebih baik dibandingkan sebelum reformasi 1998. Demokrasi Indonesia relatif stabil ini dibuktikan dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang bisa dipertahankan pada kategori sedang (60 - 80) sepanjang 2009 - 2021. Sebelum tahun 2014, IDI berkisar di bawah angka 70. Namun, sejak 2014 sampai sekarang IDI berada di atas 70. Bahkan IDI pernah mencapai angka tertinggi di 74,92 pada tahun 2019.

Dinamika tingkat demokrasi di Indonesia juga tercermin dari ketiga aspek pembentuk IDI. Sejak 2009 hingga 2019, Aspek Kebebasan Sipil, Aspek Hak-hak Politik, dan Aspek Lembaga Demokrasi menunjukkan tren yang berbeda. Aspek Kebebasan Sipil tidak terlalu fluktuatif dibandingkan dua aspek lainnya. Aspek Kebebasan Sipil pernah berada pada kategori "baik" pada periode 2009-2011 dan 2014-2015, serta mengalami titik terendah pada tahun 2016 sebesar 76,45 poin.

Sementara, aspek Hak-hak Politik sempat berada pada kategori "buruk" pada periode 2009-2013, sebelum akhirnya mengalami peningkatan pada periode 2013-2015, dari 46,25 menjadi 70,63 poin. Setelah 2015-2018, aspek Hak-hak Politik menunjukkan tren menurun, walaupun masih dalam kategori "sedang". Pada 2019, aspek Hak-hak Politik mencapai titik tertinggi sebesar 70,71 poin. Aspek Lembaga Demokrasi selama periode 2009-2019 selalu berada pada kategori "sedang" dengan capaian terendah pada 2016 sebesar 62,05 dan tertinggi pada 2019 sebesar 78,73 poin.

Pada periode 2018-2019, jumlah provinsi yang memiliki angka IDI berkategori "baik" meningkat dari 5 provinsi menjadi 7 provinsi. Terdapat 1 provinsi yang masuk ke kategori "buruk", yaitu Papua Barat, sementara 26 provinsi lainnya berada pada kategori "sedang". DKI Jakarta berhasil mempertahankan posisi pada peringkat pertama dengan nilai IDI sebesar 88,29; diikuti oleh Kalimantan Utara dengan nilai IDI sebesar 83,45. Posisi ketiga adalah Kepulauan Riau dengan nilai IDI sebesar 81,64. Posisi keempat ditempati oleh Bali dengan capaian IDI sebesar 81,38.

Your Money Your Vote

Sebagai salah satu bagian dari pilar keempat demokrasi, yakni pers, CNBC Indonesia ikut dalam barisan anak bangsa yang menginginkan pemilu tahun 2024 berjalan dengan adil, jujur dan damai. Untuk itu, CNBC Indonesia Intelligence Unit - Indonesia cutting edge market-business-economic-politics insight & data driven policy-decision consultant menginisiasi pertemuan pelbagai pihak yang berpotensi akan bertanding pada Pilpres 2024-meskipun belum ada penetapan calon resmi oleh KPU-untuk berdialog bersama, menggagas pemilu yang damai.

Kami mengundang tokoh politik dari ketiga kontestan untuk berdialog dengan riang gembira membicarakan tema "PILPRES 2024: CEBONG-KAMPRET LAGI ATAU ADU GAGASAN?", di Talkshow Politik-Ekonomi Your Money Your Vote pada Rabu, 26 July 2023, pukul 19.30 - 21.00 WIB. Telah bersedia hadir Sudirman Said - Juru Bicara Tim 8 Koalisi Perubahan, Budiman Sudjatmiko - Politisi PDIP, Kawendra Lukistian - dari Partai Gerindra (tbc), Burhanuddin Muhtadi - Pengamat Politik, dan Muhammad Ma'ruf - Executive Director CNBC Indonesia Intelligence Unit.

Saksikan live di CNBC Indonesia TV (channel UHF 40) atau streaming di www.cnbcindonesia.com/tv.

CNBC Indonesia Intelligence Unit, special unit of CNBC Indonesia Research

Kritik dan saran: [email protected]

(mum/mum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation