CNBC Indonesia Research

Jumlah Gen Z Jomblo Melonjak, Bonus Demografi RI Terancam!

Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
21 June 2023 07:17
Wah! Gara-gara Jomblo, Ekonomi Loyo (CNBC Indonesia TV)
Foto: Wah! Gara-gara Jomblo, Ekonomi Loyo (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah pemuda perempuan dan laki-laki yang enggan menikah alias memilih status jomblo di Indonesia semakin banyak. Dari 65,82 juta jiwa penduduk Indonesia yang berkategori pemuda sebanyak 64,56% masih berstatus lajang, porsi ini naik tajam sebesar 10,39% dalam satu dekade terakhir.

Definisi pemuda dalam hal ini adalah mereka rentang usia 16-30 tahun pada 2022 atau lahir antara tahun 1992-2006. Mereka adalah generasi Z yang secara jumlah, persentasenya terhadap total penduduk Indonesia menurun sekitar 0,79% dalam satu dekade ini. Perempuan berperan besar pada fenomena jomblo ini, dimana persentase kenaikan yang belum menikah melonjak 10,15% dalam satu dekade terakhir, dibandingkan laki-laki 7,42%. Padahal, jumlah pemuda laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dengan rasio 104,74, yang berarti setiap 105 laki-laki terdapat 100 perempuan.

Ada perubahan signifikan terkait preferensi menikah dikalangan kaum hawa, pada 2011 jumlah yang menikah muda lebih banyak, tapi sekarang terbalik. Mereka yang menunda pernikahan hingga di atas usia 30 tahun meningkat rata-rata 1,03% setiap tahun. Sekarang lebih dari setengah perempuan usia 30 tahun ke bawah belum menikah. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan usia perempuan menikah ke depan akan makin mundur. Rata-rata usia perempuan menikah sekarang adalah 22 tahun atau lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Secara umum Badan Pusat Statistik menyebut tren peningkatan jomblo sejalan dengan perbaikan kualitas hidup yang merupakan hasil dari pembangunan di berbagai aspek, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, serta budaya. Seiring waktu, semakin banyak pemuda berpendidikan tinggi dan memiliki karir yang baik. Sementara, pada saat yang sama, gerakan kesetaraan gender terus menguat.

Pemuda Indonesia Masih Sengsara

Hanya 42 dari 100 pemuda di Indonesia yang memiliki rekening perbankan. ~ Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Dari semua faktor yang sering disebut-sebut menjadi pemicu pemuda menunda pernikahan jarang yang menyebutkan alasan ekonomi sebagai pemicunya. Padahal, berdasarkan penelusuran CNBC Indonesia Research faktor itu tampak berperan cukup besar. Dari data BPS misalnya, pemuda di Indonesia tampak mengalami kesulitan ekonomi. Dari 7,99 juta jumlah pengangguran tahun ini sebesar 46% merupakan anak muda usia 15-24 tahun. Data lain menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda atau usia 16-30 tahun mencapai 13,93%, hampir tiga kali lipat dari level nasional 5,86%.

Sementara itu, dari sektornya jumlah pemuda yang bekerja mayoritas ada di sektor formal 56,76%, sementara sisanya 43,24% informal. Dilihat dari komposisi status pekerjaan utama pemuda juga dapat dibagi menjadi wirausaha dan non wirausaha. Dari 100 pemuda bekerja, 19 pemuda diantaranya berstatus wirausaha, dimana 69,30% berusaha sendiri. Artinya, bisnis mereka tergolong skala kecil yang masih mengandalkan tenaga sendiri atau pekerja tidak dibayar.

Bahkan mayoritas pemuda yang sudah bekerja di Indonesia rentan terjerat kemiskinan. Hal ini tampak pada dua indikator utama, yakni Precarious Employment Rate (PER) atau pengukuran stabilitas dan jaminan pekerjaan, dan dan Low Pay Rate (LPR) atau indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Precarious employment adalah pekerjaan tidak tetap, mencakup pekerja bebas (baik pekerja bebas pertanian maupun nonpertanian), buruh dengan kontrak kerja jangka waktu tertentu, dan buruh dengan kontrak kerja lisan/tidak memiliki perjanjian/kontrak.

Umumnya, precarious employment bekerja dalam jangka waktu pendek dan tidak terlindungi oleh jaminan sosial dan persentasenya mayoritas, mencapai 54,31% dari total pemuda yang bekerja. Sementara itu, Low Pay Rate (LPR) yang bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak buruh/karyawan/pegawai yang bekerja dengan upah rendah, yakni di bawah 2/3 median upah. Situasinya, pada 2022 menunjukkan sebanyak 33,05% pemuda bekerja dibayar dengan upah kerja yang rendah.

Indikator lain yang juga bisa menunjukkan tingkat kesejahteraan pemuda pekerja adalah indikator pekerjaan dengan jam kerja berlebih (Employment in Excessive Working Time/EEWT) yang memberikan informasi mengenai perbandingan penduduk yang bekerja dengan jam kerja lebih dari 48 jam seminggu (excessive hours). Datanya, sebanyak 24,78% pemuda bekerja dengan jam kerja berlebih/excessive hours (jam kerja lebih dari 48 jam seminggu). Sementara itu terdapat 30,61% pemuda dengan jam kerja kurang dari 35 jam seminggu.

Data EEWT paling tidak berdampak dua hal pada keputusan pemuda untuk menikah. Jam kerja sendiri memiliki dua pendekatan, berdasarkan Konvensi International Labour Organization (ILO) yakni maksimum 48 jam per minggu dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur ketentuan bahwa 40 jam sebagai jam kerja maksimum per minggu. Data ini menunjukkan ada 46,78% pemuda yang bekerja kurang dari waktu standar, sehingga dapat dikatakan memiliki penghasilan berkurang, dimana hal ini dapat mempengaruhi keinginan menikah.

Pemuda Makin Susah Punya Rumah

Meningkatnya kebutuhan rumah tidak sebanding dengan persediaan yang terbatas jumlahnya, sehingga harga rumah semakin mahal. Persoalan terkait harga yang terus meningkat, keterbatasan lahan, dan keterbatasan pilihan membuat pemuda semakin kesulitan untuk memiliki tempat tinggal sendiri (Wijaya dan Anastasia, 2021).

Mereka lebih banyak tinggal di perkotaan daripada di pedesaan, 57,40% berbanding 42,60% dan persebarannya terkonsentrasi di Pulau Jawa sebesar 54,79%. Tujuannya selain bekerja juga untuk pendidikan-yang kemudian dilanjutkan bekerja setelah lulus. Banyak di antara mereka yang akhirnya tinggal di perkotaan dengan mengontrak/menyewa rumah sebab tanah dan rumah di perkotaan yang relatif lebih mahal menyulitkan dalam memiliki rumah/bangunan tempat tinggal sendiri (Moerdijat, 2021)

Datanya tahun lalu, rumah mahal membuat mayoritas pemuda masih tinggal bersama orang tuanya hingga usia 30. Sekitar tiga perempat pemuda tinggal bersama rumah keluarga (74,70%). Angka tersebut meningkat sekitar 2,08% dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 72,62%. Sedangkan jumlah yang yang tinggal sendiri merosot tajam, hanya sebesar 0,59%, turun menjadi sepertiganya dari angka tahun 2021 yang mencapai 1,58%.

Sementara ada 24,78% yang bekerja melebihi waktu normal sehingga tidak memiliki waktu untuk kehidupan pribadi termasuk misalnya urusan romantisme. Tren ini meningkat, dimana banyak perempuan yang memilih hidup sendiri karena sudah terlalu sibuk dengan karir atau pekerjaan. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Sairi Hasbullah pernah mengatakan ada peningkatan tren unmarried woman.Mereka lebih memilih untuk tidak menikah karena makin sibuk dengan pekerjaannya, tidak sempat bersosialisasi lagi dan lebih memilih karier sehingga terbengkalai urusan pribadinya.

Soal kesulitan pemuda di Indonesia memiliki rumah juga dikemukakan Menkeu Sri Mulyani dalam webinar Road to G20-Securitization Summit tahun lalu. Backlog perumahan di Indonesia sebesar 12,75 juta, artinya ada 12,75 juta rumah tangga yang saat ini masih tinggal di rumah yang bukan miliknya: bisa ngontrak, numpang di rumah orang tua, mertua, saudara, atau tinggal di rumah rusak tak layak huni. Data backlog ini mengalami kenaikan dibanding 2015 sebesar 11,4 juta rumah tangga.

Menkeu mengatakan hal ini terjadi akibat semakin melonjaknya harga tanah dan bahan bangunan yang tidak bisa diikuti daya beli generasi muda. "Purchasing powermereka dibandingkan harga rumahnya lebih tinggi, sehingga mereka akhirnya end up tinggal di rumah mertua atau sewa. Itu pun kalau mertuanya punya rumah juga. Kalau nggak punya rumah, itu juga jadi masalah lebih lagi, menggulung per generasi," kata Menkeu Sri Mulyani.

Jumlah Jomblo Akut Meningkat

Tren hidup sendiri, atau menjomblo selamanya sedang marak terjadi di belahan dunia. Di Amerika Serikat, analisis data sensus Pew Research Center menemukan bahwa pada tahun 2019, sekitar empat dari sepuluh orang dewasa berusia 25 hingga 54 tahun (38%) di AS menjomblo. Mereka ini tidak menikah atau tinggal bersama pasangan. Persentasenya naik tajam dari 29% pada tahun 1990. Disana, jomblo akut laki-laki lebih banyak daripada perempuan dibandingkan 30 tahun yang lalu dan umumnya terjadi pada mereka yang masih dalam usia kerja.

Perlahan tapi pasti, tren melajang seumur hidup meningkat di Indonesia. Sayangnya, belum ada data terbaru dari BPS, yang ada selama empat dekade terakhir, dimana ada peningkatan secara konsisten. Jumlah perempuan Indonesia tetap singlehingga menjelang 40 naik tiga kali lipat dalam periode 1970 hingga 2010. Pada 1970, hanya 1.4%, pada 2000, naik menjadi 3,5% dan naik tipis ke 3,8% pada 2010. Hal yang sama terjadi pada lelaki yang juga mengalami kenaikan, dari 10,02% pada tahun 2000 menjadi 11,58% pada tahun 2010.

Secara total, jumlah penduduk Indonesia berusia 35-39 tahun yang menjomblo naik tahun 2010 menjadi 9,58%, meningkat dari 8,41% pada tahun 2000. Tren ini terjadi di perkotaan maupun pedesaan. Tren ini segendang sepenarian dengan angka pernikahan setiap tahun yang rata-rata turun 11% atau sebanyak 25% dalam satu dekade ini.

Alasan tetap menjomblo menarik untuk dikulik lebih lanjut. Sebab, seperti kajian Karel Karsten Himawan (2019) bahwa alasan tidak menikah bisa dijelaskan dengan mudah untuk kasus negara seperti China, yang diakibatkan ketidaksimbangan jumlah laki-laki dan perempuan. Faktanya, di Indonesia jumlah pemuda laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dengan rasio 104,74, yang berarti setiap 105 laki-laki terdapat 100 perempuan.

Menurut dia, hal ini karena adanya pergeseran sikap dan pandangan terhadap pernikahan. Misalnya budaya patriarki yang kurang bisa diterima oleh perempuan modern. Bahkan, survei BPS pada 2015 menunjukkan orang yang tidak menikah mengaku lebih bahagia daripada orang yang berumah tangga. Ini menunjukkan bahwa pilihan menjomblo lebih bersifat personal, di tengah tekanan sosial yang terefleksi pada pertanyaan "Kapan nikah?" untuk single yang perlahan mulai memudar.

Tren Jomblo dan Bencana Demografi

Kendati angka fertility rateatau tingkat kesuburan ibu-ibu di Indonesia ada pada level yang ideal, rata-rata 2,25% dalam satu dekade terakhir, angkanya cenderung menurun ke level 2,15% pada 2022. Rata-rata angka birth rateturun 2,6% setiap tahun dengan angka terendah pada 15,32% pada tahun lalu. Fertility rateadalah rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan, sementarabirth rateadalah jumlah kelahiran bayi per 1000 penduduk.

Tren penurunan jumlah kelahiran bayi ini erat kaitannya tentu sangat erat kaitannya dengan tren semakin banyaknya Gen Z menunda pernikahan, maupun mereka yang berusia hingga 39 tahun. Dengan fertility rate masih di level 2,15% Indonesia masih aman, namun tren penurunan telah terjadi dalam satu dekade terakhir. Bila masalah penundaan menikah yang semakin lama, maka akan muncul bencana demografi yang sudah mulai tampak di banyak negara.

Pada Januari lalu China melaporkan untuk pertama kalinya populasi turun setelah 60 tahun. Tidak hanya China, ancaman penurunan populasi terjadi di mana-mana khususnya di Eropa dan Asia. Banyak negara mengalami penurunan fertility ratedi bawah angka ideal untuk menjaga populasi sebesar 2%. Tingkat fertility rate antara 1,2-1,6% dilaporkan terjadi di negara-negara Eropa selatan dan utara. Jepang memiliki tingkat fertility rate 1,3%. Sementara China diprediksi akan kehilangan banyak penduduk, pada tahun 2100, merosot dari 1,4 miliar menjadi 771 juta penduduk. Adapun Rusia, Jerman, Korea Selatan dan Spanyol diprediksi akan sama sama mengalami penurunan populasi mulai tahun 2030.

Saat ini Indonesia masih mengalami masa masa bonus demografi, namun Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa 13 tahun ke depan atau sampai maksimal 2036 adalah waktu yang krusial bagi Indonesia. Pasalnya, rentang waktu ini menjadi kesempatan satu-satunya bagi Indonesia untuk keluar dari middle income trap, atau jebakan negara kelas menengah menuju negara maju. Ini karena rentang waktu tersebut Indonesia akan mendapatkan bonus demografi.

"Kesempatan kita hanya ada pada 13 tahun, karena bonus demografi kita muncul di tahan 30an. Dalam sejarah negara-negara, kesempatannya hanya sekali," paparnya dalam Puncak Musra Relawan, Minggu(14/5/2023). Oleh sebab itu, dia berharap masyarakat Indonesia memilih pemimpin yang tepat untuk 13 tahun ke depan. Jika salah pilih, maka hilang kesempatan Indonesia menjadi negara maju. "Ini tidak bisa diulang," ujar Jokowi.

Bonus demografi Indonesia saat ini dapat digambarkan dengan rasio ketergantungan atau dependency ratio, yaitu menunjukkan beban penduduk produktif yang menanggung penduduk tidak produktif, atau jumlah usia tidak produktif dibagi produktif. Penduduk usia tidak produktif adalah yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun, sementara usia produktif ada diantara usia tersebut. Saat ini, jumlah penduduk tidak produktif Indonesia mencapai 79,6 juta, sementara yang produktif sebesar 190,9 juta atau memiliki rasio ketergantungan 41,71%. Artinya setiap 100 usia produktif orang Indonesia saat ini menanggung sekitar 42 orang tidak produktif.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mum/mum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation