Expert View

Menakar Dampak Tiga Isu Krisis Global Pada Perekonomian RI

CNBC Indonesia Research, CNBC Indonesia
03 August 2023 12:02
asmiati malik
Foto: CNBC Indonesia Research

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sekarang menghadapi tiga macam ancaman dari sisi pangan, energi dan keuangan setelah berhasil menangani pandemi Covid-19. Ancaman ini tidak terlepas dari ketidakpastian global yang disebabkan oleh dua faktor utama termasuk perubahan cuaca (climate change)dan gejolak geopolitik. Kedua hal tersebut sangat berpengaruh terhadap arus lalu lintas barang dan jasa (supply chain) yang sekaligus berdampak pada kenaikan harga pangan, energi dan produk/jasa lainnya.

Indeks ketidakpastian global pada kuartal ke II 2023 berada pada angka 30,70. Ini menunjukkan bahwa dunia masih harus berhadapan dengan tantangan besar yang mewajibkan setiap negara bersiap-siaga untuk menghadapi segala macam potensi volatilitas dari ketidakpastian tersebut.

Potensi resiko yang dihadapi kemungkinan tidak sebesar pada tahun sebelumnya sebagaimana data Indeks ketidakpastian ini sudah jauh menurun jika dibandingkan dengan kuarter I 2020 yang mencapai 55,68.

Data yang sama juga ditunjukkan oleh IMF (2023)dimana ketidakpastian global mengalami penurunan dari tahun 2021 ke 2022. Selain itu ketidakpastian global pada tahun 2023 akan sangat dipengaruhi oleh Perang di Ukraina serta kompleksitas dinamika perdagangan internasional (liat pada Graph2).

World Uncertainty Drivers (IMF, 2023)Foto: CNBC Indonesia Research
World Uncertainty Drivers (IMF, 2023)

Sementara itu data dari The Economist Intelligencemenunjukkan bahwa pada tahun 2023, dunia akan menghadapi permasalahan ekonomi yang meliputi pertumbuhan ekonomi rendah, inflasi tinggi dan pengetatan moneter termasuk tingkat suku bunga tinggi. Kondisi ini tentu akan berpengaruh terhadap akselerasi pemulihan ekonomi dunia.

Indonesia telah berhasil melewati fase krisis dari Covid-19 yang jauh lebih parah jika dibandingkan dengan krisis moneter 1997/1998. Krisis Covid-19 tidak hanya menghancurkan dari sisi supplytapi juga menekan demandside. Dalam artian, produk yang sudah diproduksi bisa rusak dan tidak mampu terjual. Ini sudah barang tentu memberikan kerugian signifikan bagi sektor industri.

Meski hantaman krisis sangat besar, pemerintah Indonesia berhasil menjaga daya tahan ekonomi dengan menopang daya beli masyarakat rentan dan mendukung pembiayaan dan kelangsungan UMKM.

Kesuksesan tersebut tidak boleh membuat kita lengah untuk selalu berjaga-jaga karena perang Rusia dan Ukraina masih berlangsung.

Ketegangan kawasan ini akan terus berpengaruh terhadap ketidakstabilan harga komoditas pangan dan energi. Terlebih lagi Rusia pada 17 Juli 2023 menarik diri dari kesepakatan Black Sea Grain Initiative. Kesepakatan ini merupakan jalan tengah yang difasilitasi oleh PBB untuk memberikan celah ekspor biji-bijian (grain) dari Ukraina melewati laut hitam.

Kesepakatan ini telah berhasil menjaminlebih dari 32 metrik ton komoditas pangan yang keluar dari pelabuhan Ukraina. Program ini juga telah berhasil mengirimkan 725 ribu ton pangan untuk tujuan kemanusiaan termasuk menghilangkan bencana kelaparan di Afghanistan, Afrika dan Yaman.

Gagalnya kesepakatan ini berpotensi besar untuk menghambat pasokan lebih dari 10 juta ton makanan keseluruh dunia. Data dari PBB (2023, liat lebih lanjut pada graph 3) menunjukkan sebagian besar jenis barang yang diekspor adalah jagung (51%) dan gandum (27%). Menurut Komisi Eropa (European Commission) Ukraine berkontribusi terhadap 10% pasar gandum, 15% jagung dan 50% dari perdagangan minyak sayur dari bahan baku bunga matahari (sunflower oil) dunia. Ini berarti setengah pasokan dunia terhadap sunflower oil akan terganggu begitu juga sebagian besar pasokan gandum dan jagung dunia juga akan mengalami gangguan. Rentetan dampak ini akan tercermin dari kenaikan harga pangan di negara maju yang memicu inflasi. Kenaikan inflasi tersebut menekan pemerintah untuk menaikkan suku bunga yang sudah hampir pasti secara teoritis menekan laju pertumbuhan ekonomi secara global.

Dampak bagi Indonesia

Dari pembahasan diatas sudah hampir bisa dipastikan Indonesia akan terdampak dari kenaikan harga pangan global terutama dari komoditas gandum dan jagung. Harga gandum sejak 17 Juli 2023 tercatat sebesarUS$650 per bushel, naik US$63 atau 10% jika dibandingkan dengan harga hari ini (24 Juli 2023).

Sementara untuk jagung juga mengalami kenaikan dari US$497 per bushel pada 17 Juli 2023 menjadi US$534 per bushel (untuk harga 24 Juli 2023) atau mengalami kenaikan sebesar 7.5%. Ini menunjukkan bahwa kedua komoditas ini sudah beranjak naik direntang 10% dalam waktu seminggu terakhir. Meskipun impor gandum Indonesia52% berasal dari Australia, namun pergerakan harga secara global berpotensi besar menekan biaya impor. Kondisi yang sama juga berlaku untuk komoditas jagung, dimana imporpaling besar berasal dari Argentina, Brazil, Amerika dan Thailand.

Selain itu, harga sunflower oil juga sudah naik sebesar 5,54%dalam rentang waktu yang sama. Meski kenaikan sunflower oil akan berpotensi untuk mendongkrak harga CPO yang sudah mengalami kenaikan sebesar 2.88% sejak tanggal 17 Juli 2023 sampai pada hari ini. Ini tentu cukup menguntungkan bagi Indonesia karena CPO merupakan salah satu produk unggulan dengan total ekspor kumulatif dari Januari ke Mei mencapai9,13 juta ton. Namun demikian, kenaikan ini perlu diwaspadai mengingat ini juga bisa menggerek kenaikan dan kelangkaan minyak goreng dalam negeri. Permasalahan dari kenaikan harga dari komoditas gandum dan jagung kemungkinan akan diperparah dengan ancaman El -Nino di tahun ini.

Dari sisi energi terutama dari pergerakan harga minyak dunia yang sempat mencapai US$120 per barrel ketika akibat dari sentimen negatif perang Rusia dan Ukraina, namun harga ini sudah terkoreksi ke US$76.47 per barrel pada 24 Juli 2023. Harga ini masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga minyak mentah sebelum pandemi yang berada pada rentang harga US$43-60 per barrel. Harga ini juga berpotensi bouncebackdengan skenario terburuk di rentang harga US$120 - 140per barrel.

Mencermati kondisi dari pergerakan harga pangan dan energi diatas sudah hampir dipastikan mayoritas negara di dunia akan melakukan pengetatan moneter dan proteksionisme ekonomi. Boston Consulting meramalkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi akan mengalami perlambatan selama sembilan tahun mendatang. Pertumbuhan perdagangan diprediksi tumbuh2,3% sampai 2031. Dinamika perdagangan global akan sangat dipengaruhi oleh dinamika perekonomian Rusia,kompleksitas perdagangan Cina, Amerika dan Eropa serta pertumbuhan perdagangan di ASEAN.

Ketidakpastian global tersebut perlu menjadi perhatian utama terutama di tahun politik karena kenaikan harga pangan akan sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik-ekonomi dalam negeri. Strategi penggunaan pangan lokal perlu ditingkatkan begitu juga dengan akselerasi EBT dan transisi ke kendaran listrik perlu dipercepat untuk menghindari implikasi dari kenaikan harga pangan dan energi global yang terus melonjak.

(mum/mum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation