CNBC Indonesia Research

Ini Cara Politikus Gandakan dan Cuci Uang di Pasar Keuangan

Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
15 May 2023 06:25
Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia -Sejauh ini performa bursa saham Indonesia mengecewakan. Sampai dengan pekan lalu, imbal hasil Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) minus 2% dari awal tahun. Pergerakan IHSG seperti yoyo, tak pasti mau kemana. Dari grafik akan terbaca adanya tiga kali tren bearishyang seolah membebani laju indeks saham untuk terbang sejak awal tahun.

Di duga, ada dana jumbo yang memang tengah berusaha keluar dari pasar. "Bulan-bulan ini memang mereka lagi mau exit, dananya mau dipake," ujar Bejo, nama samaran seorang fund manager di sebuah private equity. Mereka yang dimaksud Bejo adalah para politisi, exitadalah menjual saham, sementara diksi dipake(digunakan) ditujukan untuk siap-siap membiayai kebutuhan ongkos politik Pemilihan Umum 2024.

Aksi jual yang mengakibatkan tiga penurunan tajam IHSG itu terjadi pada Januari sebesar lebih dari 4% dalam sepekan perdagangan, lebih dari 5% dari tengah Februari hingga pertengahan Maret dan terakhir sejak 27 April hingga pekan lalu sebanyak 3,4%. Sejumlah sumber primer dari riset lapangan CNBC Indonesia Research menyebut ada faktor 'duit panas' politisi yang turut menjadi pemberat dibalik keluarnya Rp550 triliun uang dari pasar saham pada tiga periode bearish itu. Ini relevan dengan besaran jumlah ongkos politik dalam pemilu. "Biasanya mereka sudah masuk dua atau satu setengah tahun menjelang Pemilu," ungkap dia.

Goreng Saham IPO

Untuk membiayai ongkos politik yang sedemikian besar, banyak diantara politisi menggunakan instrumen investasi saham untuk melipatgandakan modal. "Ada yang perorangan, tapi juga ada yang konsorsium," kata Bedul, nama samaran untuk seorang yang bekerja di sebuah perusahaan penasihat investasi dan penjamin emisi. Penjamin emisi adalah perusahaan yang membantu sebuah perusahaan untuk menerbitkan surat utang dan menjual saham perdana di bursa (IPO).

"Konsorsium itu masuk di IPO, bisa sebagai standby buyer(pembeli siaga) atau beli saham saja nanti (di pasar). Nanti, sahamnya di goreng, di gocek-gocek dikit kalau dah naik harganya di jual," ungkap Bedul yang mengaku pernah mengerjakan proyek seperti itu dari konsorsium politisi dengan bayaran tunai dalam bentuk dolar AS. Durasi satu skema cari untung instan via goreng saham itu kata dia, umumnya hanya enam bulan. "Setelah itu exit, cari yang lain."

Goreng saham adalah istilah slangumum di pasar modal untuk praktik rekayasa atau manipulasi harga saham. Caranya dengan mekanisme cornering,yaitu konsorsium dengan modal besar memborong mayoritas saham sebuah emiten (baik IPO atau di pasar sekunder, biasanya hingga menguasai 70% saham beredar) untuk kemudian memainkan peran sebagai beli dan jual sendiri agar harga naik. Pekerjaan ini bisa melibatkan beberapa pialang saham atau perseorangan. Seorang pialang saham yang mengetahui praktik ini menyebut, keuntungan dari goreng menggoreng saham ini umumnya mencapai 100%. "Kalau modalnya Rp50 miliar, nanti bisa balik Rp100 miliar," ujar dia.

Salah satu pialang saham di sebuah sekuritas asing, sebut saja namanya Fulan, mengungkapkan skenario menggoreng saham itu bisa melibatkan akun rekening saham di lebih dari 30 sekuritas (perusahaan tempat jual dan beli saham) yang berbeda tapi terhubung dan dimiliki oleh orang atau pihak yang sama. Hal ini agar transaksi jual-beli dengan posisi beli lebih banyak sehingga harga naik terkesan wajar dan tidak terdeteksi oleh regulator seperti Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan . "Ada yang berperan sebagai pembeli dan ada yang jadi penjual."

"Transaksi jual dan beli itu menggunakan nominee, jadi tidak ketahuan," kata Fulan. Nomineeadalah rekening atas nama orang lain yang dibuat dengan perjanjian nomineedan ini legal. Rekening nominee, kata dia, juga kerap dipakai para politisi untuk menghapus jejak pencucian uangnya sejak awal di pasar modal. "Agar nggakmencurigakan, profil nominee(pemilik rekening) sengaja dibuat seperti orang kaya beneran. Suka flexing, pokoknya kelihatan orang tajir lah. Jadi nggakmencurigakan."

Tak semua dana yang diinvestasikan politisi di pasar modal adalah uang haram, apalagi saat ini banyak politisi yang awalnya merupakan pengusaha. Namun, cara yang mereka pakai dengan menggoreng saham adalah tindakan ilegal berdasarkan peraturan pasar modal. Hal ini akan menjadi lebih keji bila asal uang yang dipakai modal untuk mendapat untung dari kesengsaraan investor-umumnya investor individu atau ritel itu-menggunakan uang haram seperti hasil korupsi.

Diduga, lebih banyak uang haram yang dijadikan modal untuk goreng-goreng saham daripada uang dingin. Ini segendang sepenarian dengan sejumlah data, misalnya fakta dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menyebut bila nilai korupsi di sektor pertambangan itu bila dibagikan merata seluruh rakyat Indonesia, per kepala akan kebagian Rp20 juta tanpa bekerja.

Sumber korupsi kedua yang besar ada di sektor infrastruktur yang total anggarannya sejak 2015 hingga tahun ini mencapai Rp.4.163 triliun. Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyimpulkan dari 100% nilai sebuah proyek infrastruktur hanya 50% saja yang benar-benar digunakan untuk membangun. Rinciannya maksimal 15% keuntungan kontraktor, selebihnya untuk komitmen fee proyek dan mark up laporan yang mengalir pada pejabat pembuat komitmen maupun legislatif yang mengesahkan.

Data itu diperkuat oleh temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan transaksi mencurigakan selama 2022 sebanyak 1.215 laporan dengan nilai Rp 183,8 triliun. Sebagian dana diketahui adalah hasil pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi dan narkotika, atau masuk kategori illegal economy.Itu adalah bagian dari underground economyyang menurut studi literatur nilainya mencapai 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Kunci Mencuci Itu di Awal

"Pernah Si xxxx (menyebut nama seorang politisi tenar dari sebuah partai besar) bawa duit. Isinya US$2,5 juta incash," kata, sebut saja Anu, seorang bankir muda yang pernah beberapa tahun berkarir di bank asing di Jakarta. Di lain kesempatan Anu juga mengaku pernah mengetahui politisi yang menyetor duit tunai senilai US$20 juta ke bank untuk dicuci.

"Intinya diawal bos, yang penting masuk rekening bank, kalau sudah masuk tinggal di putar putar saja, mau ke forex, saham atau obligasi. Setelah masuk rekening aman, gakbakal ketahuan, bersih," ujar dia yang menyebut masih banyak bank khususnya medioker yang memang mau menerima setoran uang jumbo dalam bentuk tunai. "Atau bisa juga kalau mau lewat Singapura, dari sana transfer ke sini. Aman juga. Atau bisa juga pakemoney changer, ada kokyang mau."

Anu mengungkapkan, untuk motif cuci uang, sejumlah politisi biasanya tidak mempersoalkan apakah hasil investasi yang dikelola untung atau tidak. Bahkan, banyak yang malah meminta hasil rugi untuk menghindari kecurigaan aparat. Hal yang sama dikemukakan Bejo yang pernah mengetahui sebuah "proyek" cuci-cuci senilai setengah triliun rupiah. "Ya kalau yang gila minta (untung), kalau yang waras ya nggak," ujar dia sambil tertawa.

Baik Anu maupun Bejo sama sama percaya nilai cuci uang dari para politisi di pasar keuangan itu jumbo. Anu menyebut nilainya bisa mencapai US$500 juta (sekitar Rp7,5 triliun). "Bisalah satu proyek kalau untuk modalinbuat nyalon capres," taksir Bejo. Pada umumnya, pelaku pencucian uang akan melakukan tiga tahap; penempatan, layering atau beberapa tahapan transaksi keuangan melalui serangkaian transaksi yang kompleks, kemudian penyatuan kembali (diambil)

Sumber: OJKFoto: Muhammad Ma'ruf
Skema pencucian uang Sumber: OJK

Tren Baru Cuci Uang; Lebih Aman

Belakangan Bejo mengaku tren pencucian uang mulai bergeser dari instrumen tradisional seperti saham dan forex ke pasar kripto. "Lebih aman, kan pakai e-wallet di luar negeri pula pasarnya. Sangat aman," ujar dia. Salah satu yang populer adalah bitcoin, yakni uang elektronik yang bersifat digital. Penggunaannya tanpa perlu otorisasi bank sentral di setiap negara dan dapat menjadi alat transaksi lintas negara, serta dapat ditukar dan ditransfer ke dalam mata uang resmi lokal.

Hal ini sudah sejak lama dicium oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dalam sebuah kajian yang dirilis Juli 2019, PPATK menyatakan mata uang kripto khususnya Bitcoin telah menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, telah membuatnya lebih mudah untuk melakukan transaksi secara aman melalui internet. Namun, disisi lain dapat dieksploitasi untuk memfasilitasi kejahatan dunia maya dan membantu para pelaku kejahatan lebih aman mencuci hasil kejahatannya.

"Bitcoin adalah contoh mata uang kripto yang telah dieksploitasi karena anonimitas, keamanan, irreversibility, dan desentralisasi. Pada akhirnya, Bitcoin dapat berisiko dalam membentuk lingkaran dimana pelaku dan entitas kejahatan memiliki aliran dana yang konstan," bunyi rilis itu.

Tidak hanya politisi, pejabat korup juga mulai suka menggunakan mata uang kripto sebagai instrumen baru untuk mencuci uang. Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan juga tengah mengusut kepemilikan perusahaan cangkang dan uang Bitcoin yang diduga milik mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, tersangka kasus gratifikasi dan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Proses cuci uang menggunakan mata uang kripto sama dengan instrumen lain seperti forex dan saham. Paling pertama, uang haram itu harus masuk sistem perbankan terlebih dahulu, kemudian diolah sedemikian rupa dengan sejumlah metode yang jauh lebih variatif dibandingkan instrumen tradisional. Ada delapan metode menurut financialcrimeacademy.org yang bisa digunakan untuk mencuci.

Data chainalysis mengungkapkan jumlah uang yang dicuci menggunakan kripto secara global pada 2022 mencapai US$23,8 miliar atau setara Rp357 triliun, melonjak 68%.

Ongkos Jumbo Politik

Survei KPK mengungkapkan, ongkos politik menjadi calon bupati /walikota mencapai Rp 20-30 miliar per pasangan, sementara untuk bisa mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakilnya butuh duit hingga Rp 100 miliar. Dalam sebuah kesempatan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pada Desember 2021 pernah menyebutkan hasil riset bila biaya untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden di Indonesia mencapai Rp 8 triliun.

Secara akumulatif, jumlah ongkos politik mencakup biaya kampanye hingga membayar saksi itu cukup fantastis. Sebagai gambaran paling tidak minimal ada dua pasangan capres yang akan bertanding dalam Pilpres 2024, ada 38 kursi gubernur dan 514 posisi bupati/walikota yang umumnya diperebutkan oleh lebih dari dua calon.

Biaya logistik untuk menjadi anggota legislatif tak kalah fantastis. Terungkap dari hasil penelitian disertasi doktor politisi PDI Perjuangan Pramono Anung yang kini menjabat sebagai Sekretaris Kabinet. Pramono mengelompokkan empat golongan berdasarkan besarnya biaya kampanye yang dikeluarkan seorang caleg. Untuk satu kursi di DPR RI atau caleg dari public figure di kisaran Rp 300-800 juta, aktivis di kisaran Rp 1 miliar, pensiunan TNI/Polri Rp 1-1,2 miliar, dan pengusaha Rp 1,5-6 miliar.

Biaya logistik berbanding terbalik dengan tingkat popularitas caleg, misalnya public figure seperti selebritis modalnya mini karena namanya sudah populer. Namun, data riset ini menggunakan sampel Pemilu 2009 yang bila dirata-rata mencapai Rp2 miliar per kursi, sehingga dipastikan bakal naik signifikan pada Pemilu 2024 karena setiap tahun biaya logistik pemilu naik karena inflasi dan semakin banyaknya jumlah calon yang ikut bersaing.

Sementara itu, data lawas hasil riset Prajna Research Indonesia juga mengungkapkan bila biaya untuk branding politik memang tidak sedikit. Untuk bersaing memperebutkan satu kursi DPRD Provinsi antara Rp 500 juta-Rp 1 miliar, dan Rp 250 juta-Rp 300 juta untuk satu kursi DPRD kabupaten/kota. Itu semua memperebutkan 580 kursi di DPR pusat, 2.372 kursi DPRD provinsi dan 17.510 kursi DPRD kabupaten/kota yang setiap kursinya bisa diperebutkan beberapa calon.

Dengan menggunakan data sekunder dan sejumlah asumsi konservatif jumlah kandidat dan biaya logistik, hitungan CNBC Indonesia Research menemukan total biaya yang akan dirogoh semua kandidat untuk memperebutkan baik kursi eksekutif dan legislatif, baik pusat hingga kabupaten dan kota untuk Pemilu 2024 minimal Rp 120 triliun rupiah. Nilai jumbo ini sesuai dengan konsensus sejumlah ekonom yang sepakat jumlah uang beredar di masyarakat pada pemilu bisa bertambah lebih dari Rp100 triliun.

Perkawinan Haram Politisi dan Cukong, Anaknya Bernama Oligarki

Menarik, modal jumbo politik di setiap kontestasi pemilu mayoritas justru tidak berasal dari para kontestan. Mereka hanyalah boneka atau dalam terma politik ekonomi hasil 'perkawinan haram' antara politisi dengan pengusaha sebagai pemodal yang kemudian melahirkan 'anak' (sistem kekuasaan) oligarki. Oligarki adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang.

Asumsi ini didukung oleh fakta, rata-rata posisi puncak eksekutif di Indonesia tidak diisi orang kaya. Ini mudah sekali dibuktikan dengan membandingkan nilai kekayaan mereka dengan ongkos politik yang dibutuhkan untuk merebut posisi tersebut. Asumsi ini diperkuat oleh data yang diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada sebuah seminar di Jakarta medio Oktober 2020 bila ongkos yang harus dikeluarkan setiap pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat besar.

Akibatnya, para calon berusaha mengembalikan biaya itu dengan menghalalkan segala cara hingga menjadi terjerat aparat penegak hukum. "Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Karena biaya pilkada itu mahal. Ada percukongan. Itu 82% (ongkos politik) menurut data KPK, pemilihan kepala daerah itu disponsori orang lain. Sponsor itu yacukong kan?," ujar Mahfud.

Praktik oligarki lebih telanjang ada di parlemen. Penelitian Marepus Corner bertema 'Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia' menemukan lima sampai enam orang dari 10 anggota DPR RI periode 2019-2024 adalah pebisnis. Sebanyak 26% pebisnis merupakan pemilik perusahaan, dan 25% eksekutif perusahaan dan 36% aktif dalam bisnis.

Persentase pebisnis terbanyak berasal dari partai penguasa pengusung Presiden Joko Widodo, PDI Perjuangan yaitu 23%, diikuti rivalnya di dua pilpres terakhir, partai yang diketuai Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Partai Gerindra sebesar 16% dan partai dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Partai Golkar sebesar 16%.

Secara sektoral, para pebisnis tersebut berkecimpung paling banyak di sektor energi dan migas (15%) serta teknologi, industri, manufaktur dan ritel (15%). Sisanya, tersebar di sektor developer dan kontraktor (12%), sektor perkebunan, perikanan dan peternakan (11%) hingga keuangan dan perbankan (6%).

Dari sini tampak mudah menjelaskan mengapa pemerintah era Jokowi sekarang cenderung fokus pada isu pertambangan, yakni hilirisasi yang meskipun secara nilai ekonomi jumbo tapi hanya mampu menyerap satu persen dari 138 juta lapangan pekerjaan. Dampak ekonomi ini jauh lebih kecil bila dibandingkan sektor yang berdampak pada rakyat banyak, seperti pertanian yang menyerap 30% lapangan kerja, manufaktur yang mempekerjakan 14% dari total angkatan kerja. Sebagai catatan, baik pertanian dan manufaktur kondisinya makin memprihatinkan sejak 2014. Bagian dan pertumbuhannya terus menurun.

Perkawinan silang antara politikus dan pengusaha sebenarnya hal yang lumrah dan tidak terhindarkan mengingat tingginya biaya logistik untuk memenangkan Pemilu. Apalagi, semakin besar jumlah modal yang digelontorkan maka semakin tinggi pula kesempatan menang. Hal ini juga terjadi di sistem demokrasi yang sudah matang, sudah menganut prinsip meritokrasi (terpilih berdasarkan kompetensi), di Amerika Serikat, dimana kandidat Capres dan para senator terpilih juga mendapat sokongan dari pebisnis. Bedanya, di AS hal itu transparan dan legal, disebut sebagai donatur atau uang lobi-lobi politik yang bahkan menciptakan profesi baru yaitu lobbyistsatau makelar politik.

Untuk lobi setahun saja pada 2019, nilainya jumbo mencapai US$3,5 miliar atau setara Rp 53 triliun untuk mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh senat dan bahkan presiden. Transparansi sokongan modal politik dari cukong baik pengusaha, lembaga, individu ini membuat publik bisa ikut terlibat dalam mengawasi setiap kebijakan yang diambil. Terlebih dengan kekuatan media sosial, transparansi aliran modal dari cukong kepada politisi membuat masyarakat bisa menebak dan menolak setiap kebijakan yang merugikan masyarakat banyak.

Dalam kata lain, transparansi dukungan pemodal untuk politisi menciptakan perkawinan yang sah dan bisa melahirkan anak (baca: sistem kekuasaan) yang lebih demokratis.

CNBC Indonesia Research

Email : [email protected]

Periset Data : Tasya Natalia Pangestika, Tri Putra

(mum/mum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation