
10 PR Pengusaha Untuk Anies, Ganjar dan Prabowo

Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-Saudara. Berjiwa besarlah, ber-imagination. Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia. _ Bung Karno |
Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia memiliki banyak potensi ekonomi dibandingkan negara-negara di dunia, apalagi cuma dengan peers di Asia Tenggara. Level saingan Indonesia seharusnya China dan India, bukan lagi ASEAN. Ada banyak sekali keunggulan Indonesia dibandingkan mereka, misalnya bonus demografi, sumber daya industri ekstraktif (alam) dan ceruk pasar yang masih perawan.
Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Ini adalah permintaan pengusaha, sebagai mitra pemerintah membangun perekonomian nasional. Paling tidak, ada 10 PR besar yang perlu diselesaikan, khususnya bagi calon presiden pengganti Presiden Joko Widodo pada 2024, untuk mengejar apa yang disebut Pak Jokowi sebagai upaya keluar dari jebakan kelas negara menengah, seperti dialami negara-negara Amerika Latin. Indonesia, cuma punya modal 13 tahun lagi untuk keluar dari jebakan ini, dan nahkoda itu ada di tangan pemenang Pilpres, entah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto.
Studi literatur dan data CNBC Indonesia menyimpulkan paling tidak ada 10 isu pokok yang perlu dibereskan untuk mengejar cita-cita itu. Yakni merangkum keinginan dari sektor swasta, sebagai mesin paling besar bagi pertumbuhan ekonomi. Sepuluh isu ini akan dijadikan pemantik diskusi dalam talkshow mingguan, Politik-Ekonomi dalam program Your Money Your Vote di CNBC Indonesia TV, setiap Rabu pukul 1930 WIB. Tema kali ini adalah PR Pengusaha untuk Capres 2024, yang akan dihadiri oleh sejumlah wakil pengusaha baik senior dan junior. Berikut ulasan CNBC Indonesia Research.
Seberapa Mudah Berbisnis di Indonesia?
Terjadi perubahan signifikan dalam hal perbaikan penghalang pengusaha untuk berbisnis sejak delapan tahun terakhir. Presiden Joko Widodo yang berlatar belakang pengusaha mengerti betul, bagaimana selama sejak reformasi 1998, dunia usaha susah berkembang hanya gara-gara kebanyakan aturan. Langkah Pak Jokowi sangat radikal, di mulai sejak tahun pertama memimpin 2014 dan pada 2019 lebih agresif lagi, mencontek aturan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, bahwa setiap menteri yang menerbitkan satu aturan baru, harus mencabut 10 aturan lama.
Langkah ini manjur, diakui dunia internasional yang ditunjukan oleh peringkat kemudahan berbisnis yang membaik dan stabil sejak 2016. Tampak pada peringkat easing of doing business (EODS) keluaran Bank Dunia.
Namun perbaikan radikal itu belum membuat Indonesia mampu bersaing, bahkan untuk sekelas regional Asia Tenggara. Menggunakan komparasi skor EODB 2019, sebagai negara dengan kapasitas anggota G-20, peringkat Indonesia masih medioker di level ASEAN, jangan jauh-jauh membandingkan level dunia. Posisi Indonesia bila disandingkan ada di urutan keenam dari 9 negara. Masalah perizinan awal usaha dan izin konstruksi masih bermasalah, kalah dari saingan terdekat seperti Vietnam dan Thailand.
Salah satu langkah ekstrim yang kemudian dilakukan pemerintahan Jokowi untuk menderegulasi kejumudan birokrasi dan memperbaiki iklim investasi adalah melahirkan regulasi payung (omnibus law)Cipta Kerja.
Tak sampai enam bulan, 37 anggota dewan bersama perwakilan pemerintah mengubah 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal sekaligus. Super sekali. Karena, kalau dibahas satu-persatu, benar kata Pak Jokowi, butuh waktu 50 tahun. Sementara, UU Cipta Kerja tak sampai satu tahun.
Hanya saja tujuan baik ini tak mudah dilaksanakan. Karena proses legislasi yang menurut mayoritas pakar hukum tata negara paling buruk sepanjang sejarah republik ini akhirnya kandas, 'dibekukan' sementara oleh Mahkamah Konstitusi pada November 2021. Setelah melalui drama perpu, regulasi ini resmi menjadi UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Namun, pandemi dan tahun politik membuat langkah deregulasi ini tampak mandek. Kelanjutannya menjadi pekerjaan rumah bagi pengganti Presiden Jokowi di 2024.
Seberapa Efisien Berbisnis di Indonesia?
Setiap pebisnis pasti berusaha untuk tujuan mencari cuan. Salah satu indikator standar internasional untuk kalkulasi seberapa besar keuntungan dalam berbisnis adalah rasio hasil dari modal. Untuk menghitungnya, standar internasional memakai indikator total-factor productivity(TFP) atau juga kadang disebut multi-factor productivity(MFP). Rumusnya membagi besaran output dengan input, dalam hal ini biaya pekerja dan modal dengan porsi standar masing-masing 0,7 dan 0,3. Teori ciptaan ekonom AS Robert Solow ini bisa menjawab pertanyaan umum pebisnis, keluar modal berapa jadi berapa, atau rasio produktivitas.
Masih menggunakan komparasi di ASEAN plus, lagi-lagi Indonesia masih belum baik. Melihat kecenderungannya, Thailand dan India berhasil melakukan perbaikan produktivitas perekonomiannya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Padahal kedua negara itu posisinya jauh dibawah Indonesia antara 2014 hingga 2017. Setelahnya angka TFP kedua negara itu melesat dan Indonesia cenderung melambat sejak 2018 sehingga terakhir di rasio 1,01. Rasio TFP sengaja menggunakan data 2019 untuk mengurangi bias karena krisis ekonomi sebagai dampak pandemi 2020.
Kajian TFP komponen dan faktor pendorongnya oleh Haider, Kunst & Wirl (2020) yang menganalisis 12 industri manufaktur di 12 negara memberikan rekomendasi perbaikan angka TFP. Diantaranya, peningkatan pengembangan penelitian dan pengembangan (R&D) yang menunjang kebutuhan industri. Impor juga berperan, meski moderat dengan syarat ada percepatan transfer teknologi. Juga, pasar perdagangan internasional yang lebih terbuka akan membantu sebuah negara memperbaiki rasio produktivitasnya. Tentunya, diluar kajian itu problem utama masalah produktivitas ekonomi sebuah negara bergantung pada seberapa berkualitas tenaga kerjanya.
Seberapa Produktif Pekerja di Indonesia?
Ini adalah masalah yang sering dikeluhkan pengusaha di Indonesia, betapa mahalnya biaya pekerja yang berbanding terbalik dengan kinerja. Menggunakan indikator umum produktivitas buruh, yakni dengan membandingkan hasil ekonomi yang dihasilkan oleh setiap pekerja di negara ASEAN dapat disimpulkan Indonesia masih pada level gurem, meskipun ada di urutan keempat dari delapan negara. Indonesia gagal memanfaatkan bonus demografi, angkatan kerja produktif dimana setiap pekerja di Indonesia cuma bisa menghasilkan US$11,8 per jam kerja, tak ada separuh dari produktivitas buruh di Malaysia.
Sebaliknya data ini yang bikin pusing tujuh keliling para pengusaha di Indonesia. Sebab, dengan produktivitas yang di bawah peers, duit yang harus mereka keluarkan untuk membayar pekerja jauh lebih tinggi. Data yang dikutip dari Statistica menunjukkan biaya upah pekerja di Indonesia rata-rata US$370 per bulan atau setara Rp4,6 juta per bulan. Bandingkan dengan Thailand, Malaysia apalagi Vietnam yang menawarkan pekerja murah. Ini membuat Indonesia kesulitan berkompetisi untuk mendatangkan investasi di sektor padat karya, seperti manufaktur dan pertanian yang menyerap sekurang-kurangnya 44% lapangan pekerjaan. Indonesia hanya menang melawan negara lain di dunia, untuk menggaet investasi di industri ekstraktif, seperti pertambangan yang padat modal tapi sepi serapan pekerja. Pertambangan hanya menyedot 1% lapangan kerja.
Beruntungnya, mayoritas pekerja di Indonesia termasuk giat bekerja. Setidaknya itu dapat dilihat dari motivasi kerja yang melatarbelakanginya, yakni masih positif thinkingbahwa hanya dengan bekerja keras maka karir mereka akan naik. Umumnya, pekerja Indonesia berdasarkan survei World Values Survey 2022 percaya kesuksesan dalam karir lebih ditentukan oleh kerja keras daripada sekedar beruntung. Motivasi buruh di Indonesia sekelas China, Pakistan dan Filipina.
Seberapa Berkualitas Sumber Daya Manusia?
Produktivitas rendah adalah muara dari sistem pendidikan yang tidak mumpuni. Sudah bukan rahasia lagi, bila pengusaha kesulitan mencari pekerja yang handal dan sesuai dengan kebutuhan. Inilah yang membuat investasi asing yang menawarkan transfer teknologi tersendat, memicu lonjakan tenaga kerja asing. Data Kemnaker pada November 2022 ada sekitar 111,7 ribu tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia, tertinggi dari level pra-pandemi, sekaligus menjadi rekor terbanyak sejak 2017.
Sebagian besar TKA berasal dari Tiongkok (46,83%) dan Jepang (10,01%). Ada pula pekerja dari Korea Selatan, India, Filipina, Malaysia, Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Singapura. Mayoritas TKA bekerja di sektor jasa (49,08%) dan industri (48,30%). Ada pula sebagian kecil yang masuk ke sektor pertanian dan maritim (2,62%). Hampir separuhnya memiliki level jabatan profesional (48,43%), diikuti konsultan (21,30%), manajer (20,90%), direksi (8,68%), dan komisaris (0,69%).
Kondisi ini dimaklumi karena level kecakapan calon tenaga kerja termasuk payah sejak bangku sekolah bila dibandingkan dengan negara lain. Jumlah siswa di sekolah menengah pertama, atau kelas 7-9 yang paham mata pelajaran matematika dan kemampuan membaca itu nomor keenam terbawah di ASEAN. Cuma 28,1% siswa SMP yang memenuhi standar kecakapan pelajaran matematika, dan 30,1% untuk membaca. Padahal, dalam sembilan tahun ini pemerintah telah menggelontorkan anggaran Rp4.553 triliun untuk sektor pendidikan. Nilainya hampir naik dua kali lipat dari 2014 menjadi Rp612 triliun tahun ini. Hasilnya, masih jauh dari harapan.
Kualitas rendah pemahaman mata pelajaran siswa diperparah dengan ketidakcocokan atau mismatchantara lulusan institusi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Hal ini tampak pada hasil survei Organisasi Perburuhan Internasional atau (ILO) dalam Education and Mismatch Indicators(EMI), 2022, dimana ada ketidakcocokan baik karena level pendidikan, salah jurusan, atau keterampilan yang tak cakap sesuai kebutuhan dunia kerja. Indikator ini membaca ketidakcocokan itu terjadi entah karena kelebihan atau kekurangan dengan dunia kerja.
Ini mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dari sisi pengusaha dan ekonomi secara keseluruhan, termasuk misalnya pekerja itu sendiri, misalnya lulusan S-1 terpaksa bekerja pada lowongan pekerjaan yang diperuntukan untuk lulusan SMA . Meskipun jumlah pekerja yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha cukup lumayan baik, 80% namun posisi Indonesia ada di nomor lima di ASEAN.
Untuk memperbaiki situasi ini, ILO merekomendasikan sejumlah hal. Diantaranya, pemerintah melakukan penilaian sejauh mana kualifikasi dan keterampilan pekerja dalam pekerjaan sesuai dengan jenis dan tingkat keterampilan yang dibutuhkan pengusaha. Mengidentifikasi defisit kualifikasi dan keterampilan yang dihasilkan dari perubahan teknis, struktural, dan demografis yang sedang terjadi. Mengidentifikasi kualifikasi dan kelebihan keterampilan dan pekerja yang keterampilan dan kualifikasinya melebihi yang dibutuhkan oleh pekerjaan, dan mengidentifikasi pemicu fenomena overskilling dan underskilling ini.
Seberapa Baik Tata Kelola Pemerintah Indonesia
Untuk menakar seberapa baik tata kelola pemerintah Indonesia dalam mengendalikan pemerintahan, ada Worldwide Governance Indicators (WGI) yang merating 200 negara sejak 1996 dengan enam kategori penilaian. Yakni, kebebasan berpendapat dan akuntabilitas, stabilitas politik dan penanganan terorisme, efektivitas pemerintahan, kualitas regulasi, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. WGI dihasilkan dari survei kepada perusahaan, warga dan ahli di negara bersangkutan.
Dari enam indikator tampak hanya indikator efektivitas pemerintahan dan kualitas yang tampak berjalan konsisten membaik sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi. Plus, penegakan hukum, itupun baru-baru ini sejak tahun 2020. Sementara itu kebebasan berekspresi, bersuara dan akuntabilitas stagnan di level 50-55, dan dari indikator itu menunjukkan ada kekhawatiran dari pebisnis, masyarakat adanya penurunan tajam upaya pemerintah memberantas korupsi terutama sejak 2019. Ini bisa ditafsirkan bersamaan adanya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membuat lembaga anti rasuah ini sekarang berada dibawah kendali presiden, bukan lagi lembaga independen.
Indikator soal pengendalian korupsi yang mengendur ini sejalan dengan peringkat persepsi korupsi yang dilansir Transparency International. Corruption Perceptions Index/CPI atau indeks persepsi korupsi Indonesia yang turun terus dari 40 pada 2019, kembali ke level delapan tahun lalu yaitu di level 34. Posisi Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara, turun dari posisi 85 tiga tahun lalu. Seperti halnya WGI, angka CPI merepresentasikan persepsi praktik korupsi dari pebisnis dan ahli terhadap suatu negara.
Berpijak pada hasil riset Vito Tanzi dan Hamid Davoodi (2000) yang dibiayai Dana Moneter Internasional/IMF, berjudul Corruption, Growth and Public Finance,menunjukkan upaya dalam pemberantasan korupsi akan berkorelasi positif dengan hasil pembangunan ekonomi suatu negara, dan berlaku sebaliknya. Kesimpulan hasil studi itu ternyata relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang, paling tidak sejak KPK mulai efektif bekerja pada 2004.
Antara tahun 2004 hingga 2014 atau era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono skor CPI naik 14 poin. Dampak ekonominya cukup baik, mampu menjaga indikator ICOR atau Incremental Capital Output Ratio (cara hitungnya pertumbuhan investasi dibagi dengan pertumbuhan ekonomi) pada level wajar antara 3-4. ICOR adalah metrik yang menilai jumlah modal investasi marjinal yang diperlukan suatu negara atau entitas lain untuk menghasilkan unit produksi berikutnya., dimana rata-rata ICOR pada zaman SBY sebesar 4,18. Artinya, untuk menghasilkan tambahan satu keluaran Rp1, hanya butuh tambahan modal Rp4,18.
Saat peralihan kekuasaan SBY ke Jokowi pada 2014 angka CPI Indonesia sebesar 34, namun setelah sempat naik enam poin, angkanya tahun lalu kembali memburuk ke level tahun awal era Jokowi. Ada indikasi bahwa pemberantasan korupsi di zaman Jokowi mengendur sehingga mengakibatkan dampak serius terhadap perekonomian. Hasilnya rata-rata ICOR sejak saat itu hingga sekarang tinggi di 6,92, dimana pada 2015 levelnya mencapai angka tertinggi sejak zaman orde baru. ICOR Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan negara peer-nya seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang ada di kisaran angka ideal sebesar 3-4%.
Ini adalah alasan kuat yang menjadi dasar kesimpulan perekonomian Indonesia, khususnya pada era Presiden Jokowi berbiaya tinggi, atau dalam kata lain sangat tidak efisien. Hanya saja, ICOR tinggi disebabkan oleh banyak faktor selain korupsi, ada juga akibat logistik yang tinggi, hingga penelitian dan pengembangan (R&D) dan kualitas sumber daya manusia yang rendah. ICOR adalah indikator umum tingkat efisiensi perekonomian sehingga membutuhkan rujukan data lagi untuk korelasinya.
Seberapa Besar Pasar Indonesia?
Seharusnya, Indonesia bakgadis molek di mata investor asing, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, merepresentasikan potensi besar pasar untuk produk dan jasa apa saja. Populasi Indonesia itu hampir sama dengan gabungan jumlah penduduk delapan anggota ASEAN. Hanya saja, daya beli penduduknya rendah relatif rendah bila dibandingkan dengan potensi demografinya. Pendapatan per kapita rakyat Indonesia hanya USS4.332 atau setara Rp65 juta setahun, nomor lima di ASEAN.
Indikator yang lebih rinci yang mampu menjelaskan berapa besar pasar Indonesia adalah Market Potential Index (MPI), keluaran Michigan State University. Indeks ini awalnya dibuat sebagai radar bagi perusahaan-perusahaan di AS yang ingin berekspansi ke luar negeri, memberikan peta mana negara dengan potensi cuan paling banyak. Ada delapan indikator yang dijadikan ukuran dan cukup komplit, mula dari ukuran pasar, kedalaman pasar, infrastruktur hingga risiko politik seperti korupsi. Setiap indikator dinilai dengan skala skor total 1 sampai 100 untuk yang terbaik .
Dalam sudut pandang MPI, Indonesia masih gagal memanfaatkan peluang demografi seperti China dan India. Posisi Indonesia malah kalah dengan negara kecil seperti Singapura dan Vietnam, meskipun lebih baik dari Thailand dan Filipina. Indonesia dipandang kurang dalam hal permintaan atau intensitas pasar, dan juga infrastruktur meskipun dalam delapan tahun terakhir ada pembangunan masif. Secara total skor MPI Indonesia sebesar 28 dan menempati peringkat 36 dari 97 yang di rating.
Seberapa Inovatif Berbisnis di Indonesia?
Tingkat inovasi sebuah bangsa amat menentukan nasib perekonomiannya. Inovasi yang mencerminkan keseriusan dalam penelitian dan pengembangan (R&D) sudah dibahas tadi amat menentukan produktivitas sebuah perekonomian. Indikator yang lazim dipakai adalah Global Innovation Index (GII) yang dirilis Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia. Indeks ini mengukur inovasi berdasarkan sejumlah kriteria seperti kelembagaan, sumber daya manusia dan penelitian, infrastruktur, kredit, investasi, hak cipta, penyerapan dan difusi pengetahuan, serta output ekonomi yang kreatif. Posisi Indonesia di ASEAN saja cukup mengecewakan, berada di posisi tujuh dengan skor 27,1 atau dalam inovasi ini Indonesia masih sekelas dengan negara medioker seperti Kamboja dan Myanmar.
Dimanakah peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bertanggungjawab dalam inovasi? Peran BRIN tampak tidak maksimal dalam mendorong inovasi di Indonesia karena tidak menjadi perhatian pemerintah, tampak pada politik anggaran dimana lembaga itu cuma mendapatkan suntikan dana Rp6,388 triliun tahun ini, plus dana program riset yang bersumber dari "imbal hasil" dana abadi riset Rp1 triliun. Itupun 64% anggaran dialokasikan untuk membayar gaji pegawai, bukan untuk membiayai penelitian. Anggaran ini anjlok parah dari Rp 26 triliun pada 2018.
Anggaran penelitian dan pengembangan memang masih jauh panggang dari api, sebab dana riset yang ideal bagi Indonesia menurut Bank Dunia dan UNESCO seharusnya sebesar 1% dari PDB atau sekitar Rp 196 triliun dengan dasar PDB 2022. Saat ini, proporsi anggaran riset Indonesia terhadap PDB hanya sekitar sepertiga dari Malaysia, Thailand dan Singapura. Indonesia juga kalah dari Vietnam dan Filipina, dan hanya setara Brunei Darussalam. Tidak heran juga hasilnya, Indonesia termasuk negara dalam jajaran tidak inovatif.
Seberapa Mudah dan Murah Cari Modal di Indonesia?
Paling mudah untuk menjawab seberapa mudah mendapatkan modal untuk bisnis di Indonesia dapat menggunakan rasio jumlah kredit dari sektor keuangan kepada sektor usaha terhadap PDB. Jumlah pinjaman ini mencakup kredit, pembelian sekuritas non-ekuitas, dan kredit perdagangan dan akun piutang lainnya. Dari data Dana Moneter Internasional (IMF) tampak sektor finansial Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sektor usaha, tampak dari rasio kredit terhadap PDB yang hanya 37%, rata-rata hanya sepertiga rasio di Malaysia, Thailand dan Singapura.
Ini berarti, pengusaha masih kesulitan untuk mendapatkan pendanaan, karena jumlahnya relatif sedikit dan kurang untuk perekonomian sebesar Indonesia, paling tidak bila dibandingkan dengan proporsi pembiayaan sektor swasta di peers. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Desember 2022 penyaluran kredit perbankan tumbuh 11,35% dibanding setahun sebelumnya, atau mencapai sekitar Rp6,42 kuadriliun.
Ketersediaan likuiditas yang kurang memadai bagi sektor usaha membuat posisi tawar lembaga pembiayaan, seperti perbankan tinggi. Inilah alasan yang menyebabkan suku bunga lending perbankan Indonesia juga tinggi dan membuat ekonomi biaya tinggi dan bisnis yang tidak efisien di Indonesia. Lending rateperbankan RI, termasuk paling tinggi di ASEAN dan juga dibandingkan dengan peers, hanya kalah misalnya dengan selisih tipis dari India. Lending rate perbankan Indonesia mencapai 8,95%.
Itulah mengapa, Kepala Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Yudhi Purbaya Sadewa mengatakan sektor perbankan Indonesia sangat aman, dan bahkan menjuluki keuntungan perbankan Indonesia sangat tebal. Karenanya, tak berlebihan apabila Yudhi pernah mengatakan, "NIM perbankan di Indonesia ini dianggap tertinggi di dunia dan di akhirat,". Di ASEAN NIM Perbankan Indonesia berada di level paling tinggi.
Seberapa Kokoh Fundamental Ekonomi Indonesia?
Indonesia berada dalam episentrum perekonomian dunia, bersama India dan China adalah trisula pertumbuhan ekonomi global. Di level ASEAN, Indonesia memimpin sebagai mesin utama perekonomian, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun besarnya kue ekonominya. Perekonomian ASEAN akan tetap tumbuh baik, meskipun ada konsensus akan sedikit lambat dibandingkan tahun lalu.
Diantara alasannya adalah kondisi yang diprediksi akan lebih baik pada paruh kedua tahun ini, dengan tekanan inflasi yang akan lebih reda, dan sejumlah bank sentral mulai perlahan mengadopsi kebijakan akomodatif dari sisi moneter. Salah satu optimistismenya adalah kebijakan reopening China, yang diharapkan mendorong permintaan ekspor, khususnya untuk Indonesia yang memiliki keunggulan dalam bidang industri ekstraktif atau sumber daya alam, seperti pertambangan.
Sejumlah tantangan tetap pada kondisi makroekonomi global yang masih labil. ADB misalnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi ASEAN tahun ini menjadi 4.7% dari akibat pelemahan permintaan global. ASEAN tahun lalu tumbuh 5,5%. Credit Suisse meramal enam anggota ASEAN; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam melambat ke 4.4% di 2023 dari estimasi sebelumnya 5.6% di 2022. Walaupun begitu, laju ekonomi di kawasan akan jauh lebih unggul dari pacu perekonomian dunia yang menurut IMF akan tumbuh melambat di 2,7% pada 2023. ASEAN akan masih menarik bagi investor global, karena satu-satunya kawasan yang menawarkan cuan paling banyak.
Sementara itu, S&P Global yakin pelemahan permintaan dunia tidak akan berpengaruh bagi sejumlah negara dengan postur PDB yang utamanya ditopang dari konsumsi domestik, seperti Indonesia dan Filipina yang mereka ramal akan tetap bisa menikmati pertumbuhan ekonomi sekitar 5% tahun ini. Bukti dari asumsi S&P bagi Indonesia bisa dilacak pada proporsi konsumsi rumah tangga yang mendominasi lebih dari 50% PDB, dan juga rasio perdagangan internasional terhadap PDB. Keterkaitan Indonesia dengan pasar dunia cuma sekitar 40% jauh di bawah peers, sehingga pelemahan permintaan global tak akan melemahkan PDB Indonesia, apalagi sumbangsih ekspor bersih cuma sekitar 20% di PDB.
Tapi tantangannya tahun ini adalah, kebijakan suku bunga tinggi bank sentral di ASEAN sebagai respon dari kebijakan moneter ketat di negara maju, termasuk Bank Indonesia membuat tekanan inflasi makin meningkat, dan bisa memukul daya beli masyarakat. BI, sebagaimana bank sentral lain dalam posisi gamang antara menjaga momentum pemulihan ekonomi pasca Covid dengan stabilitas moneter, khususnya dalam respon menekan inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah. Kinerja rupiah sejauh ini paling terpuruk di ASEAN, dengan pelemahan sebesar 4%, berkebalikan dengan ringgit Malaysia yang menguat 6% dan kalah stabil dari peers lainnya di kawasan.
Seberapa Hijau Bisnis di Indonesia?
Isu pembangunan berkelanjutan sudah sudah menjadi arus utama ide tentang bagaimana pengambil kebijakan menentukan arah masa depan ekonomi. ESG atau Lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan adalah kerangka kerja bisnis yang tidak saja sudah disepakati oleh pemimpin-pemimpin dunia, namun telah menjadi standar praktik internasional di semua sektor bisnis mulai dari keuangan, manufaktur hingga pertambangan. Salah satu yang mendorongnya adalah komitmen dan nilai ekonomi yang menguntungkan, karena misalnya, pembiayaan hijau menawarkan biaya pendanaan yang lebih murah seperti green bond.
Ada banyak indikator untuk menunjukkan level atau komitmen sebuah negara dalam ekonomi berkelanjutan. Salah satu yang cukup komprehensif adalah Sustainable Development Report (SDR), dulu bernama SDG Index, yang memberikan pemeringkatan dan skor pada 193 negara. Penilaian SDR merepresentasikan progres sebuah negara dalam pencapaian 17 target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs). Skor 100 mengindikasikan semua target telah tercapai. Dari tren sepuluh tahun terakhir semua negara di ASEAN mampu meningkatkan pencapaian, tapi Indonesia berada di level medium.
Indikator kedua yang juga kerap dipakai menilai seberapa besar komitmen sebuah negara pada ekonomi berkelanjutan adalah Green Growth Index, keluaran The Global Green Growth Institute. Seperti SDR, ukuran pemeringkatan menggunakan target SDG, namun lebih jauh dari itu juga mengadopsi komitmen terhadap perubahan iklim seperti Paris Climate Agreement dan Aichi Biodiversity Targets yang diejawantahkan dalam empat dimensi penilaian-efficient and sustainable resource use, natural capital protection, green economic opportunities, and social inclusion.
Dari data Green Growth Index tahun lalu, posisi Indonesia cukup lumayan tinggi di pada level ASEAN Plus, China dan India. Posisi Indonesia menempati urutan Menempati posisi keempat dari 12 negara tersebut, dengan skor 57,36. Dari empat dimensi Indonesia cukup baik berkompetisi dengan negara lain. Makna penting dari pencapaian rating hijau ini adalah, kemampuan negara untuk menarik lebih banyak investasi asing, khususnya dari negara maju yang memiliki dana besar tetapi sudah mensyaratkan negara prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara ketat.
Level rating ESG Indonesia yang relatif masih level Asia membuat Indonesia kehilangan potensi untuk mendapatkan investasi dari negara maju karena ketidakmampuan memenuhi standar level ESG mereka. Hal ini tercermin dari realisasi penanaman modal asing (PMA) yang direkam BKPM dalam sembilan tahun terakhir, dimana didominasi oleh negara di kawasan Asia yang rata-rata level hijaunya selevel dengan Indonesia. Investor asal Asia mendominasi sebesar 73%, dengan China tercatat paling banyak, sementara negara asal kawasan Amerika dan Eropa masing-masing hanya di kisaran 10%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mum/mum)
