
Jauhi Saham INCO, Kinerja Memble, Konsesi Mau Habis!

- Kemelut perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan divestasi saham Vale Indonesia masih berlangsung
- Dengan luas wilayah konsesi 118.017 hektare (ha), Vale Indonesia baru menggarap 16.000 ha
- Dengan prospek hilirisasi nikel di tengah boom kendaraan listrik (EV), saham INCO sejatinya masih menarik
Jakarta, CNBC Indonesia - Desakan DPR RI kepada pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak pertambangan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) apabila Indonesia belum memiliki saham mayoritas di perusahaan nikel tersebut menghiasi pemberitaan akhir-akhir ini. Divestasi saham INCO memang masih belum menemukan titik terang.
Kontrak Karya (KK) Vale Indonesia akan berakhir pada 28 Desember 2025 mendatang.
Setelah 57 tahun menandatangani kontrak pertama pada 1968 dan akan berakhir dua tahun mendatang, Vale masih menyisakan banyak pekerjaan rumah (PR). Salah satunya adalah terkait divestasi 11% saham milik mereka.
Teranyar, Komisi VII DPR RI mendorong pemerintah untuk mengambil alih kepemilikan saham 51% PT Vale Indonesia Tbk (INCO) secara penuh sebagai syarat perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari saat ini masih berstatus Kontrak Karya (KK).
Namun dengan catatan, kepemilikan 51% saham PT Vale Indonesia ini tidak termasuk 20,7% saham yang merupakan milik publik dan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Hariyadi menyebut, pengambilalihan saham 11% terkait dengan kewajiban divestasi 51% saham Vale masih belum memenuhi syarat. Pasalnya, saat ini pemerintah Indonesia melalui MIND ID baru memegang kepemilikan saham Vale sebesar 20%.
Dengan demikian, apabila Vale menawarkan sahamnya sebesar 11% untuk diambil negara, maka sejauh ini baru 31% saham yang dipegang pemerintah Indonesia.
Bambang menjelaskan kondisi tersebut terjadi lantaran kepemilikan saham publik sebesar 20,7% di PT Vale Indonesia tidak jelas asal usulnya. Bahkan berdasarkan informasi yang diperoleh, saham publik sebesar 20,7% diduga bukan dikuasai oleh pasar domestik melainkan perusahaan cangkang milik Vale sendiri.
"Apakah Pak Menteri sudah cek infonya bukan dikuasai pasar domestik mereka pakai cangkang perusahaan domestik infonya itu yang memiliki saham 20 persen," kata Bambang dalam Rapat Kerja bersama Menteri ESDM Arifin Tasrif, Senin (5/6/2023).
Merespons Bambang, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bakal bertemu dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna menyusuri kepemilikan saham publik di INCO.
"Mengenai Vale sementara kami respons demikian. Mengenai kepemilikan publik itu milik asing tentu saja harus kita cek OJK," ujar Arifin dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Senin (5/6/2023).
Baru Nambang Sedikit
Seiring KK yang sebentar lagi habis dan diperlukan perpanjangan kembali, kinerja operasi Vale Indonesia terbilang memble.
Berdasarkan data dari Laporan Tahunan 2022, luas wilayah konsesi Vale Indonesia mencapai 118.017 ha yang tersebar di wilayah Bahodopi Sulawesi Tengah (Sulteng), Sorowako Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Pomaalaa & Sua-sua di Sulawesi Tenggara (Sultra).
Dari total wilayah konsesi itu, manajemen VALE mengaku baru mengeksplorasi wilayah operasi 16.000 ha. Tentu, dengan luas konsesi hingga lebih dari 100 ribu hektar realisasi tersebut terbilang rendah.
Hal tersebut sempat menjadi sorotan Komisi VII DPR RI pada September 2022. Bahkan, mengutip Kendari Pos (17/9/2022), salah satu anggota Komisi VII dari fraksi PAN Nasril Bahar menyebut dengan kinerja operasi yang lambat itu, dirinya menilai, Vale hanya pantas mendapat izin mengelola seluas 25.000 ha saja dan sisa lahan dikembalikan ke pemerintah.
Diwartakan sebelumnya oleh CNBC Indonesia, Kementerian ESDM tak menampik bahwa Vale Indonesia selama ini belum optimal mengelola lahan tambang yang mereka garap.
Padahal, Kontrak Karya Vale telah ditandatangani sejak 1968 lalu, artinya sudah lebih dari 50 tahun Vale melakukan kegiatan penambangan di Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan oleh Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif.
"Itu kan persoalan dari dulu yang muncul, tapi kan mereka yang lebih tahu semua rencana pengelolaan wilayah, kan sudah mereka masukkan di Ditjen Minerba," kata dia saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (03/03/2023).
Realisasi total produksi nikel matte Vale juga menurun pada 2022.
Menurut data Laporan Tahunan, total produksi nikel matte Vale pada 2022 mencapai 60.090 ton, turun 5.298 ton, atau 8% lebih rendah dari realisasi tahun 2021 sebesar 65.388 ton.
Berdasarkan penjelasan manajemen, produksi nikel matte 2022 lebih rendah dibandingkan produksi pada tahun 2021 terutama disebabkan oleh adanya pelaksanaan proyek pembangunan kembali Tanur Listrik 4 pada semester pertama 2022.
Situasinya memang lebih baik pada kuartal I 2023.
Vale telah memproduksi 16.769 ton nikel dalam matte pada triwulan pertama tahun 2023.
Ini seiring perseroan terus menjaga keandalan operasional Furnace 4 setelah pembangunan kembali rampung tahun lalu.
Produksi pada kuartal I 2023 masing-masing sekitar 4% dan 21% lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada Q4-22 dan Q1-22.
Pada 2023, Vale menargetkan produksi nikel matte pada kisaran 70.000 ton, lebih tinggi dari realisasi 2022 dan 2021.
Namun, target tersebut masih di bawah realisasi produksi selama periode 2018-2020 yang di atas 71 ribu ton.
Asal tahu saja nikel dalam matte merupakan produk setengah jadi yang dapat dijual secara komersial yang berasal dari bijih yang mengandung 78% nikel, 20-21% sulfur, dan 1-2% kobal.
Nikel dalam matte Vale diekspor ke Jepang berdasarkan kontrak penjualan jangka panjang.
Laporan Tahunan 2022 menyebutkan cadangan mineral dan produksi bijih nikel perusahaan per akhir Desember 2022 tercatat 111,55 juta ton.
Cadangan terbukti mencapai 65,8 juta ton sementara cadangan terkira mencapai 45,74 juta ton.
Cadangan Vale turun tipis dibandingkan 2021 yang tercatat 112,5 juta ton.
Cadangan bijih nikel Indonesia per 2021 diperkirakan mencapai 4,5 miliar ton. Artinya, cadangan yang dimiliki Vale setara dengan 2,48% dari cadangan total Indonesia.
Melihat Profitabilitas INCO
Merujuk pada laporan keuangan interim kuartal I/2023, Vale mencatatkan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk per 31 Maret 2023 sebesar US$98,15 juta atau setara Rp1,45 triliun (Rp14.840/US$).
Sebelumnya, perseroan mencatat laba US$67,64 juta atau sekitar Rp1 triliun di periode yang sama tahun lalu, atau mengalami kenaikan 45%.
Kenaikan laba ini seiring dengan penambahan pendapatan, dari semula US$235,08 juta Rp3,48 triliun menjadi US$363,18 juta atau Rp5,4 triliun seiring harga rerata nikel lebih tinggi 18% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Rasio profitabilitas INCO juga terbilang solid dibandingkan peers. Marjin laba kotor (GPM) Vale Indonesia 37,15%, di atas pesaing macam NCKL dari Harita Group dengan nilai 32,73%, duo Merdeka Copper, MDKA dan anak usahanya MBMA (masing-masing 10,82% dan 14,72%).
Demikian pula, marjin laba operasi INCO yang mencapai 35,46% lebih baik dari peers, seperti NCKL (24,49%) hingga grup Merdeka Copper.
Marjin laba bersih (NPM) INCO yang sebsar 27,03% juga bersaing dengan NCKL (28,59%).
Untuk dua metrik favorit investor, return on equity (ROE) dan return on assets (ROA), INCO masih berada di bawah NCKL dan juga MBMA (untuk kasus ROE), tapi angkanya terbilang baik.
Valuasinya Bagaimana?
Menggunakan metrik multiples populer, seperti price-to earnings (PER) rasio, saham INCO masih menarik. PER INCO 11,11 kali, masih di bawah industri yang sebesar 14 kali.
Demikian pula, rasio price-to book value (PBV) INCO 1,78 kali, masih sedikit di bawah industri 1,85 kali.
Lebih lanjut, rasio EV/EBITDA INCO yang sebesar 7,52 kali juga lebih rendah daripada rerata industri (11 kali).
Dengan melihat hal tersebut dan proyeksi kinerja masa depan, nilai wajar saham VALE berada di angka Rp7.830 atau ada potensi upside 18,64% dari harga 6 Juni 2023.
Tentang Vale
PT Vale (saat itu bernama PT International Nickel Indonesia) didirikan pada bulan Juli 1968.
Kemudian di tahun tersebut PT Vale dan Pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya (KK) yang merupakan lisensi dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan eksplorasi, penambangan dan pengolahan bijih nikel.
Sejak saat itu PT Vale memulai pembangunan smelter Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Melalui Perjanjian Perubahan dan Perpanjangan yang ditandatangani pada bulan Januari 1996, KK tersebut telah diubah dan diperpanjang masa berlakunya hingga 28 Desember 2025.
Pada Oktober 2014, PT Vale dan Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan setelah renegosiasi KK dan berubahnya beberapa ketentuan di dalamnya termasuk pelepasan areal KK menjadi seluas hampir 118.435 hektar.
Ini berarti luasan areal KK telah berkurang hingga hanya 1,8% dari luasan awal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia pada saat penandatanganan KK tahun 1968 seluas 6,6 juta hektar di bagian timur dan tenggara Sulawesi akibat serangkaian pelepasan areal KK.
Prospek Bisnis Nikel
Dalam upaya global mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fosil dan mendukung peralihan energi ke sumber energi terbarukan, nikel memiliki potensi menjadi salah satu komoditas strategis di masa depan.
Indonesia dianggap akan memiliki peran penting dalam rantai pasok nikel dunia karena cadangan nikel yang besar dan potensi pasokan nikel di Indonesia.
Menurut laporan Woodmac pada Desember 2022, total pasokan nikel Indonesia ke pasar global sekitar 1,5 juta ton, sedangkan permintaan nikel global sekitar 3,1 juta ton. Tambang nikel Indonesia tersebar di tujuh provinsi, yaitu Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Potensi nikel yang besar di Indonesia mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan industri nikel di dalam negeri dan menerapkan larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 melalui Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2019.
Meskipun kebijakan larangan ekspor bijih nikel dianggap melanggar aturan World Trade Organization (WTO), Pemerintah Indonesia tetap mendorong hilirisasi industri nikel domestik yang akan berdampak positif pada perekonomian.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah peningkatan jumlah pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Saat ini, terdapat 15 smelter nikel di seluruh Indonesia, dan rencananya akan ditambahkan 7 smelter dalam beberapa tahun mendatang.
PT Vale berencana membangun tiga pabrik pengolahan, termasuk 1 smelter dan 2 pabrik HPAL, dengan total investasi lebih dari AS$9 miliar atau sekitar Rp141,9 triliun.
Kehadiran smelter dan pabrik HPAL baru ini di Indonesia akan meningkatkan pasokan nikel olahan ke pasar global dalam bentuk Ferro Nickel (FeNi), Nickel Pig Iron (NPI), dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).
Diperkirakan pasokan produk nikel olahan akan tetap diminati baik di dalam negeri maupun di luar negeri karena kebutuhan akan baja tahan karat dan pengembangan kendaraan listrik yang mengandung nikel.
Di dalam negeri, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 untuk mempercepat pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) dalam transportasi jalan.
Selain itu, dalam Rencana Pengembangan Industri Nasional (RIPIN), pengembangan industri otomotif periode 2020-2035 menjadi prioritas, termasuk pengembangan kendaraan listrik dan komponen utamanya seperti baterai, motor listrik, dan inverter.
Pemerintah menargetkan produksi kendaraan listrik mencapai 600 ribu unit untuk kendaraan roda 4 atau lebih pada tahun 2030, serta 2,45 juta unit untuk kendaraan roda 2. Produksi kendaraan listrik diharapkan mencapai 400 ribu unit pada tahun 2025 dan 5,7 juta unit pada 2035.
Menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA) dalam Southeast Asia Energy Outlook 2022, permintaan nikel untuk teknologi energi bersih diperkirakan akan meningkat pesat hingga 20 kali lipat antara tahun 2020-2040.
Laporan Wood Mackenzie juga menyatakan bahwa konsumsi nikel dunia untuk kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi baterai pada tahun 2020 diperkirakan masih di bawah 200 ribu ton per tahun, dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 300 ribu ton per tahun pada tahun 2026 dan mencapai 550 ribu ton per tahun pada 2030.
Singkat kata, di samping prospek bisnis nikel yang cerah, problem perpanjangan kontrak dan progress divestasi saham INCO ke pemerintah tetap perlu menjadi perhatian investor ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(RCI/RCI)