
Tak Cuma Amerika, Emiten Sawit Bakrie Juga Berisiko Default!

- Harga saham UNSP melejit pada perdagangan hari ini melejit di atas 5% didukung oleh perolehan laba yang melesat 600%
- Sayang utang yang selangit membuat UNSP menjadi perusahaan tidak sehat dan memiliki risiko tinggi terhadap gagal bayar (default).
- Kondisi ini diperparah dengan prospek CPO global yang cenderung lesu karena berbagai tantangan dari normalisasi produksi, fenomena alam El Nino, hingga keadaan ekonomi China sebagai konsumen utama dunia yang sedang sulit
Jakarta, CNBC Indonesia - Saham Sawit milik Bakrie, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk. (UNSP) melejit pada perdagangan sesi I hari ini. Sayangnya kenaikan tersebut tidak sejalan dengan kondisi kesehatan keuangan perusahaan yang sakit sehingga saat ini tidak layak beli untuk investasi jangka panjang.
Mengacu Refinitiv pada penutupan perdagangan sesi I Senin (22/5/2023), emiten yang memiliki kode saham UNSP tersebut menguat 5,26% dari posisi sebelumnya ke Rp120 per saham. Sementara sepanjang Mei, UNSP mampu mencatatkan kinerja saham positif 11,11%.
Tak kalah luar biasanya, laba UNSP melejit 691% pada 2022 menjadi Rp930,2 miliar dari hanya Rp117,5 miliar pada 2021.
Namun, laba yang luar biasa tersebut adalah buah dari hilangnya pengendalian atas Entitas Anak PT Domas Agrointi Prima dan bukan karena kinerja operasional.
Utang Segunung, Kas Kecil, Awas Risiko Gagal Bayar
Akan tetapi, sayangnya kondisi kesehatan perusahaan kurang sehat dikarenakan uutang yang nilainya lebih besar dua kali dari total aset perusahaan.
Sehingga terjadi defisiensi modal atau ekuitas negatif. UNSP pun mendapatkan notasi khusus oleh Bursa Efek Indonesia atas kondisi tersebut.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, defisiensi modal pada 2022 tercatat Rp5,96 triliun. Jumlah tersebut berasal dari nilai liabilitas sebesar Rp10,5 triliun, lebih tinggi nilainya dari aset yang sebesar Rp4,54 triliun.
Nilai total liabilitas perusahaan sebenarnya telah turun Rp5 triliun pada 2022 dibandingkan 2021 sebesar Rp15,15 triliun. Terutama karena penurunan nilai pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun sekitar Rp3 triliun.
Akan tetapi penurunan nilai liabilitas juga diikuti oleh penurunan nilai aset sekitar Rp4 triliun karena adanya penurunan aset tetap bersih menjadi Rp2,7 triliun pada 2022 dari Rp6,1 triliun pada 2021.
Nilai liabilitas UNSP saat ini didominasi oleh utang jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun. Nilainya adalah Rp4,37 triliun.
Celakanya adalah di tengah utang jatuh tempo yang harus dibayarkan tahun ini, nilai kas UNSP sangat kering. Nilainya hanya Rp144,36 miliar atau jauh lebih kecil dari nilai jatuh tempo.
Bahkan jika dibandingkan dengan nilai aset lancar masih belum cukup untuk membayar utang yang segera jatuh tempo.
Hal ini tentu saja membuat risiko likuiditas perusahaan meningkat dan juga menjadi salah satu indikator perusahaan yang tidak sehat. Kondisi ini juga membuka perusahaan untuk kembali membuka peluang untuk menambah utang demi membayar utang.
Risiko tingginya hutang tidak bisa diabaikan oleh investor sebab berpengaruh terhadap kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Apalagi jika urusan utang tidak terselesaikan makin mendekatkan perusahaan ke masalah operasional bahkan modal perusahaan untuk bertahan dan berkembang. Artinya tidak hanya Amerika Serikat yang saat ini dihantui risiko gagal bayar (default), UNSP juga berisiko mengalami hal yang sama.
Prospek Minyak Kelapa Sawit Muram
Apalagi pada 2023, prospek harga minyak kelapa sawit diperkirakan akan turun lebih dalam dari posisi saat ini. Sehingga akan berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan penghasil CPO.
Berbagai faktor mendukung pelemahan harga CPO pada 2023. Terjadinya El Nino yang diperkirakan dimulai pada semester kedua 2023 akan menekan harga minyak nabati global.
Secara historis El Nino membuat harga minyak kelapa sawit turun menjadi rata-rata sekitar MYR2.400-2.600 per ton yang terjadi pada 2018-2019.
Selain itu kendala tenaga kerja di Malaysia yang menjadi masalah dan membuat produksi tersendat diperkirakan akan terselesaikan pada 2023. Sehingga produksi diperkirakan akan kembali meningkat.
Belum lagi China sebagai konsumen CPO utama dunia yang ekonominya saat ini lesu. Diketahui, impor China mengalami kontraksi atau -7,9 persen pada April 2023. Penurunan ini memperpanjang penurunan yang sudah terjadi sejak Oktober 2022 lalu.
Selain itu, berdasarkan data resmi Biro Statistik Nasional (NBS) yang dirilis Kamis (9/3/2023), menunjukkan inflasi tahunan (year-on-year/yoy) Februari 2023 tercatat 1%, sekaligus menjadi laju paling lambat sejak Februari 2022. Inflasi itu turun dari bulan sebelumnya sebesar 2,1% yoy.
Inflasi pada Februari juga berada di bawah estimasi dalam jajak pendapat Reuters sebesar 1,9% yoy. Adapun, pemerintah telah menetapkan target inflasi pada 2023 sebesar 3%.
Kondisi tersebut membuat Fitch Ratings memprakirakan harga CPO pada 2023 akan melemah hingga di bawah MYR3.200 per ton atau bisa turun lebih dari 6% dari posisi saat ini di MYR3.403.
Hindari Risiko Tinggi Saham Banyak Hutang
Saat Perusahaan memiliki nilai liabilitas atau hutang yang lebih tinggi dari aset, risiko gagal bayar semakin tinggi dan bahkan skenario terburuk bisa saja mengalami kebangkrutan.
Sehingga ada baiknya investor menghindari perusahaan tersebut karena tidak layak beli menimbang risiko solvensi dan likuiditas UNSP.
Ditambah dari segi makro, sektor minyak nabati diperkirakan akan mengalami turbulensi sepanjang 2023 sehingga harganya menurun dan akan berpengaruh negatif kepada kinerja profitabilitas perusahaan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
