
Emiten Rokok GGRM Masih Secerah Surya atau Menuju 'Sunset'?

- Pandemi covid-19 mengakibatkan penurunan permintaan dan cukai naik, sehingga kinerja dan laba bersih anjlok. Untuk menjaga persediaan kas dan likuiditas, GGRM tidak membagikan dividen 2020.
- Kenaikan cukai lebih dari 10% terjadi dalam tiga tahun terakhir berturut-turut (2020-2022)
- Tidak ada inovasi rokok, tetapi malah ekspansi ke infrastruktur (tol dan bandara)
Jakarta, CNBC Indonesia - PT. Gudang Garam Tbk. atau yang memiliki kode saham GGRM merupakan perusahaan yang bergerak di bidang rokok.
Gudang Garam didirikan tahun 1958 oleh Surya Wonowidjojo dan telah melantai di bursa sejak 27 Agustus 1990 dengan harga IPO Rp10.250 per lembar.
Bisnis
GGRM memiliki beberapa segmen bisnis tahun 2022 yaitu rokok, kertas, infrastruktur. Rokok merupakan segmen pendapatan terbesar dengan kontribusi 98,5%. GGRM menggelontorkan dana sebesar Rp 10 triliun untuk pembangunan tol dengan masa konsensi 50 tahun. Gudang Garam yang notabene bergerak di industri rokok memiliki risiko kegagalan akibat ketidakeselarasan ekspansi.
Selain itu, keputusan perusahaan mengindikasikan bisnis rokok sudah cukup dewasa dan tidak ada potensi inovasi ke depan. Di sisi lain, GGRM juga sedang membangun bandara untuk umroh dengan nilai investasi mencapai Rp 6 triliun.
Pembangunan bandara internasional ini ditujukan untuk mengantar masyarakat Kediri dan sekitarnya untuk melaksanakan ibadah Umroh.
Persentase ekspansi bisnis GGRM ke ranah infrastruktur mencapai 18% dari total aset perusahaan, namun hingga laporan tahunan 2022 belum mencatatkan pendapatan.
Segmen Bisnis
Rokok GGRM terdapat beberapa jenis yaitu sigaret kretek mesin full flavor (SKM FF), sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret kretek mesin low tar nicotine (SKM LTN).
Volume penjualan rokok 2020-2021 mengalami pertumbuhan 1,3 miliar batang atau 1,4%, didukung oleh pertumbuhan SKM FF 3,4 miliar batang. Namun, 6M2021-6M2022 mengalami penurunan volume penjualan 3,7 miliar batang atau 8,1%, disebabkan penurunan SKM FF 3 miliar batang.
Penurunan pendapatan masyarakat akibat pandemi diiringi kenaikan cukai pada produk SKM mempengaruhi penurunan permintaan SKM, berganti menjadi SKT yang lebih murah. SKT sebagai produk yang human intensive memiliki selisih pendapatan yang lebih kecil dibanding dengan SKM yang dikerjakan oleh mesin.
Berdasarkan hal tersebut, data menunjukkan penurunan volume penjualan SKM, sedangkan SKT mengalami peningkatan permintaan. Hal tersebut menjadi faktor penurunan. laba kotor dan gross profit margin (GPM).
Cukai rokok mengalami peningkatan tajam atau lebih dari 10% periode 2020-2022, sehingga PDB industri pengolahan tembakau mengalami pertumbuhan negatif selama 2020-2022 berturut-turut. Sebelumnya, pertumbuhan PDB negative terjadi tahun 2013 dan 2017.
Kenaikan cukai rokok ini juga dikhususkan untuk rokok yang dibuat dengan mesin. Sedangkan, cukai rokok buatan tangan atau SKT tidak mengalami kenaikan seperti rokok mesin, sebab SKT merupakan industri padat karya. Kenaikan cukai SKT dapat menyebabkan PHK dan menurunnya tenaga kerja.
Kinerja Finansial
GGRM mampu meningkatkan pendapatan dari tahun ke tahun sejak 2008-2021. Tahun 2022 merupakan pertama kali perusahaan mengalami penurunan pendapatan. Selain itu, laba bersih GGRM cenderung memiliki tren meningkat sejak 2008-2019.
Namun, laba bersih perusahaan terus menurun dimulai sejak pandemi, ekspansi infrastruktur (jalan tol dan bandara), dan cukai rokok yang terus mengalami kenaikan.
Historis Pembayaran Dividen
Perusahaan konsisten membagikan dividen kepada pemegang sahamnya. Namun, pandemi covid-19 menyebabkan perusahaan harus menjaga persediaan kas sebagai risiko likuiditas. Selain itu, krisis kesehatan yang berdampak ke berbagai sektor juga mempengaruhi kinerja perseroan.
Valuasi Komparasi
Secara valuasi PE ratio GGRM tergolong berada di tengah dan cenderung premium, jika dibanding dengan kompetitor. Secara aset atau PBV, GGRM merupakan yang termurah. Secara EV to EBITDA, GGRM berada di bawah WIIM.
GGRM sebagai salah satu pemegang market share terbesar cenderung lebih mujrah jika dibandingkan dengan HMSP. Namun, dari segi kinerja HMSP memang memiliki kinerja yang jauh lebih baik dari segi efisiensi dan efektivitas.
Kesehatan keuangan GGRM juga cukup baik, namun kas perusahaan untuk membayar utang jangka pendek cukup Pberisiko. Perusahaan harus segera mendapatkan kas segar untuk membayar utang jatuh tempo dalam setahun, baik dari meningkatkan cash flow maupun pinjaman.
Prospek & Risiko
Prospek
- Valuasi murah dan potensi mengembalikan kejayaan sebelumnya
- Harga rokok relatif lebih murah, dapat menjadi subsitusi rokok mahal
Risiko
- Kenaikan cukai SKM
- Tidak ada komitmen perusahaan R&D rokok sehat, malah 'Diworsification' bandara dan tol
Masih layak koleksi atau tidak?
GGRM mengalami penurunan harga dari titik tertingginya Rp 91.725 per lembar (1/03/2019) anjlok 70% lebih menjadi Rp 24.050 per lembar (13/04/2023). Saham GGRM terhitung murah, mengingat perusahaan merupakan salah satu pemimpin industry rokok.
Melihat penurunan harga drastis, investor akan tertarik karena menganggap harga sudah terdiskon. Namun, investor perlu memperhatikan bahwa penurunan harga sahamnya diikuti dengan penurunan kinerja yang cukup signifikan pula.
Pandemi covid-19 mengakibatkan daya beli rokok masyarakat menurun, sehingga beralih ke rokok yang lebih murah. Kenaikan cukai rokok mesin juga mengakibatkan masyarakat beralih ke rokok buatan tangan atau SKT yang tidak mengalami kenaikan cukai seperti rokok mesin.
Penurunan permintaan mengakibatkan GGRM harus lebih berhati-hati dalam mengelola kas dan likuiditas, sehingga tahun 2020 perusahaan absen dalam pembagian dividen.
Ditambah, GGRM yang notabene bergerak di bidang rokok, malah ekspansi bisnis di bidang infrastruktur (jalan tol dan bandara). Ketidakselarasan ini berpotensi mengakibatkan 'diworesification', mengingat investasi yang dikucurkan dengan nominal yang cukup besar.
Akan kah kejatuhan GGRM ini menjadi peluang untuk berinvestasi dan bersinar kembali? Atau malah industri rokok memang sudah 'sunset' dan sudah tidak memiliki peluang?
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBCÂ INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)