Macro Insight

Adu Kuat Manufaktur China, Jepang, AS, Mana Paling Berjaya?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
03 April 2023 14:50
Aktifitas kapal ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (15/3/2021). Bandan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan ekspor dan impor tecatat US$ 15,27miliar atau mengalami kenaikan 8,56% dibandingkan pada Februari 2020 (year-on-year/YoY) yang mencapai US$ 14,06 miliar. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Ekspor- Impor (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
  • Tekanan ekonomi global yang terjadi saat ini berbuntut panjang bagi perekonomian suatu negara.
  • PMI negara di global seperti AS, Eropa, Jepang dan China patut diperhatikan.
  • Jika pertumbuhan PMI masih mengalami perlambatan, maka dapat merugikan mesin ekspor negara tersebut dan punya pengaruh bagi Indonesia.

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri manufaktur dan jasa secara global sempat mencatatkan kinerja yang melambat di tengah suramnya prospek ekonomi global.

Ada banyak negara yang mengalami kontraksi pada Purchasing Managers Index (PMI), beberapa yang menjadi sorotan diantaranya Amerika, Eropa, China dan Jepang.

Inflasi dan suku bunga yang berjalan beriringan terus meningkat saat itu memberikan terkanan terhadap prospek ekonomi global itu sebabnya, sektor manufaktur serta jasa secara global ikut terimbas oleh kondisi tersebut.

Untuk diketahui, International Monetary Fund (IMF) mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2023 menjadi 2,9%.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang mencapai 2,9% pada 2023 tersebut lebih tinggi dari outlook atau proyeksi terakhir mereka pada Oktober 2022 yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,7%.

Oleh karena itu, IMF mengibaratkan prospek pertumbuhan ekonomi global tahun ini tidak akan sesuram seperti perkiraan sebelumnya.

Dengan mulai melandainya inflasi dan suku bunga yang sudah mencapai puncaknya, kondisi manufaktur dan jasa di beberapa negara mulai pulih.

Lantas bagaimana kinerja PMI negara-negara global seperti AS, Eropa, China, dan Jepang? Serta bagaimana prospek kinerja ekspor-impornya dan bagaimana dampaknya bagi Tanah Air.

Jika sektor manufaktur masih tertekan maka akan membebani ekonomi negara tersebut dan bakal berdampak pula pada negara mitra dagangnya.

 

Untuk diketahui, PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawah 50 artinya kontraksi, di atasnya adalah ekspansi.

Dari Amerika Serikat, aktivitas manufaktur kembali mengalami kontraksi pada Maret memperpanjang kontraksi beruntun menjadi 4 bulan.

Meski demikian, kontraksi ini tidak secepat yang diharapkan oleh ekonom dan analis dengan pabrik yang disurvei menyebut saat ini terlihat adanya tanda-tanda peningkatan permintaan dan percepatan kenaikan harga di bulan-bulan mendatang.

Di sisi lain, PMI di zona Eropa telah menurun selama 8 bulan beruntun. Pada Februari PMI zona Eropa tercatat sebesar 48,5 yang artinya masih berada di zona kontraksi.

Berkurangnya tingkat produksi tersebut dipicu oleh penurunan tajam pada permintaan.

Pesanan barang telah berkurang dengan laju yang cepat selama dua bulan terakhir. Permintaan jatuh hampir di seluruh sektor barang mulai dari barang konsumsi, barang investasi, hingga barang setengah jadi.

Hal tersebut dipicu oleh melonjaknya pengeluaran rumah tangga karena harga energi dan pangan melonjak, serta adanya prospek ekonomi yang tidak pasti turut membebani sentimen pasar. Sehingga, konsumen lebih berhati-hati untuk membeli barang.

 

Sementara itu, persediaan bahan baku dan barang yang tidak terjual meningkat karena volume produksi dan penjualan yang lebih rendah.

Sehingga berpotensi akan menjadi hambatan tambahan pada sektor ini dalam beberapa bulan mendatang karena produsen mungkin akan memangkas produksi karena persediaan barang masih banyak.

Sementara itu, aktivitas manufaktur Jepang mengalami kontraksi selama lima bulan berturut-turut di bulan Maret karena produksi dan pesanan baru tetap berada di bawah tekanan.

Jibun Bank flash indeks manajer pembelian manufaktur Jepang (PMI) tercatat berada di 48,6 penyesuaian musiman di bulan Maret, dari 47,7 akhir di bulan sebelumnya.

"Perusahaan manufaktur mengisyaratkan angka suram lebih lanjut pada akhir kuartal pertama, dengan penurunan berkelanjutan baik dalam produksi maupun pesanan baru," kata Usamah Bhatti, ekonom di S&P Global Market Intelligence, yang menyusun survei tersebut dikutip dari Reuters.

Selain itu, data sub-indeks juga menunjukkan bahwa output pabrik dan pesanan baru turun selama 9 bulan berturut-turut tetapi laju kontraksi mereda dari Februari.

Dengan ini, mencerminkan bahwa ada kekhawatiran tentang perlambatan pertumbuhan global yang dapat merugikan mesin ekspor negara tersebut.

 

Kita lihat saja data di atas, belakangan ekspor impor negeri Matahari Terbit ini tak bergairah. Sejak September 2022 Ekspor Jepang berada dalam tren penurunan, meskipun sempat bangkit pada Februari 2023. Namun Impornya terus longsor sejak Oktober 2023.

Sementara itu, China sebagai salah satu mitra dagang Indonesia mencatatkan kinerja manufaktur positif.

Aktivitas ekonomi di China kembali meningkat tajam selama dua bulan berturut-turut, dan mengirimkan sinyal awal bahwa negara tersebut mungkin akan bangkit lebih cepat dari yang diperkirakan setelah sempat terseret akibat pembatasan ketat selama pandemi.

Aktivitas manufaktur naik pada laju tercepat dalam lebih dari satu dekade pada Februari, sementara pesanan ekspor meningkat untuk pertama kalinya dalam hampir dua tahun, Biro Statistik Nasional mengatakan Rabu lewat laporan Purchasing Managers Indeks (PMI).

Kondisi serupa juga terlihat dari survei PMI tidak resmi versi Caixin yang mengukur aktivitas di lebih banyak sektor swasta dan perusahaan kecil juga menunjukkan peningkatan.

Peningkatan terjadi dalam pesanan, harga, pekerjaan dan rantai pasokan, dengan kepercayaan bisnis naik ke level tertinggi sejak Maret 2021.

Meski aktivitas perekonomian dari manufaktur hingga tampaknya telah berbalik tajam di China, efek limpahan ke seluruh Asia masih mungkin relatif masih terbatas.

Akan tetapi, untuk jangka panjang ekonomi China yang diharapkan tumbuh lebih cepat tahun ini dapat memberikan dorongan bagi banyak negara, termasuk Indonesia.

Bagaimana Dengan PMI Indonesia?

Penurunan kinerja manufaktur Indonesia pada Februari dinilai belum menjadi sinyal bahaya bagi ekspansi sektoral pada 2023. Bagaimanapun, kalangan pengusaha tetap waswas dengan potensi turunnya permintaan domestik yang dapat mempengaruhi kinerja industri secara agregat.

Berdasarkan laporan S&P Global, Purchasing Manager's Index (PMI) Indonesia pada Februari 2023 berada di level 51,2 yang merefleksikan industri manufaktur di dalam negeri masih sanggup melanjutkan ekspansi selama 18 bulan berturut-turut.

Akan tetapi, capaian tersebut turun tipis 0,1 poin dari bulan sebelumnya di level 51,3 atau saat kinerja manufaktur Indonesia menguat 0,4 poin dari Desember di level 50,9.

Indeks PMI di atas 50 menunjukkan adanya geliat ekspansi industri di dalam negeri, sedangkan di bawah ambang tersebut merefleksikan kontraksi terhadap kinerja manufaktur.

Berdasarkan data ini, para analis dan banyak pelaku pasar masih optimistis terhadap kondisi perekonomian di Tanah Air. Walakin, pemerintah tetap perlu memberikan perhatian khusus agar pebisnis tetap melakukan ekspansi usahanya.

Setidaknya ada dua faktor yang perlu diperhatikan oleh pemerintah terkait dengan ekspansi kinerja manufaktur hingga akhir tahun ini yakni faktor permintaan dari pasar domestik dan daya beli masyarakat.

Faktor ini menjadi penting karena mayoritas industri manufaktur nasional memiliki orientasi pasar domestik, bukan ekspor.

Selain itu,faktor akumulasi peningkatan beban usaha yang berkaitan dengan kebijakan pengendalian inflasi, nilai tukar, suku bunga, logistik, serta harga komoditas global. PMI manufaktur yang sedikit melemah saat ini terjadi lantaran pelaku usaha ingin mengantisipasi adanya efek negatif inflasi terhadapappetitekonsumsi dan daya beli masyarakat.

Jika melihat data terakhir, setidaknya ada beberapa catatan positif dari rilis tersebut. Permintaan dari dalam negeri dilaporkan semakin membaik yang membuat sektor manufaktur terus melakukan ekspansi secara moderat. Kemudian masalah rantai pasokan mulai teratasi serta tekanan inflasi mereda.

Suplier juga mengirimkan barang dalam waktu yang lebih singkat, ini menjadi yang pertama dalam satu tahun terakhir. Biaya produksi juga mulai melandai, keduanya merefleksikan tekanan harga dari sisi supply yang menurun.

Menilik Ekpor-Impor Indonesia

Kinerja ekspor Indonesia pada Februari 2023 lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Dengan demikian, tren merosotnya nilai ekspor Indonesia telah berlangsung selama enam bulan berturut-turut.

Badan Pusat Statistik merilis, Rabu (15/3/2023), nilai ekspor pada Februari 2023 sebesar US$ 21,4 miliar. Nilai tersebut lebih rendah 4,15% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 22,32 miliar.

Sementara itu, nilai impor pada Februari 2023 sebesar US$ 15,92 miliar. Angka ini lebih rendah 13,68% dibandingkan dengan bulan Januari 2023 yang sebesar US$ 18,44 miliar.

Penurunan itu lebih dalam dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 7,15%

Meski demikian, dengan kinerja ekspor impor tersebut neraca perdagangan pada Februari 2023 mengalami surplus sebesar US$ 5,48 miliar. Surplus tersebut telah terjadi selama 34 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

Banyak analis yang menilai bahwa surplus neraca perdagangan ke depannya cenderung menyusut lantaran kinerja ekspor terdampak penurunan harga komoditas. Meskipun demikian, ada peluang yang dapat dimanfaatkan dari pemulihan ekonomi China.

Tekanan sektor manufaktur di beberapa negara mau tidak mau memberikan dampak terhadap Indonesia. Kinerja ekspor Indonesia bakal diuji di bulan-bulan mendatang, sering perubahan aktivitas manufaktur di negara tujuan yang bervariasi.

China yang sedang mempertahankan pemulihan, AS dan zona Eropa yang masih berada di zona kontraksi, sementara Jepang menunjukkan penurunan cukup membuat Indonesia ketar-ketir.

Dari negara-negara ini nyatanya kabar positif datang dari China. Rekaman aktivitas manufaktur di China ini tentu saja menjadi kabar baik warga nusantara. China adalah negara tujuan ekspor paling besar Indonesia, sehingga apapun yang terjadi di sana mempengaruhi kinerja ekonomi nasional.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation