Sectoral Insight

China - Malaysia Kerjasama Soal CPO, RI Gak Diajak?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
03 April 2023 12:45
Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). Badan Pusat Statistik BPS  mengumumkan neraca Perdagangan (Ekspor-impor) Pada bulan Februari, nilai ekspor mencapai US$ 12,53 miliar, atau turun 11,33% dari tahun sebelumnya (YoY). Nilai ekspor minyak sawit sepanjang Januari-Februari 2019 hanya mencapai US$ 2,94 miliar, yang artinya turun 15,06% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018.  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Indonesia masih bercokol diposisi pertama sebagai produsen komoditas sawit dan minyak sawit mentah hingga saat ini.
  • Kendati demikian, Malaysia masih menjadi kunci dan belum tergantikan dalam menentukan harga komoditas sawit dan CPO dunia.
  • Bahkan kabar terbaru China tengah menjalin kerjasama dengan Malaysia dalam eksplorasi teknologi dalam mekanisasi kelapa sawit di Malaysia.

Jakarta, CNBC Indonesia - Menduduki posisi paling atas dalam suatu kompetisi tentu menjadi hal yang membanggakan. Nyatanya Indonesia berhasil bercokol di posisi pertama sekaligus juara bertahan sebagai produsen komoditas sawit dan minyak sawit mentah alias CPO sejak 2006 hingga saat ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa produksi sawit Indonesia mencapai 45,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 3,61% per tahun.

Hal tersebut menjadi prestasi baik bagi Indonesia. Kendati demikian nyatanya pencapaian ini belum cukup membanggakan. Malaysia memang sudah kalah dari Indonesia dalam memproduksi sawit dan CPO dunia, tetapi sampai saat ini Malaysia masih menjadi kunci dan belum tergantikan dalam menentukan harga komoditas sawit dan CPO dunia.

Kondisi ini tentu saja sangat tidak menyenangkan dan tidak menguntungkan bagi Indonesia. Salah satu contoh tidak diuntungkannya Indonesia tercermin dari fenomena ekonomi naik turunnya harga minyak goreng di Tanah Air, bahkan terkesan sulit dikendalikan.

Ternyata keberadaan produksi sawit dan CPO dalam negeri yang melimpah kurang berdaya untuk mengontrol dan menekan kenaikan harga minyak goreng dan menjadikan harganya menjadi murah.

Penyebab mengapa penentuan harga CPO dunia berada di bawah kendali Malaysia adalah riwayat negara tersebut sudah pernah tercatat dan diakui sebagai produsen sawit dan CPO terbesar di dunia dalam jangka waktu yang cukup lama.

Malaysia menentukan harga komoditas sawit dan CPO dunia, termasuk untuk Indonesia melalui Bursa Malaysia Derivatives (BMD). BMD sendiri sudah memiliki riwayat dalam perdagangan CPO sejak 1980.

Keberadaan serta peran dari BMD menyebabkan harga CPO dunia salah satunya ditetapkan dan mengacu kepada mata uang ringgit Malaysia. Selain itu harga komoditas sawit dan CPO juga ditentukan oleh dollar Amerika Serikat.

Di sisi lain yang menyebabkan Indonesia tetap berada di bawah bayang-bayang Malaysia adalah begitu banyaknya perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berasal dari Malaysia. Berdasarkan data BPKM sejak 2015 hingga 2021, investor-investor perkebunan sawit tersebut menghasilkan nilai investasi yang mencapai US$ 9,5 miliar.

China Memilih Malaysia Untuk Kerjasama

Malaysia telah menandatangani nota kesepahaman dengan asosiasi perdagangan yang didukung pemerintah China untuk meningkatkan perdagangan dan kerja sama minyak sawit pada Minggu (2/3/2023).

Dewan Minyak Sawit Malaysia mengatakan kemitraannya dengan Kamar Dagang Impor dan Ekspor China untuk Bahan Makanan, Produk Asli dan Produk Sampingan Hewan akan membantu Malaysia mendapatkan kembali pangsa pasar di negara terpadat di dunia.

Malaysia, produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia, dan China, pembeli terbesar kedua di dunia, akan bersama-sama mempromosikan penggunaan minyak sawit berkelanjutan Malaysia di China, serta desain dan implementasi teknologi baru seperti kecerdasan buatan di kelapa sawit. perkebunan.

"China ingin bekerja sama dengan Malaysia untuk mengamankan pasokan minyak sawit ke negara itu akan membantu mendapatkan kepercayaan China terhadap minyak sawit Malaysia." kata dewan Malaysia dalam sebuah pernyataan dikutip dari Reuters.

Perjanjian tersebut akan memfasilitasi partisipasi China dalam eksplorasi teknologi dalam mekanisasi kelapa sawit di Malaysia, yang akan membantu meningkatkan produktivitas dan mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manusia di perkebunan.

Untuk diketahui, pada 2022, Malaysia mengekspor 1,7 juta ton minyak sawit dan produk sawit ke China, angka ini naik 5,83% dibandingkan tahun 2021 dan menjadikan China sebagai mitra dagang terpenting untuk minyak nabati setelah India.

Namun, memang China kerap menjalin kerjasama dengan negara produsen CPO seperti China dan Indonesia. Wajar saja, China merupakan salah satu konsumen terbesar untuk CPO.

Pada akhir tahun lalu, Indonesia dengan China juga telah menandatangani kontrak untuk membeli produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya. Nilai ekspor CPO yang diteken tersebut mencapai US$ 2,6 miliar setara Rp 40,3 triliun (kurs Rp 15.500).

Nota kesepahaman kerja sama perdagangan ditandatangani oleh China Chamber of Commerce for Import and Export for Foodstuffs, Native Produce & Animal By-Products (CFNA) dengan empat Asosiasi produk kelapa sawit Indonesia dan turunannya.

Agenda penandatanganan kontrak dagang yang dilakukan di Kementerian Perdagangan meneken pembelian 1 juta ton produk CPO. Di mana angka itu telah direncanakan sebelumnya saat pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Presiden China Xi Jinping.

Namun memang, memfasilitasi partisipasi China dalam eksplorasi teknologi dalam mekanisasi kelapa sawit di Malaysia, yang akan membantu meningkatkan produktivitas cukup membuat iri produsen sawit nomor satu di dunia ini.

Apalagi, produksi sawit di Indonesia juga tak luput dari permasalahan menyusutkan produksi.

Sehingga kondisi ini menjadikan alasan bahwa Indonesia berada di posisi yang tidak bisa berbuat apa-apa atas produk unggulan yang dihasilkannya.

Oleh sebab itu, baru-baru ini pemerintah kerap kali menggaungkan soal hilirisasi. Kalau menilik roadmap hilirisasi tersebut membutuhkan invetasi yang bersar, angkanya mencapai angka US$ 545,3 miliar atau serata dengan Rp 8.200 triliun hingga 2024 mendatang.

Untuk hilirisasi sebenarnya bukan Cuma soal nikel. Tercatat ada 21 komoditas yang ditetapkan Pemerintah Indonesia untuk dilakukan hilirisasi itu, yakni batu bara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi baja, emas perak, aspal, minyak bumi, gas, sawit, kelapa, karet, buofuel, kayu log, getah pinus, udang, perikanan, kepiting, rumput laut, dan garam.

Hilirisasi yang dimaksud adalah kegiatan mendorong pelaku industri kelapa sawit dalam negeri dan pemerintah daerah sentra sawit nasional untuk dapat mengolah CPO ke dalam beberapa sub-produk lain yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dan menguntungkan.

Jika ke depan hirilisasi ini dapat berjalan, maka Indonesia dapat mengurangi pasokan ekspor CPO. Jika Indonesia berhasil memainkan praktik hilirisasi ini, maka pemenuhan terhadap kebutuhan CPO dunia akan melambat.

Saat tiba waktunya maka dunia mau tidak mau akan meminta Indonesia untuk melepas dan melakukan ekspor CPO. Saat hal itu terjadi, Indonesia berada pada posisi kedudukan yang kuat untuk dapat meraih kesempatan menjadi penentu patokan harga CPO dunia ke dalam rupiah.

Keuntungan lain yang diperoleh dari hilirisasi ini adalah dapat meningkatkan penerapan CPO di pasar domestik.

Beberapa strategi kebijakan di atas mungkin dapat diterapkan pemerintah agar Indonesia dapat sepenuhnya mengungguli Malaysia dalam produksi sawit dan CPO sekaligus merebut dominasi Malaysia sebagai penentu harga CPO dunia.


CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation