Bursa saham Indonesia sudah ambles pada awal perdagangan kemarin. Per pukul 09:30 WIB, IHSG merosot 0,94% ke posisi 6.723,44.
Setidaknya 38 saham yang terpantau ambles dan sudah menyentuh batas auto reject bawah (ARB) pada perdagangan sesi I. Di antaranya adalah M Cash Integrasi dan NFC Indonesia, dua saham yang terkait erat dengan dunia digital.
Senada dengan IHSG, bursa Asia-Pasifik juga menjadi lautan merah. Indeks Hang Seng Hong Kong ambruk 2,27%, Shanghai Composite turun 0,72%, dan KOSPI Korea Selatan jeblok 2,56%.
Indeks Nikkei 225 Jepang ambles 2,67%, Straits Times Singapura jatuh 0,08%, dan ASX 200 Australia terkoreksi 1,41%.
Dari pasar mata uang, nilai tukar rupiah mengakhiri perdagangan di posisi Rp 15.380/US$, melemah 0,13% di pasar spot.
Pelemahan ini berbanding terbalik dengan penguatan tajam pada perdagangan Senin (13/3/2023) di mana rupiah melesat 0,55%.
Pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh ambruknya IHSG. Dari faktor eksternal, rupiah sebenarnya mendapat suntikan sentimen positif yang sangat besar.
Pasca kolapsnya SVB, The Fed diprediksi tidak akan agresif lagi menaikkan suku bunga. Apalagi sektor perbankan sedang mengalami tekanan.
Bank investasi Goldman Sachs bahkan memprediksi The Fed tidak akan lagi menaikkan suku bunga.
"Melihat tekanan yang terjadi di sistem perbankan, kami tidak lagi memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga pada 22 Maret mendatang," kata Jan Hatzius, ekonom Goldman Sachs dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International.
Sementara itu, imbal hasil Surat Utang negara (SUN) tenor 10 tahun menguat sangat tajam yakni 102 points ke 6,79% kemarin. Posisi tersebut adalah yang terendah sejak 24 Februari 2023.
Imbal hasil SBN berkebalikan dengan harga. Imbal hasil yang menurun menandai SBN tengah dicari dan dibeli sehingga harganya naik.
Dengan harga yang naik, imbal hasil pun akan menurun.
Pada lelang SUN kemarin, penawaran yang datang dari investor juga melonjak tajam. Penawaran yang datang menembus Rp 52,66 triliun atau meningkat 14,5% dari Rp 45,97 triliun pada lelang dua pekan lalu.
Dari Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street akhirnya bangkit setelah menjalani periode berdarah-darah. Pada penutupan perdagangan Selasa (14/3/2023), bursa utama Wall Street kompak menguat.
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup menguat 336,26 point atau 1,06% ke posisi 32.155,4. Dow Jones bangkit setelah ditutup di zona merah pada lima hari perdagangan sebelumnya.
Indeks S&P menguat 64,8 poin atau 1,68% ke 3.920,56 sementara indeks Nasdaq terbang 239,31 point atau 2,14% ke posisi 11.428,15.
Kebangkitan bursa Wall Street menjadi kabar gembira setelah bursa hancur lebur pada akhir pekan lalu dan mayoritas ambruk pada Senin (13/3/2023).
Bursa Wall Street langsung bergerak di zona hijau begitu dibuka pada Selasa malam waktu Indonesia.
Meredanya kekhawatiran pasar mengenai krisis SVB dan Signature Bank, aksi barian buying, serta melandainya inflasi AS pada Februari menjadi penopang positif bagi pergerakan Wall Street.
Berbeda dengan hari sebelumnya, banyak saham perbankan yang diborong investor. SPDR S&P Regional Banking ETF (KRE) menguat 2% kemarin setelah ambruk 12% pada hari sebelumnya.
Kenaikan ditopang oleh membaiknya kinerja saham bank seperti First Republic Bank(FRC). Saham FRC terbang hampir 27% kemarin padahal hari sebelumnya ambruk 61,8%.
Saham Keycorb juga melonjak hampir 6% kemarin setelah anjlok 27% pada hari sebelumnya.
Pada Senin kemarin, perdagangan beberapa saham perbankan bahkan harus dihentikan beberapa kali karena volatilitas yang sangat tajam.
"Market memiliki waktu dan kesempatan untuk menggali informai mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada dua hari sebelumnya," tutur Matthew Keator, managing partner Keator Group, dikutip dari Reuters.
Menurutnya pasar percaya diri dengan apa yang dilakukan pemerintah dan otoritas keuangan dalam menyelesaikan krisis SVB. Kekhawatiran sempat melanda nasabah dan investor SVB setelah bank berencana mengumpulkan dana untuk menambah modal.
Kondisi ini membuat simpanan SVB terkuras sehingga kekurangan dana segar. Bankpun akhirnya kolaps pada Jumat pekan lalu. Setelah bank tutup, nasabah juga panik karena sempat kesulitan menarik dana mereka.
"Investor melihat jika upaya pemerintah dan otoritas keuangan (dalam menyelesaikan krisis). Mereka melihat krisis bisa diatasi sehingga dengan sendirinya pasar menguat," imbuhnya.
Seperti diketahui, Presiden AS Joe Biden menegaskan jika pemerintah akan melakukan apapun untuk mencegah meluasnya dampak krisis SVB.
Biden juga memastikan jika dana nasabah aman.
Sebelumnya Menteri Keuangan Janet Yellen, Chairman The Fed Jerome Powell, dan Chairman Lembaga Penjamin Simpanan AS FDIC Martin Gruenberg juga memastikan dana nasabah aman.
Meredanya gejolak di bursa AS juga ditopang tingkat inflasi yang melandai. Departement Tenaga Kerja AS, Selasa malam waktu Indonesia, mengumumkan inflasi AS mencapai 0,4% (month to month/mtm) pada Februari 2023.
Inflasi melandai tipis dibandingkan pada Januari 2023 yang tercatat 0,5%.
Secara tahunan, inflasi menembus 6% pada bulan lalu atau melandai dibandingkan 6,4% pada Januari 2023. Inflasi pada Februari tahun ini adalah yang terendah sejak September 2021.
Sementara itu, inflasi inti masih sangat tinggi yakni 5,5% (yoy) pada Februari 2023. Inflasi inti hanya turun tipis dibandingkan pada Januari yang tercatat 5,6%.
Inflasi akan menjadi pertimbangan The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga pada 21-22 Maret mendatang.
Dengan inflasi yang melandai dan adanya krisis SVB, pelaku pasar kini meyakini jika The Fed tidak akan agresif lagi. The Fed diperkirakan hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps.
Investor perlu mencermati sejumlah sentimen yang diperkirakan menggerakkan pasar keuangan Tanah Air pada hari ini, baik yang datang dari dalam negeri ataupun luar negeri.
Meredanya gejolak di bursa Wall Street dan data inflasi AS akan menjadi sentimen utama dari luar negeri.
Sementara itu, data neraca perdagangan Februari, prospek pertumbuhan ekonomi yang baik, Rapat Dewan Gubernur BI, dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sejumlah perusahaan akan menopang sentimen dari dalam negeri.
Kembali hijaunya Wall Street diharapkan bisa meredakan kekhawatiran investor yang meningkat pada hari sebelumnya. Sektor keuangan pada bursa saham Indonesia yang ambles pada perdagangan Selasa kemarin diharapkan rebound pada hari ini.
Terlebih, pemerintah maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memastikan bahwa sistem perbankan nasional kuat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan apa yang dihadapi SVB dan Signature Bank berbeda dengan Lehman Brothers pada Krisis Keuangan Global 2008/2009.
Dampak krisis kedua bank diperkirakan tidak akan sebesar Lehman Brothers di mana pada 2008 menimbulkan tsunami tumbangnya bank-bank di AS.
Namun, dia mengingatkan jika krisis SVB harus menjadi pelajaran penting karena bank dengan skala apapun bisa menimbulkan gelombang kepanikan yang berujung krisis.
"Ini tidak akan menimbulkan seperti Lehman Brothers moment saat 2008, tentu kita berharap Amerika Serikat bisa stabilkan sektor keuangan. Ini pelajaran yang harus kita lihat, bahwa bank yang kecil dalam posisi tertentu bisa menimbulkan persepsi sistemik," kata Sri Mulyani, pada konferensi pers APBN KITA, Selasa (14/3/2023).
Menyusul terjadinya krisis SVB dan Signature Bank, lembaga rating Moody's Investors Service memangkas outlook sistem perbankan AS menjadi negatif dari stabil.
"Kami mengubah outlook menjadi negatif dari stabil. Outlook menandai kemerosotan yang sangat tajam pada lingkungan operasional menyusul penarikan dana besar-besaran pada Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank (SNY)," tulis Moody's dalam laporannya.
Selain meredanya kepanikan di Wall Street, inflasi AS yang melandai akan menjadi modal positif bagi pergerakan pasar hari ini.
Inflasi AS yang melandai menjadi 6% (yoy) pada Februari 2023 diperkirakan akan membuat The Fed melunak. Inflasi sebesar 6% adalah yang terendah sejak September 2021 atau 17 bulan terakhir. Kendati melandai, inflasi masih jauh dari target The Fed di kisaran 2%.
Pasar kini berekspektasi The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps pada pekan depan.
Pada pekan lalu, Powell menegaskan jika The Fed akan tetap agresif dengan menaikkan suku bunga lebih besar dalam periode yang lebih panjang.
Namun, dengan inflasi yang melandai dan krisis SVB maka agresivitas The Fed diproyeksi berkurang. The Fed sudah mengerek suku bunga hingga 450 bps sejak Maret 2022 menjadi 4,5-4,75%.
Malam nanti, AS juga akan merilis dua data penting yakni penjualan eceran dan indeks harga produsen (IPP) Februari.
IPP diproyeksi melandai ke 5,5% (yoy) dari 6% (yoy) pada Januari 2023. Sementara itu, IPP diharapkan melandai ke 3,2% pada Februari 2023 dari 6,4% (yoy).
Sama dengan inflasi, IPP dan penjualan eceran juga akan menjadi pertimbangan The Fed dalam menentukan suku bunga.
Dari dalam negeri, sejumlah agenda penting akan digelar. Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini akan mengumumkan data neraca perdagangan Februari 2023.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Februari 2023 sebesar US$ 3,2 miliar.
Surplus tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Januari 2023 yang mencapai US$ 3,87 miliar.
Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor masih akan tumbuh 4% (year on year/yoy) sementara impor meningkat 4,2%.
Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 34 bulan beruntun.
Ekspor Indonesia diproyeksi melemah karena harga komoditas yang turun serta melemahnya permintaan global, terutama dari China.
Sebaliknya impor diproyeksi melonjak sejalan dengan persiapan produsen meningkatkan kapasitas produksi menjelang Ramadan dan Lebaran.
Jika surplus dan ekspor turun lebih besar dari proyeksi maka pasar diperkirakan akan menyambutnya dengan negatif.
Pasalnya, ekspor dan surplus yang melandai bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi ke depan. Juga, membuat cadangan devisa berkurang sehingga rupiah bisa tertekan.
Hari ini, BI juga mengawali dua hari RDG dan akan mengumumkan kebijakan moneternya besok Kamis (16/3/2023).
Kubu MH Thamrin diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% pada bulan ini.
Melandainya inflasi AS dan krisis SVB akan membantu BI dalam mempertahankan kebijakan suku bunga karena The Fed kemungkinan tidak akan agresif.
Sebagai catatan, BI sudah mengerek suku bunga sebesar 225 bps sejak Agustus 2022 menjadi 5,75%.
Sentimen positif lain datang dari prospek ekonomi Indonesia. Sri Mulyani optimis jika ekonomi Indonesia akan tumbuh di atas 5% pada kuartal I-2023.
Ekonomi Indonesia sempat melemah dengan hanya tumbuh 5,01% (yoy) pada kuartal IV-2022 setelah tumbuh 5,73% (yoy) pada kuartal III-2022.
"Untuk kuartal I 2023 pertumbuhannya cukup bagus. Setidaknya bisa tumbuh 5%, meskipun kita tetap mewaspadai kinerja ekspor mengalami koreksi dari sisi level pertumbuhannya cukup tinggi," tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Selasa (14/3).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memungkinkan perusahaan untuk menargetkan penjualan dan laba yang lebih tinggi. Kondisi ini tentu saja menguntungkan investor di bursa saham.
Hari ini, sejumlah perusahaan juga akan menggelar RUPS. Di antaranya adalah PT Bank Negara Indonesia, PT Surya Esa Perkasa, dan PT Rencana Perdana Bangun Pusaka.
RUPS BNI akan menjadi sorotan mengingat besarnya laba perusahaan pada tahun lalu. Laba bersih BNI melonjak 40,68% pada 2022 menjadi Rp 4,26 triliun. Investor kini menunggu berapa dividen yang akan dibagi serta langkah perusahaan ke depan.
Agenda ekonomi:
* Presiden Joko Widodo akan menghadiri pertemuan mengenai Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri /P3DN (09:00 WIB)
* Badan Pusat Statistik akan mengumumkan data neraca perdagangan Februari 2023 (11:00 WIB)
* Bank Indonesia akan menggelar Rapat Dewan Gubernur selama dua hari (Rabu dan Kamis)
* Amerika Serikat akan mengumumkan data penjualan eceran untuk Februari 2023 (19:30 WIB)
* Amerika Serikat akan mengumumkan indeks harga produsen Februari (19:30 WIB)
Agenda perusahaan:
* RUPS PT Surya Esa Perkasa (15:00 WIB)
* RUPS PT Rencana Perdana Bangun Pusaka (15:30 WIB)
* RUPS PT Bank Negara Indonesia (16:30 WIB)
Berikut indikator ekonomi Indonesia:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q 4-2022 YoY) | 5,01% |
Inflasi (Februari 2023 YoY) | 5,47% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2023) | 5,75% |
Surplus Anggaran (APBN Februari 2023) | Rp 131 triliun (0,63% PDB) |
Surplus Transaksi Berjalan (Q4 2022) | 1,3% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4 2022) | US$ 4,7 miliar |
Cadangan Devisa (Februari 2023) | US$ 140,3 miliar |
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]