Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air kemarin mampu mencatatkan kinerja menggembirakan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona hijau, rupiah ikut menguat, dan SBN kembali ramai diborong. Mampukah pasar keuangan melanjutkan kinerja cemerlangnya di akhir pekan?
Pada perdagangan Kamis (24/11/2022), IHSG berakhir di zona hijau dengan apresiasi 0,37% atau 26,39 poin, ke 7.080,52. Sejak perdagangan dibuka indeks sudah terpantau naik dan terus konsisten menguat hingga penutupan perdagangan.
Indeks Tanah Air nyatanya mendapat katalis positif dari bursa saham Amerika Serikat (AS) yang ditutup melesat.
Dow Jones Industrial Average naik 95,96 poin atau 0,28% menjadi 34.195,11. S&P 500 naik 0,59% menjadi ditutup pada 4.027,28 dan Nasdaq Composite meningkat 0,99% menjadi 11.285,32.
Menghijaunya IHSG tak lepas dari risalah The Fed yang membawa angin segar bagi pelaku pasar. The Fed memberikan sinyal akan mengendurkan laju kenaikan suku bunga untuk Desember mendatang.
Nilai transaksi IHSG kemarin cukup ramai yakni mencapai Rp 10,7 triliun dan melibatkan 40,44 miliar saham dan berpindah tangan 1,16 juta kali. Investor asing juga tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) senilai Rp 381,77 miliar di pasar reguler.
Sementara itu, mayoritas saham terpantau masih mengalami penurunan. Statistik perdagangan mencatat ada 270 saham yang mengalami penurunan dan 253 saham yang naik, serta sisanya sebanyak 179 saham stagnan.
Sementara sektor penopang penguatan IHSG dipimpin oleh sahahm real estate, kemudian diikuti dengan saham healthcare, finansial, industri, basic material, dan konsumer non-primer.
Kemarin, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya, yakni mencapai Rp 795,2 miliar. Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 549,5 miliar dan saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) di posisi ketiga sebesar Rp 471,4 miliar.
Selanjutnya, Mata uang Garuda sukses menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (24/11). Dengan begitu, rupiah telah menguat selama tiga hari beruntun.
Mengacu pada data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan rupiah terapresiasi 0,35% ke Rp 15.630/US$. Kemudian, rupiah memangkas penguatannya menjadi 0,29% ke Rp 15.640/US$ pada pertengahan hari.
Penguatan rupiah tersebut terjadi karena indeks dolar AS melemah di pasar spot. Indeks dolar AS terpantau melemah 0,24% ke posisi 105,83, sehingga membuka peluang penguatan Mata Uang Tanah Air.
Terakhir, Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup cenderung bervariasi pada perdagangan Kamis (24/11/2022). Sikap investor di pasar SBN pada hari ini cenderung beragam, di mana di SBN tenor 5, 15, dan 20 tahun masih ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield).
Sedangkan untuk SBN tenor 10 dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 5 tahun turun cukup signifikan sebesar 10,7 basis poin (bp) ke posisi 6,452%.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) berbalik naik 3,8 bp menjadi 6,984%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Sebagai informasi, pasar akan tutup pada hari Kamis untuk liburan Thanksgiving dan akan tutup lebih awal pada hari Jumat.
Sementara itu, pelaku pasar diperkirakan masih terbawa suasana 'happy' pasca risalah The Fed yang membawa angin segar.
Dalam rilis risalah rapat kebijakan moneter edisi November para pejabat The Fed sepakat untuk segera mengendurkan laju kenaikan suku bunga.
Bank sentral paling powerful di dunia ini akan kembali mengadakan rapat kebijakan moneter pada pertengahan Desember mendatang. Pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% - 4,5% dengan probabilitas sebesar 75%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group.
Seperti diketahui, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sebelumnya sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin empat kali beruntun hingga suku bunga saat ini menjadi 3,75% - 4%.
Risalah tersebut juga menunjukkan dengan kenaikan suku bunga yang lebih kecil, para pejabat The Fed bisa mengevaluasi dampak dari kenaikan agresif sebelumnya.
Sebelumnya harapan akan mengendurnya The Fed muncul setelah tingkat pengangguran di Amerika Serikat mengalami kenaikan pada Oktober, sementara inflasi menurun.
Mengacu pada FedWatch, sebanyak 75,8% analis memprediksikan adanya kenaikan sekitar 50 bps dan akan mengirim tingkat suku bunga acuan Fed menjadi 4,25%-4,5%.
Meski The Fed akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, bukan berarti tekanan bagi rupiah selesai. Memang tekanan akan sedikit berkurang, tetapi kenaikan suku bunga The Fed seberapa pun itu tetap menjadi penekan rupiah.
Pelaku pasar dalam beberapa hari terakhir sudah memprediksi The Fed akan menaikkan 50 basis poin bulan depan, dan rupiah masih tetap sulit menguat.
Selain itu, yang menjadi fokus utama sebenarnya bukan berapa basis poin kenaikan, tetapi seberapa tinggi suku bunga The Fed di akhir periode pengetatan moneter.
Selain itu, data klaim pengangguran datang lebih tinggi dari yang diharapkan yakni tercatat sebesar 240.000 untuk pekan yang berakhir 19 November, di mana ekonom yang disurvei oleh Dow Jones memperkirakan 225.000.
Ini menandakan bahwa pasar tenaga kerja mungkin melemah. Namun, pada saat yang sama, pesanan barang tahan lama untuk bulan Oktober lebih kuat dari yang diperkirakan, sebesar 1%, lebih tinggi dari perkiraan 0,5%.
Tanda-tanda tersebut menunjukkan bahwa ekonomi AS mulai melambat karena efek dari keagresifan the Fed dalam menaikkan suku bunga acuannya pada tahun ini. Di sepanjang tahun ini, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan hingga 375 bps dan mengirim tingkat suku bunga Fed ke 3,75%-4%.
Di sisi lain, investor juga tengah mengamati perkembangan kasus Covid-19 di China. Ia kembali melaporkan lebih dari 31.000 infeksi Covid pada hari Rabu, termasuk kasus tanpa gejala. Angka ini melampaui level tertinggi 29.317 yang terlihat pada pertengahan April, selama penguncian Shanghai, menurut perhitungan CNBC dari data Wind Information.
Namun, infeksi Covid harian dengan gejala tetap jauh di bawah angka tertinggi yang terlihat pada bulan April. Hampir 90% atau lebih dari total kasus Covid yang dilaporkan dalam beberapa hari terakhir tidak menunjukkan gejala.
Seperti sebelumnya, investor harus memantau perkembangan dengan hati-hati karena pelaksanaan rencana pembukaan kembali yang setia akan menjadi kunci prospek investasi
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
- Rilis inflasi Jepang (06:30)
- Rilis data produksi mobil Inggris (07:01)
- Rilis data IKK Jerman periode Desember (02:00)
- Rilis PBD Jerman kuartal-III (02:00)
- Pidato pejabat The Fed (03:50)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- Pemberitahuan RUPS Rencana PT Berkah Beton Sadaya Tbk (BEBS)
- Pemberitahuan RUPS Rencana PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk (BIPI)
- Tanggal Pembayaran Dividen Tunai Interim PT Batavia Prosperindo Internasional Tbk (BPII)
- Tanggal Pembayaran Dividen Tunai Interim PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS)
- Pemberitahuan RUPS Rencana PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IPCC)
- Pemberitahuan RUPS Rencana SUMBER ENERGI ANDALAN Tbk (ITMA)
- Pemberitahuan RUPS Rencana PT Mandala Multifinance Tbk (MFIN)
- Pemberitahuan RUPS Rencana PT Nusa Palapa Gemilang Tbk (NPGF)
- Tanggal DPS Dividen Tunai Interim PT Surya Pertiwi Tbk (SPTO)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA