Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) misalnya, sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
Langkah agresif tersebut dilakukan guna menurunkan inflasi yang saat ini masih berada di dekat level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Jika inflasi tidak juga turun, maka stagflasi yang akan terjadi, dan ini lebih buruk ketimbang resesi.
Tidak seperti resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka. Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an di Amerika Serikat (AS), dan belum lagi pernah terjadi.
Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.
Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah.
Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau 'mati pelan-pelan'.
Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya biasanya berkebalikan.
Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses memprediksi krisis finansial 2008, kini memproyeksikan resesi akan menghantam Amerika Serikat di akhir 2022 sebelum menyebar secara global tahun depan.
"Ini tidak akan menjadi resesi yang singkat dan dangkal, ini akan menjadi resesi yang parah, panjang dan buruk," kata Roubini, sebagaimana dilansir Fortune, Rabu (21/9/2022).
Ia melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, dilihat dari tingginya utang negara dan korporasi. Menurut Roubini angka rasio jumlah utang swasta dan publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global yang telah melonjak dari 200% pada 1999 menjadi 350% tahun ini.
Artinya ada risiko resesi yang terjadi gabungan antara 1970an dan 2008, dan ini bisa sangat mengerikan.
Dalam artikel Majalah Time yang terbit Kamis (13/10/2022), Dr. Doom mengatakan dunia akan menuju "kebangkrutan besar-besaran dan krisis finansial yang berlarut-larut".
Reuters pada Juli lalu merangkum beberapa negara yang sudah bangkrut dan memiliki risiko kebangkrutan dan krisis yang besar.
Lebanon sudah resmi mengalami kebangkrutan. September lalu dikabarkan sudah setuju melakukan 10 poin reformasi guna mendapat bantuan dari Dana Moneter International (IMF) senilai US$ 3 miliar.
Sri Lanka juga sedang bernegosiasi dengan IMF mengenai dana bailout senilia US$ 2,9 miliar, yang diperkirakan akan cari Desember mendatang. Sri Lanka juga sudah resmi mengalami kebangkrutan
Argentina kembali menjadi pasien IMF awal tahun ini, untuk menggantikan program yang gagal pada 2018. IMF menyetujui review kedua dari program fasilitas pembiayaan tambahan senilai US$44 miliar, tanpa meminta syarat pencairan apapun.
IMF juga sudah menyetujui pencairan senilai US$3.8 miliar, sehingga menambah total pinjaman sekitar US$17.5 miliar dari plafon.
Tunisia mengalami krisis finansial terburuk akibat pandemi Covid-19 kemudian perang Rusia-Ukraina. Fitch Rating memprediksi Tunisia akan mengalami defisit transaksi berjalan hingga 8,4% dari produk domestik bruto (PDB) di tahun ini, lebih tinggi dari 2021 sebesar 6,3%.
Tunisia juga sedang bernegosiasi dengan IMF untuk mendapatkan pinjaman senilai US$ 2 miliar - US$ 4 miliar untuk menghindari kebangkrutan.
"Besarnya pinjaman masih dalam negosiasi dan saya rasa di kisaran US$ 2 miliar sampai US$ 4 miliar, kami berharap akan mencapai kesepakatan dalam beberapa pekan ke depan," kata gubernur bank sentral Tunisia, Marouane Abassi kepada Reuters pertengahan September lalu.
Ghana memiliki rasio utang terhadap PDB yang sangat tinggi, sekitar 85%. Hal ini diperburuk dengan jeblonya nilai tukar mata uang cedi sebesar 41% sepanjang tahun ini, dan inflasi pun meroket hingga 33,9% year-on-year (yoy) pada Agustus lalu.
Pemerintah Ghana pun saat ini tengah berunding dengan IMF agar mendapat paket batuan untuk men-support perekonomian.
Mesir dilanda capital outflow yang hingga US$ 20 miliar di tahun ini, berdasarkan estimasi JPMorgan. Rasio utang juga mencapai 95% dari PDB, FIM Partners memperkirakan Mesir harus membayar utang dalam bentuk hard currency senilai US$ 100 miliar dalam 5 tahun ke depan, termasuk US$ 3,3 miiliar dalam bentuk obligasi di 2024.
Pada Maret lalu, Mesir sudah mengajukan pinjaman baru, tetapi pada Juli lalu IMF mengatakan negara tersebut perlu membuat "kemajuan yang menentukan" dalam reformasi fiskal dan struktural.
Goldman Sachs memperkirakan Mesir perlu mendapat paket pinjaman senilai US$ 15 miliar dalam 3 tahun ke depan untuk pendanaan negara, tetapi pemerintahnya dilaporkan mengajukan angka yang lebih kecil.
Kenya harus membayar bunga pinjaman senilai 30% dari total pendapatannya. Kemudian nilai obligasinya anjlok hingga lebih dari 50%, dan jatuh tempo senilia US$ 2 miliar di 2024.
Rasio utang Kenya mencapai 70% dari PDB, dan juga mengajukan pinjaman lagi kepada IMF. Pada Juli lalu IMF sudah mencairkan pinjaman senilai US$ 235.6 juta.
Selain negara-negara tersebut, dalam masih ada Etiopia, El Savador, Pakistan, Belarusia, Nigeria hingga Ukraina yang masuk dalam rangkuman Reuters yang berada dalam risiko kebangkrutan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indonesia Juga Bisa Terseret
Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang diperkirakan akan kuat menghadapi resesi global. Meski demikian, bukan berarti situasinya akan aman-aman saja. Risiko pelambatan ekonomi sudah pasti sangat tinggi.
IMF mempertahankan proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun ini sebesar 5,3%.
Namun, lembaga moneter internasional ini ternyata kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,2% menjadi 5% pada 2023.
Pelambatan tersebut bisa lebih dalam lagi. Perekonomian Indonesia saat ini masih diuntungkan dengan tingginya harga komoditas seperti batu bara, minyak sawit mentah, nikel dan lain-lain.
Neraca perdagangan Indonesia pun sukses mencatat surplus dalam 29 bulan beruntun.
Senin (17/10/2022) lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia kembali mencatat surplus Sepember lalu. surplus pada September tercatat sebesar US$ 4,99 miliar.
Meksi demikian, jika resesi terjadi maka harga komoditas berisiko menurun, 'durian runtuh' yang di dapan Indonesia akan berakhir.
Belum lagi jika melihat terpuruknya nilai tukar rupiah yang berisoko mengerek inflasi. Rupiah sepanjang tahun ini merosot lebih dari 9% melawan dolar AS, mengakhiri perdagangan Jumat (21/10/2022) di Rp 14.630/US$.
Dengan jebloknya rupiah, anggaran belanja pemerintah, tentunya akan mengalami pembengkakan. Untuk diketahui, asumsi makro rupiah di tahun ini di Rp 14.300/US$ - Rp 14.700/US$.
Posisi rupiah saat ini sudah cukup jauh dari asumsi makro tersebut, yang artinya belanja negara, khususnya subsidi energi berisiko membengkak. Hal ini bisa berlanjut di 2023, sebab asumsi makro rupiah berada di Rp 14.800/US$.
Di sektor riil misalnya, beberapa harga barang akan mengalami kenaikan. Tempe dan tahu, makan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terancam mengalami kenaikan. Sebab, bahan baku keduanya, yakni kedelai merupakan salah satu komoditas impor.
Ketika rupiah terpuruk, maka harga kedelai impor tentunya akan naik, dan bisa diteruskan ke harga tempe tahu.
Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya non-subsidi juga bisa kembali mengalami kenaikan. Maklum saja, sebagai net importir minyak mentah, pelemahan rupiah tentunya akan berdampak pada membengkaknya beban impor.
Apalagi jika harga minyak mentah terus menanjak, maka harga BBM non-subsidi bisa naik lagi.
Kenaikan harga artinya inflasi. Dengan inflasi yang semakin tinggi, maka Bank Indonesia (BI) bertindak dengan mengerek suku bunga. Kemarin Gubernur BI, Perry Warjiyo dan kolega kembali menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 4,75%.
Untuk kali pertama dalam sejarah, BI menaikkan suku bunga 50 basis poin dalma 2 bulan beruntun. Total BI sudah 3 kali menaikkan suku bunga sebesar 125 basis poin.
Jika inflasi masih terus menanjak, akibat nilai tukar yang terus melemah, maka BI kemungkinan akan masih melanjutkan periode kenaikan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun terancam mengalami pelambatan.
Sebab, suku bunga kredit perbankan akan mengalami kenaikan juga, dan ini bisa menghambat ekspansi dunia usaha hingga konsumsi rumah tangga.
Sebelum BI menaikkan suku bunga acuannya pada Agustus, suku bunga kredit perbankan sudah mengalami kenaikan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rata-rata suku bunga dasar kredit KPR sudah naik 4 bps menjadi 8,61% pada Agustus, dari 8,57% pada Juli.
 Foto: OJK |
Rata-rata suku bunga dasar kredit mikro naik 5 bps menjadi 10,51% pada Agustus. Rata-rata suku bunga dasar kredit korporasi meningkat 4 bps menjadi 7,94% pada Agustus.
Pertumbuhan kredit pun sudah mulai mengalami pelambatan di kuartal III-2022. Hal ini dibuktikan dari Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia, di mana nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kredit baru pada kuartal lalu sebesar 88,1%, turun dari 96,9% di kuartal II-2022.
Berdasarkan survei tersebut, pelambatan pertumbuhan terjadi di semua jenis kredit, modal kerja, investasi dan konsumsi.
Jika rupiah terus melemah, inflasi kembali menanjak, BI tentunya akan kembali menaikkan suku bunga. Pertumbuhan kredit berisiko makin melambat yang akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.