Resesi Disebut Bakal Parah, Panjang & Buruk, Indonesia Siap?

Romys Binekasri, CNBC Indonesia
12 October 2022 10:55
Dunia Diambang Resesi, IMF Pangkas Pertumbuhan Ekonomi
Foto: CNBC Indonesia TV

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak pihak yang memprediksi sejumlah negara-negara dunia akan jatuh ke jurang resesi tahun depan, termasuk Bank Dunia. Inflasi tinggi yang melanda berbagai negara, kemudian direspon dengan kenaikan suku bunga yang agresif membuat ekonomi dunia menjadi "gelap".

Inflasi tinggi terhadap daya beli, sementara suku bunga tinggi membuat ekspansi dan belanja konsumen terhambat. Alhasil, resesi pun di depan mata.

Risiko resesi semakin buruk melihat perang Rusia - Ukraina yang tak kunjung usai, justru kini semakin intensif. Perang kedua negara tersebut menjadi salah satu pemicu meroketnya harga minyak mentah, gas alam hingga batu bara. Alhasil, inflasi energi menjadi gila-gilaan, dan kini sudah menyebar ke berbagai sektor perekonomian.

Inflasi yang 'mendarah daging' tentunya akan memerlukan waktu yang lama untuk kembali turun. Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) sudah menaikkan suku bunga hingga 300 basis poin di tahun ini menjadi 3% - 3,25%. Meski demikian, inflasi di Amerika Serikat masih tinggi, di atas 8%.

Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses memprediksi krisis finansial 2008, kini memproyeksikan resesi akan menghantam Amerika Serikat di akhir 2022 sebelum menyebar secara global tahun depan.

"Ini tidak akan menjadi resesi yang singkat dan dangkal, ini akan menjadi resesi yang parah, panjang dan buruk," kata Roubini, sebagaimana dilansir Fortune, Rabu (21/9/2022).

Ia melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, dilihat dari tingginya utang negara dan korporasi. Hal ini bisa memicu krisis yang parah.

The Fed yang terus menaikkan suku bunga dikatakan akan menciptakan banyak 'perusahaan zombie', perusahaan yang dibentuk saat era suku bunga rendah, tetapi hingga saat ini belum mampu menghasilkan laba untuk membayar utang.

"Banyak institusi zombie, rumah tangga zombie, perusahaan, bank, shadow bank, dan negara zombie akan mati akibat suku bunga yang terus naik," ujar Roubini.

Dr. Doom juga memperingatkan pasar finansial akan terpuruk jika resesi yang parah, panjang dan buruk terjadi. Indeks S&P 500 diperkirakan bisa ambrol hingga 30% sampai 40%, tergantung seberapa parah resesi yang terjadi.

Hal ini tentunya bisa berdampak buruk ke Indonesia, sektor finansial bisa ikut terpuruk, begitu juga dengan sektor riil akibat resesi dunia.

Menurut Roubini skenario yang terburuk bukan resesi, tetapi adalah stagflasi.
Inflasi tinggi di Amerika Serikat bisa berlangsung lama akibat masalah supply shock dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.

Sementara suku bunga tinggi akan menekan bertumbuhan ekonomi, sehingga dunia menghadapi risiko terburuk yakni stagflasi seperti 1970an.

Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya biasanya berkebalikan.

Stagflasi lebih sulit 'disembuhkan' ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja. Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.

Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.

Masyarakat akan merasakan dampak yang sangat berat. Tingkat pengangguran yang tinggi membuat pendapatan rendah, tetapi harga barang-barang sangat mahal yang tercermin dari inflasi yang tinggi.


(RCI/dhf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 5 Sektor Anti Resesi Versi Bos BNI

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular