Membuka Skenario Terburuk Resesi 2023, RI Bisa Selamat Asal..

News - Tim Redaksi, CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
18 October 2022 08:25
Infografis, Selamat atau Jatuh ke Jurang Resesi? Ini Daftarnya Foto: Infografis/ Resesi/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman resesi global 2023 di depan mata. Kondisi ini diperjelas dengan berbagai risiko yang mulai muncul di permukaan.

Laju inflasi tinggi, fenomena strong dollar, krisis pangan hingga perang yang jauh dari kata 'damai' menjadi alasan kuat semua pemangku kepentingan di dunia menyalakan alarm bahaya.

Tidak terkecuali, peringatan yang dipaparkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Dia menyebutkan bahwa situasi dunia kini dalam bahaya. Tidak hanya untuk periode tahun ini, namun juga bisa merambat hingga 2023.

Hal ini disampaikannya saat membuka pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara anggota G20 di Washington DC, Amerika Serikat (AS), yang disiarkan melalui akun YouTube Bank Indonesia.

"Kita bisa memproyeksikan bahwa situasi global ini pada 2022 dan mungkin bisa berlanjut hingga 2023." ungkapnya.

"Kita tidak boleh mengabaikan kemungkinan peningkatan risiko resesi," lanjut Sri Mulyani.

Proyeksi Sri Mulyani tersebut sejalan dengan laporan World Economic Outlook: Countering The Cost of Living Crisis yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF).

IMF melihat situasi 2023 merupakan profil pertumbuhan terlemah sejak 2001, kecuali masa pandemi Covid-19 dan krisis keuangan global.

Selain itu, resesi dipastikan akan menimpa Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Ternyata tidak hanya AS dan Eropa, China pun tampak tidak baik-baik saja. Bahkan, kondisinya terbilang ngeri.

Ekonomi China tengah diperkirakan akan mencapai titik tergelap di masa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi di Negeri Panda ini yang biasanya tumbuh double digit, kini diperkirakan hanya akan tumbuh single digit.

Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Ramalan gelap ekonomi China tersebut, membuat Indonesia juga harus waspada. China merupakan pangsa pasar ekonomi utama Indonesia.

Ekonom Senior Chatib Basri menjelaskan, strategi pemerintahan Presiden Xi Jinping untuk membuat zero policy untuk menghalau penularan virus corona merupakan salah satu sebab ekonomi China melambat.

"Selama zero covid policy dijalankan atau lockdown, ekonomi pasti kena," jelas Chatib kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan Indonesia bisa terkena dampak dari sisi perdagangan dan investasi.

Dia meyakini dampaknya akan lebih besar dari gejala resesi di Eropa dan AS, serta efek perang Ukraina. Pasalnya, China berkontribusi terhadap ekspor-impor dengan Indonesia sangat besar. Bayangkan 33,8% impor kita dari China, dan tujuan ekspor ke China porsinya 21,8%.

Dari segi negara asal investasi, dalam periode 2016-2020 realisasi investasi China melompat dari 2,6 miliar USD menjadi 4,8 miliar USD (data BPS).

"Sedikit saja China batuk, maka Indonesia akan mengalami tekanan ekonomi dalam beberapa bulan kedepan. Resesi bisa lebih cepat," tegas Bhima kepada CNBC Indonesia.

Sebagai bagian dari ekonomi global, Indonesia tentu saja akan terdampak resesi. Perlambatan akan merembet melalui jalur ekspor, pelemahan harga komoditas, pelemahan nilai tukar.

Kondisi ini akan membuat kondisi perekonomian domestik menjadi tidak pasti, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) akan melemah.

Sebagai catatan, ekspor Indonesia masih didominasi komoditas dengan kontribusi sebesar 50%. Selama ini, Indonesia memang diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas setelah perang Rusia-Ukraina meletus.

Namun, tanda-tanda habisnya efek 'durian runtuh' bagi komoditas andalan RI mulai habis.

Terbukti, Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan harga beberapa komoditas di tingkat global lebih rendah dibandingkan beberapa bulan terakhir.

"Harga minyak kelapa sawit turun cukup dalam pada periode Juni sampai dengan September 2022," tulis BPS dalam rilisnya.

Pada September, crude palm oil (CPO) turun 23,03% (year-on-year/yoy) menjadi US$ 909 per metrik ton. Minyak sawit juga turun 11,37% secara bulanan (month-to-month/mtm).

Sementara itu, bijih besi turun 19,85% secara tahunan dan 8,31% secara bulanan. Bijih besi berada pada level harga US$ 99,8 per dmtu pada September 2022.

Gas alam mulai melandai setelah turun 11,64% menjadi US$ 7,8 per mmbtu secara bulanan. Namun, secara tahunan, harga gas tetap naik hingga 55,88%.

Dari penurunan ini, surplus neraca perdagangan pada September berangsur melemah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada September 2022 mencatat surplus US$ 4,99 miliar.

Namun, surplus ini lebih rendah dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar US$ 5,71 miliar.

Oleh karena itu, menurut Chatib, Indonesia harus melakukan diversifikasi negara tujuan utama ekspor. Juga harus meningkatkan investasi, karena menurut Chatib yang bisa menolong perekonomian ke depan salah satunya adalah investasi.

"Indonesia harus diversifikasi dan harus rely on investment. Jadi dia harus jadi basis production network dan segala macam," jelas Chatib.

Pelemahan rupiah akan membebani perusahaan dan masyarakat karena barang modal dan barang impor makin mahal.

Yang cukup mengerikan adalah efek balance sheet atau neraca bagi perusahaan.

"Kita akan berhadapan dengan strong dollar. Kalau strong dollar terjadi akan ada efek yang disebut sebagai balance sheet effect atau efek neraca," tegas Chatib.

Perusahaan-perusahaan di dalam negeri dengan utang dalam dolar akan mengalami peningkatan beban karena utangnya menjadi mahal. Ketika beban utang mahal, porsi investasi akan turun.

"Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif," ujarnya.

Sebagai catatan, Chatib menggarisbawahi sebagian besar perusahaan asing di Indonesia memiliki orientasi bisnis ke pasar domestik. Jika demikian, pendapatan perusahaan asing dicatat dalam rupiah. Sementara itu, perusahaan asing harus melakukan repatriasi keuntungan dalam dolar AS.

Dalam kondisi penguatan dolar, keuntungannya akan turun. Alhasil, investor tersebut akan mengurangi porsi investasi.

"Gak tertarik dong, investor untuk tambah investasinya di sini atau kedua, kalau dia mau tetap lebih besar (pendapatannya) dalam US dollar, dalam rupiahnya harus lebih besar. Berarti posisi investasinya akan turun," jelasnya.

Jika perusahaan didera kondisi ini, efeknya pengangguran bisa naik karena gelombang PHK.

Di tengah kondisi ini, mayarakat akan menahan belanja.

Pengurangan belanja terutama terjadi untuk pembelian barang tahan lama karena konsumen fokus pada kebutuhan essential mereka.

Kondisi ini sudah tercermin dalam Survei BI menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) September.

Indeks pembelian barang tahan lama melemah ke posisi 102,5 pada September 2022, terendah lima bulan terakhir.

Dengan demikian, apakah Indonesia akan resesi?

Chatib mengungkapkan dirinya tidak melihat risiko resesi bagi Indonesia tahun depan.

"Tidak sampai resesi lah," tegas Chatib. Meskipun, ekonomi Indonesia akan terdampak dari sisi ekspor. Khususnya ketika harga komoditas mengalami penurunan harga dan permintaan.

Chatib meyakini ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh sedikit di bawah 5%. "Tahun ini kita bisa tumbuh di 5,2%, tahun depan mungkin sekitar 4%," ujarnya.

Dampak guncangan global terhadap ekspor Indonesia, lanjutnya, tidak akan besar. Pasalnya, kontribusi ekspor Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang 25%, kecil dibandingkan dengan Singapura yang memiliki share ekspor terhadap pertumbuhan ekonominya mencapai 200%.

Alhasil, ekonomi Indonesia hanya akan mengalami perlambatan.

"Ini gara-gara share ekspor ke GDP cuma 25%, ya efeknya 25%. Itu yang menyebabkan dampaknya slow down, tapi tidak resesi."

Indonesia Mission Chief, Asia and Pacific Department, IMF Cheng Hoon Lim membenarkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih tinggi dibandingkan negara lain pada tahun depan.

IMF memperkirakan Indonesia akan tumbuh 5% pada 2023, salah satu yang tertinggi di Asean.

"Indonesia sangat beruntung mendapatkan keuntungan dari tingginya harga komoditas dan kuatnya permintaan eksternal," ujar Lim dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, dikutip Selasa (18/10/2022).

Di saat bersamaan, dia melihat ekonomi Indonesia juga ditopang oleh konsumsi dan investasi. Kondisi ini bisa dicapai berkat kebijakan ekonomi pemerintah yang hati-hati dan berkelanjutan.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Dunia Gelap & Resesi Didepan Mata, Ekonomi RI Bisa Tumbuh 5%?


(haa/haa)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading