
Resesi 2023: "Kebangkrutan Besar & Krisis Finansial Berlarut"

Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang diperkirakan akan kuat menghadapi resesi global. Meski demikian, bukan berarti situasinya akan aman-aman saja. Risiko pelambatan ekonomi sudah pasti sangat tinggi.
IMF mempertahankan proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun ini sebesar 5,3%.
Namun, lembaga moneter internasional ini ternyata kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,2% menjadi 5% pada 2023.
Pelambatan tersebut bisa lebih dalam lagi. Perekonomian Indonesia saat ini masih diuntungkan dengan tingginya harga komoditas seperti batu bara, minyak sawit mentah, nikel dan lain-lain.
Neraca perdagangan Indonesia pun sukses mencatat surplus dalam 29 bulan beruntun.
Senin (17/10/2022) lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia kembali mencatat surplus Sepember lalu. surplus pada September tercatat sebesar US$ 4,99 miliar.
Meksi demikian, jika resesi terjadi maka harga komoditas berisiko menurun, 'durian runtuh' yang di dapan Indonesia akan berakhir.
Belum lagi jika melihat terpuruknya nilai tukar rupiah yang berisoko mengerek inflasi. Rupiah sepanjang tahun ini merosot lebih dari 9% melawan dolar AS, mengakhiri perdagangan Jumat (21/10/2022) di Rp 14.630/US$.
Dengan jebloknya rupiah, anggaran belanja pemerintah, tentunya akan mengalami pembengkakan. Untuk diketahui, asumsi makro rupiah di tahun ini di Rp 14.300/US$ - Rp 14.700/US$.
Posisi rupiah saat ini sudah cukup jauh dari asumsi makro tersebut, yang artinya belanja negara, khususnya subsidi energi berisiko membengkak. Hal ini bisa berlanjut di 2023, sebab asumsi makro rupiah berada di Rp 14.800/US$.
Di sektor riil misalnya, beberapa harga barang akan mengalami kenaikan. Tempe dan tahu, makan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terancam mengalami kenaikan. Sebab, bahan baku keduanya, yakni kedelai merupakan salah satu komoditas impor.
Ketika rupiah terpuruk, maka harga kedelai impor tentunya akan naik, dan bisa diteruskan ke harga tempe tahu.
Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya non-subsidi juga bisa kembali mengalami kenaikan. Maklum saja, sebagai net importir minyak mentah, pelemahan rupiah tentunya akan berdampak pada membengkaknya beban impor.
Apalagi jika harga minyak mentah terus menanjak, maka harga BBM non-subsidi bisa naik lagi.
Kenaikan harga artinya inflasi. Dengan inflasi yang semakin tinggi, maka Bank Indonesia (BI) bertindak dengan mengerek suku bunga. Kemarin Gubernur BI, Perry Warjiyo dan kolega kembali menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 4,75%.
Untuk kali pertama dalam sejarah, BI menaikkan suku bunga 50 basis poin dalma 2 bulan beruntun. Total BI sudah 3 kali menaikkan suku bunga sebesar 125 basis poin.
Jika inflasi masih terus menanjak, akibat nilai tukar yang terus melemah, maka BI kemungkinan akan masih melanjutkan periode kenaikan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun terancam mengalami pelambatan.
Sebab, suku bunga kredit perbankan akan mengalami kenaikan juga, dan ini bisa menghambat ekspansi dunia usaha hingga konsumsi rumah tangga.
Sebelum BI menaikkan suku bunga acuannya pada Agustus, suku bunga kredit perbankan sudah mengalami kenaikan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rata-rata suku bunga dasar kredit KPR sudah naik 4 bps menjadi 8,61% pada Agustus, dari 8,57% pada Juli.
![]() |
Rata-rata suku bunga dasar kredit mikro naik 5 bps menjadi 10,51% pada Agustus. Rata-rata suku bunga dasar kredit korporasi meningkat 4 bps menjadi 7,94% pada Agustus.
Pertumbuhan kredit pun sudah mulai mengalami pelambatan di kuartal III-2022. Hal ini dibuktikan dari Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia, di mana nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kredit baru pada kuartal lalu sebesar 88,1%, turun dari 96,9% di kuartal II-2022.
Berdasarkan survei tersebut, pelambatan pertumbuhan terjadi di semua jenis kredit, modal kerja, investasi dan konsumsi.
Jika rupiah terus melemah, inflasi kembali menanjak, BI tentunya akan kembali menaikkan suku bunga. Pertumbuhan kredit berisiko makin melambat yang akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
(pap/pap)