Namun, jika nilai tukar rupiah terus merosot tentunya akan berdampak buruk ke pasar finansial, ke sektor riil, hingga ke perekonomian Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial Indonesia hari ini, termasuk dampak buruk pelemahan rupiah akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Melansir data Refinitiv, rupiah sepanjang pekan lalu merosot 1,3% ke Rp 15.630/US$, yang merupakan level terlemah sejak April 2020. Rupiah juga membukukan pelemahan selama 6 pekan beruntun.
Sepanjang tahun ini Mata Uang Garuda sudah tercatat melemah lebih dari 9%. Rupiah masih merosot meski Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada Kamis (20/10/2022)
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 21-22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 4%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers.
Untuk kali pertama dalam sejarah, BI menaikkan suku bunga 50 basis poin dalam 2 bulan beruntun. Total BI sudah 3 kali menaikkan suku bunga sebesar 125 basis poin.
Hal yang sama juga melanda pasar obligasi. Hanya Surat Berharga Negara (SBN) tenor 1 tahun saja yang mengalami penguatan, terlihat dari yield-nya yang menurun. Sementara tenor lainnya mengalami pelemahan.
Sementara itu IHSG mencatat kinerja impresif. Bursa kebanggaan Tanah Air ini tercatat melesat nyaris 3% ke 7.017,771 sepanjang pekan lalu, sekaligus menghentikan kemerosotan dalam 3 minggu beruntun.
IHSG juga sukses mencatat pekan sempurna, menguat dalam 5 hari beruntun. Sektor finansial yang melesat lebih dari 4% menjadi pendongkrak kinerja IHSG.
Bursa saham AS (Wall Street) mampu mencatat kinerja mingguan terbaik sejak Juni. Pada Jumat (21/10/2022) pekan lalu, ketika indeks utama bahkan melesat lebih dari 2%.
Indeks Dow Jones memimpin penguatan sebesar 2,5% le 31.082,56, disusul S&P 500 sebesar 3,4% ke 3.752,75, dan Nasdaq 2,3% ke 10.859,72.
Jika dilihat sepekan, Nasdaq yang memimpin sebesar 5,2%, disusul S&P 500 sebesar 4,9% dan Nasdaq 4,7%.
"Saya pikir sepekan sebelumnya pasar oversold secara teknikal. Dan kita sudah melihat berkali-kali di masa lalu, ketika sesuatu cukup negatif, maka akan muncul rebound," kata Randy Frederick, direktur pelaksana trading dan derivatif di Schwab Center for Finansial Research, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (21/10/2022).
Menurut Frederick rebound tersebut tidak akan bertahan lama. Kalaupun berlanjut di pekan ini, diperkirakan hanya satu atau dua hari saja.
Kenaikan tersebut juga dipicu dengan kemungkinan pelambatan laju kenaikan suku bunga bank sental AS (The Fed).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street yang melesat pada perdagangan Jumat pekan lalu tentunya membuka peluang penguatan IHSG pada Senin (24/10/2022).
Apalagi penguatan tersebut terjadi setelah Wall Street Journal (WSJ) melaporkan beberapa pejabat The Fed mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan segera.
"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters.
Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly mengatakan bahwa The Fed harus menghindari menempatkan ekonomi AS ke dalam "penurunan paksa" dengan pengetatan yang berlebihan. Ia menambahkan bahwa The Fed mendekati titik di mana laju kenaikan suku bunga harus diperlambat.
Indeks dolar AS merosot 0,77% ke 112,012 pada perdagangan Jumat, yang tentunya membuka peluang penguatan rupiah, begitu juga dengan SBN.
Sudah jamak diketahui dolar AS perkasa akibat The Fed yang sangat agresif menaikkan suku bunga. Sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.
Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
The Fed tidak hanya agresif dalam menaikkan suku bunga, tetapi juga mengurangi nilai neracanya (balance sheet) atau yang disebut quantitative tightening (QT) senilai US$ 95 miliar per bulan.
Saat pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan program pembelian surat berharga (quantitative easing/QE) yang membuat balance sheet The Fed naik tajam, nyaris mencapai US$ 9 triliun, dibandingkan sebelum pandemi sekitar US$ 4,1 triliun.
Artinya, The Fed menyuntikkan likuiditas sekitar US$ 4,8 miliar sejak awal pandemi.
The Fed menerapkan QT atau pengurangan nilai neraca artinya The Fed menjual surat berharga yang dimiliki, sehingga menyerap likuiditas di perekonomian. Dengan kata lain, dolar AS yang beredar luar mulai ditarik lagi. Dengan supply dolar AS yang di sedot, tidak heran the greenback menjadi sangat perkasa.
Pengetatan moneter dengan kenaikan suku bunga dan QT tersebut, begitu juga di negara lainnya membuat perekonomian global terancam mengalami resesi di tahun depan.
Alhasil, dolar AS yang menyandang status safe haven lagi-lagi menjadi primadona, indeksnya menyentuh level tertinggi dalam 20 tahun terakhir, dan saat ini meski terkoreksi tetapi masih dekat dari posisi tersebut.
Pelemahan rupiah bisa berdampak besar ke sektor riil, pasar finansial, hingga ke anggaran belanja pemerintah.
Dari sektor finansial sudah jelas, stabilitas rupiah menjadi penting untuk menjaga daya tarik ke investor asing. Rupiah yang stabil membuat investor asing lebih nyaman mengalirkan modalnya ke dalam negeri, karena risiko kurs yang rendah.
Beberapa emiten di lantai bursa juga terpapar risiko negatif, utamanya yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS tinggi, serta yang mengandalkan bahan baku impor, atau barang impor.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Kemudian dari anggaran belanja pemerintah, tentunya akan mengalami pembengkakan. Untuk diketahui, asumsi makro rupiah di tahun ini di Rp 14.300/US$ - Rp 14.700/US$. Sementara untuk 2023 di Rp 14.800/US$.
Posisi rupiah saat ini sudah cukup jauh dari asumsi makro tersebut, yang artinya belanja negara, khususnya subsidi energi berisiko membengkak.
Di sektor riil misalnya, beberapa harga barang akan mengalami kenaikan. Tempe dan tahu, makan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terancam mengalami kenaikan. Sebab, bahan baku keduanya, yakni kedelai merupakan salah satu komoditas impor.
Ketika rupiah terpuruk, maka harga kedelai impor tentunya akan naik, dan bisa diteruskan ke harga tempe tahu.
Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya non-subsidi juga bisa kembali mengalami kenaikan. Maklum saja, sebagai net importir minyak mentah, pelemahan rupiah tentunya akan berdampak pada membengkaknya beban impor.
Apalagi jika harga minyak mentah terus menanjak, maka harga BBM non-subsidi bisa naik lagi.
Kenaikan harga artinya inflasi. Dengan inflasi yang semakin tinggi, maka Bank Indonesia bertindak dengan mengerek suku bunga.
Jika inflasi masih terus menanjak, akibat nilai tukar yang terus melemah, maka BI kemungkinan akan masih melanjutkan periode kenaikan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun terancam mengalami pelambatan.
Sebab, suku bunga kredit perbankan akan mengalami kenaikan juga, dan ini bisa menghambat ekspansi dunia usaha hingga konsumsi rumah tangga.
Sebelum BI menaikkan suku bunga acuannya pada Agustus, suku bunga kredit perbankan sudah mengalami kenaikan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rata-rata suku bunga dasar kredit KPR sudah naik 4 bps menjadi 8,61% pada Agustus, dari 8,57% pada Juli.
 Foto: OJK |
Rata-rata suku bunga dasar kredit mikro naik 5 bps menjadi 10,51% pada Agustus. Rata-rata suku bunga dasar kredit korporasi meningkat 4 bps menjadi 7,94% pada Agustus.
Pertumbuhan kredit pun sudah mulai mengalami pelambatan di kuartal III-2022. Hal ini dibuktikan dari Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia, di mana nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kredit baru pada kuartal lalu sebesar 88,1%, turun dari 96,9% di kuartal II-2022.
Berdasarkan survei tersebut, pelambatan pertumbuhan terjadi di semua jenis kredit, modal kerja, investasi dan konsumsi.
Jika rupiah terus melemah, inflasi kembali menanjak, BI tentunya akan kembali menaikkan suku bunga. Pertumbuhan kredit berisiko makin melambat yang akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
PMI manufaktur dan jasa Jepang (7:30 WIB)
Perkembangan uang beredar Indonesia (10:00 WIB)
PMI manufaktur dan jasa Prancis (14:15 WIB)
PMI manufaktur dan jasa Jerman (14:30 WIB)
PMI manufaktur dan jasa zona euro (15:00 WIB)
PMI manufaktur dan jasa Inggris (15:30 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
CashDevidend distribution: AUTO, UNTR, AALI, ASGR
RUPS: SAPX
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (September 2022 YoY) | 5,95% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022) | 4,75% |
Surplus Anggaran (APBN 2022) | 3,92% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY) | 1,1% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2022 YoY) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (September 2022) | US$ 130,8 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA