CNBC Indonesia Research
Rupiah Masih Terbaik di Asia, Tapi Tetap Siaga Satu!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terus merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga menembus ke atas Rp 15.630/US$ pada perdagangan Jumat (21/10/2022). Level tersebut merupakan yang terlemah sejak pertengahan April 2020.
Sepanjang tahun ini pelemahannya tercatat sebesar hampir 10%. Meski demikian, rupiah masih menjadi salah satu mata uang terbaik di Asia.
Berdasarkan data Refinitiv, ringgit Malaysia misalnya, merosot nyaris 14% dan berada di level terlemah sejak 1998. Peso Filipina bahkan menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah setelah jeblok lebih dari 15%.
Yuan China juga terpuruk 14%, dan yen Jepang yang paling parah, merosot 30%.
Hanya dolar Singapura yang kinerja lebih baik ketimbang rupiah.
Meski rupiah masih lebih baik ketimbang mata uang lainnya, tetapi Indonesia tetap harus waspada. Apalagi jika semakin mendekati Rp 16.000/US$.
Pelemahan rupiah bisa berdampak besar ke sektor riil, pasar finansial, hingga ke anggaran belanja pemerintah.
Dari sektor finansial sudah jelas, stabilitas rupiah menjadi penting untuk menjaga daya tarik ke investor asing. Rupiah yang stabil membuat investor asing lebih nyaman mengalirkan modalnya ke dalam negeri, karena risiko kurs yang rendah.
Beberapa emiten di lantai bursa juga terpapar risiko negatif, utamanya yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS tinggi, serta yang mengandalkan bahan baku impor, atau barang impor.
Kemudian dari anggaran belanja pemerintah, tentunya akan mengalami pembengkakan. Untuk diketahui, asumsi makro rupiah di tahun ini di Rp 14.300/US$ - Rp 14.700/US$. Sementara untuk 2023 di Rp 14.800/US$.
Posisi rupiah saat ini sudah cukup jauh dari asumsi makro tersebut, yang artinya belanja negara, khususnya subsidi energi berisiko membengkak.
Di sektor riil misalnya, beberapa harga barang akan mengalami kenaikan. Tempe dan tahu, makan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terancam mengalami kenaikan. Sebab, bahan baku keduanya, yakni kedelai merupakan salah satu komoditas impor.
Ketika rupiah terpuruk, maka harga kedelai impor tentunya akan naik, dan bisa diteruskan ke harga tempe tahu.
Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya non-subsidi juga bisa kembali mengalami kenaikan. Maklum saja, sebagai net importir minyak mentah, pelemahan rupiah tentunya akan berdampak pada membengkaknya beban impor.
Apalagi jika harga minyak mentah terus menanjak, maka harga BBM non-subsidi bisa naik lagi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pertumbuhan Kredit Melambat, Pertumbuhan Ekonomi Apa Kabar?