
Dolar Disayang, Rupiah Yang Malang!

Wall Street yang melesat pada perdagangan Jumat pekan lalu tentunya membuka peluang penguatan IHSG pada Senin (24/10/2022).
Apalagi penguatan tersebut terjadi setelah Wall Street Journal (WSJ) melaporkan beberapa pejabat The Fed mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan segera.
"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters.
Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly mengatakan bahwa The Fed harus menghindari menempatkan ekonomi AS ke dalam "penurunan paksa" dengan pengetatan yang berlebihan. Ia menambahkan bahwa The Fed mendekati titik di mana laju kenaikan suku bunga harus diperlambat.
Indeks dolar AS merosot 0,77% ke 112,012 pada perdagangan Jumat, yang tentunya membuka peluang penguatan rupiah, begitu juga dengan SBN.
Sudah jamak diketahui dolar AS perkasa akibat The Fed yang sangat agresif menaikkan suku bunga. Sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.
Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
The Fed tidak hanya agresif dalam menaikkan suku bunga, tetapi juga mengurangi nilai neracanya (balance sheet) atau yang disebut quantitative tightening (QT) senilai US$ 95 miliar per bulan.
Saat pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan program pembelian surat berharga (quantitative easing/QE) yang membuat balance sheet The Fed naik tajam, nyaris mencapai US$ 9 triliun, dibandingkan sebelum pandemi sekitar US$ 4,1 triliun.
Artinya, The Fed menyuntikkan likuiditas sekitar US$ 4,8 miliar sejak awal pandemi.
The Fed menerapkan QT atau pengurangan nilai neraca artinya The Fed menjual surat berharga yang dimiliki, sehingga menyerap likuiditas di perekonomian. Dengan kata lain, dolar AS yang beredar luar mulai ditarik lagi. Dengan supply dolar AS yang di sedot, tidak heran the greenback menjadi sangat perkasa.
Pengetatan moneter dengan kenaikan suku bunga dan QT tersebut, begitu juga di negara lainnya membuat perekonomian global terancam mengalami resesi di tahun depan.
Alhasil, dolar AS yang menyandang status safe haven lagi-lagi menjadi primadona, indeksnya menyentuh level tertinggi dalam 20 tahun terakhir, dan saat ini meski terkoreksi tetapi masih dekat dari posisi tersebut.
Pelemahan rupiah bisa berdampak besar ke sektor riil, pasar finansial, hingga ke anggaran belanja pemerintah.
Dari sektor finansial sudah jelas, stabilitas rupiah menjadi penting untuk menjaga daya tarik ke investor asing. Rupiah yang stabil membuat investor asing lebih nyaman mengalirkan modalnya ke dalam negeri, karena risiko kurs yang rendah.
Beberapa emiten di lantai bursa juga terpapar risiko negatif, utamanya yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS tinggi, serta yang mengandalkan bahan baku impor, atau barang impor.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
