
Dolar Disayang, Rupiah Yang Malang!

Kemudian dari anggaran belanja pemerintah, tentunya akan mengalami pembengkakan. Untuk diketahui, asumsi makro rupiah di tahun ini di Rp 14.300/US$ - Rp 14.700/US$. Sementara untuk 2023 di Rp 14.800/US$.
Posisi rupiah saat ini sudah cukup jauh dari asumsi makro tersebut, yang artinya belanja negara, khususnya subsidi energi berisiko membengkak.
Di sektor riil misalnya, beberapa harga barang akan mengalami kenaikan. Tempe dan tahu, makan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terancam mengalami kenaikan. Sebab, bahan baku keduanya, yakni kedelai merupakan salah satu komoditas impor.
Ketika rupiah terpuruk, maka harga kedelai impor tentunya akan naik, dan bisa diteruskan ke harga tempe tahu.
Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya non-subsidi juga bisa kembali mengalami kenaikan. Maklum saja, sebagai net importir minyak mentah, pelemahan rupiah tentunya akan berdampak pada membengkaknya beban impor.
Apalagi jika harga minyak mentah terus menanjak, maka harga BBM non-subsidi bisa naik lagi.
Kenaikan harga artinya inflasi. Dengan inflasi yang semakin tinggi, maka Bank Indonesia bertindak dengan mengerek suku bunga.
Jika inflasi masih terus menanjak, akibat nilai tukar yang terus melemah, maka BI kemungkinan akan masih melanjutkan periode kenaikan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun terancam mengalami pelambatan.
Sebab, suku bunga kredit perbankan akan mengalami kenaikan juga, dan ini bisa menghambat ekspansi dunia usaha hingga konsumsi rumah tangga.
Sebelum BI menaikkan suku bunga acuannya pada Agustus, suku bunga kredit perbankan sudah mengalami kenaikan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rata-rata suku bunga dasar kredit KPR sudah naik 4 bps menjadi 8,61% pada Agustus, dari 8,57% pada Juli.
![]() |
Rata-rata suku bunga dasar kredit mikro naik 5 bps menjadi 10,51% pada Agustus. Rata-rata suku bunga dasar kredit korporasi meningkat 4 bps menjadi 7,94% pada Agustus.
Pertumbuhan kredit pun sudah mulai mengalami pelambatan di kuartal III-2022. Hal ini dibuktikan dari Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia, di mana nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kredit baru pada kuartal lalu sebesar 88,1%, turun dari 96,9% di kuartal II-2022.
Berdasarkan survei tersebut, pelambatan pertumbuhan terjadi di semua jenis kredit, modal kerja, investasi dan konsumsi.
Jika rupiah terus melemah, inflasi kembali menanjak, BI tentunya akan kembali menaikkan suku bunga. Pertumbuhan kredit berisiko makin melambat yang akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
(pap/pap)